BEKAL itu sudah ia keluarkan sedari tadi. Ia sedang menahan lapar dan haus, sejak sekitar subuh belum makan dan minum. Namun, bukannya memasukkan ke mulut, bekal itu hanya dipegang dan dilihat terus menerus.
Orang ini sedang berpuasa. Siang itu, waktu maghrib tanda berbuka puasa memang belum tiba. Tapi bukan itu alasannya “mendiamkan” bekalnya.
Jelas saja, karena itu bukanlah makanan atau minuman. Ini bekal ruhani untuk masa depannya. Ialah al-Qur’an.
Suharyanto, orang itu, sedang melahap bacaan al-Qur’an pada bagian akhir Surat Luqman di halaman 414 dan 415. Mushaf cukup besar seukuran laptop 15 inci itu dibuka lebar di atas kedua pahanya.
Bisa dipastikan, semua orang di sekitarnya, bisa mengetahui Suharyanto berprofesi sebagai dan sedang melakukan apa. Di dada kiri pria itu terlihat jelas tulisan kapital; “TNI AL”.
Inilah yang membedakan Suharyanto dengan 50-an orang di situ. Jika yang lain berpakaian sipil, ia berseragam hijau loreng dan bersepatu laras. Ya! Dia anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.
Tentara memanggul senjata api itu biasa, tapi kalau memangku mushaf al-Qur’an di tengah keramaian, tentu terlihat istimewa. Tambah kontras, saat yang lain asyik dengan telepon genggam dan tidur masing-masing.
Pria berpangkat Sersan Kepala ini duduk di gerbong sebuah kereta rangkaian listrik. Dalam perjalanan Jakarta-Bogor itu, ia menjadi perhatian tersendiri oleh banyak penumpang.
Memang, membaca al-Qur’an seorang diri di ruang publik tampaknya kebiasaan langka di Indonesia. Tapi bagi Suharyanto itu ‘biasa saja’. Sebab ia sudah terbiasa membaca al-Qur’an di atas KRL.
Tak Sekadar Dibaca
“Jedeg jedeg… Jedeg jedeg…”
Suara khas laju kereta menemani Suharyanto yang tenggelam dalam bacaannya. Ia mengaku sudah lupa, sejak kapan mulai rajin membaca al-Qur’an di atas KRL.
Yang jelas “Sudah lama,” jawab pria berusia 34-an tahun ini diplomatis saat ditemui hidayatullah.com.
Saban hari, tuturnya, ia selalu menyempatkan diri membaca al-Qur’an. Di rumah, di kantor, termasuk di dalam KRL tiap pergi-pulang (PP) berdinas. “Alhamdulillah, tiap hari, pagi-sore (baca al-Qur’an),” tuturnya.
Ia pun mengaku, sebelum pergi kerja, selalu menyempatkan shalat subuh berjamaah di mushalla Stasiun Bojonggede, Bogor, stasiun terdekat dari rumahnya.
Habis shalat baru naik KRL. Lalu mengambil posisi nyaman langganannya, sebelah kiri gerbong dekat pintu. Jika tak kebagian tempat duduk, ia berdiri, lalu mengeluarkan mushaf dari tas ranselnya.
“Di dalam gerbong kita baca al-Qur’an sampai stasiun tujuan saya. Alhamdulillah, kalau pagi saya berangkat itu kereta enggak padat,” ungkap anggota Korps Marinir yang berdinas di Mako Pasmar-2, Jl Kwini II, Jakarta Pusat ini.
“Jadi kata-kata yang kira-kira saya janggal, saya kira-kira asing, saya tanya (lihat terjemahan. Red) ini artinya apa,” tuturnya.
Pun demikian sepulangnya dari kantor, rutinitas serupa ia lakoni. Jika kebagian tempat duduk tentu lebih nyaman membaca al-Qur’an. Seperti siang itu saat dia “tertangkap basah” oleh hidayatullah.com yang naik di Stasiun Cawang, Jakarta Timur.* Bersambung