SEJAK 6 Mei 2016, saya meninggalkan kediaman untuk safari dakwah di berbagai desa pelosok nan terpencil yang tersebar di Jayapura, Merauke, dan Timika, sebelum kemudian terbang ke Sulawesi Selatan.
Saya menginjakkan kaki di Makassar usai menempuh 3 jam penerbangan bersama burung besi. Perjalanan pun dilanjutkan menuju Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat.
Untuk sampai ke Polman diperlukan waktu tempuh selama 6 jam. Tujuan safari ini ke Desa Batetangga, Kecamatan Binuang, Polman dan ke kota Mamuju.
Kemudian, pada hari berikutnya, seusai mendatangi sebuah desa terpelosok yang menjadi desa binaan Laznas BMH, saya langsung meluncur menuju Mamuju. Kejutan yang datang setibanya saya di Polman adalah kehadiran Ustadz Drs Muhammad Na’im yang kemudian menemani perjalananku.
Dai yang didaulat sebagai Ketua Murobbi Hidayatullah Sulawesi Barat ini begitu mengesankan. Pria yang pernah 7 tahun mengemban tugas dakwah di Kendari, Sulawesi Tenggara ini banyak berdiskusi dengan saya.
Sampai pada akhirnya terungkaplah satu fakta bahwa selain sebagai dai, beliau juga Ketua STAI Al-Azhari Mamuju.
“Insya Allah besok, setiba di Mamuju para mahasiswa siap mendapatkan sharing (berbagi ilmu) dari Antum tentang tulis-menulis,” ujarnya kepadaku, Selasa (17/05/2016).
Kehadiranku di Bumi Manakarra itu tujuan utamanya dalam rangka liputan dakwah para dai tangguh. Selain itu, juga menyiapkan beberapa bahan untuk kebutuhan dokumentasi lembaga dimana saya diberikan kepercayaan, yakni sebagai Kepala Humas Laznas BMH.
Pada akhirnya waktu yang ditentukan pun tiba. Satu jam setelah kedatanganku bersama General Manager BMH Sulawesi Barat, Syamsuddin, saya dijemput menuju kampus STAI Al-Azhari yang berada di Jalan Gatot Subroto, Mamuju.
Kampus yang berlokasi di atas tebing, dimana jalan poros Mamuju–Makassar yang menikung tepat berada di bawahnya terlihat cukup bersahaja. Mahasiswanya pun memiliki adab dan sopan-santun yang tinggi terhadap guru dan orangtua.
Hal itu saya lihat dari cara mereka menyambut Muhammad Naim serta cara mereka dalam merespon panggilan maupun permintaan tolong dari ayah satu anak itu.
Semangat dari Mamuju
Awalnya, para mahasiswa itu tampak seperti sangat pemalu, mungkin karena begitu menjunjung tinggi adab kesopanan. Namun, ternyata, dalam diskusi dengan saya, mereka sangat antusias bertanya usai pemaparanku. Di antaranya mahasiswa bernama Fatahillah Khan.
Demikian pula dengan Ilham, Ketua BEM STAI Al-Azhari. Mahasiswa ini cukup bersemangat sehingga ia bertanya lebih dari tiga kali. Ada juga seorang mahasiswi semester 4 bernama Novita Sari yang begitu berhasrat mengungkapkan gagasan dan pertanyaan.
“Jadi, anak-anakku sekalian, membacalah untuk memiliki idealisme. Karena penulis sejati akan bergerak dengan kekuatan idealisme di dalam dadanya,” demikian salah satu pernyataan yang ia lontarkan kepada para mahasiswanya.
Saya sendiri selaku Wakil Ketua Penulis Muda Nusantara (PENA) Pusat yang didampingi oleh Ketua PENA Sulawesi Barat, Muhammad Bashori, merasa sangat bahagia. Sebab kami bisa berbagi pengetahuan tentang urgensinya jihad bil qolam. Meski sebenarnya diri ini sadar, belum ada karya yang betul-betul bisa dibanggakan umat dalam hal tulis-menulis.
Namun demikian, diharapkan, dengan forum ini, PENA Sulawesi Barat akan semakin dikenal dan memiliki kontribusi nyata bagi pengembangan sumber daya insani bangsa Indonesia.
Menulis adalah pekerjaan yang membutuhkan ilmu, wawasan, kesungguhan, tenaga dan komitmen. Tanpa itu semua, banyak orang punya gagasan, namun semua berhamburan karena tidak dibingkai dalam sebuah tulisan. Saya berpesan demikian kepada mereka.
Sebelum meninggalkan tempat ini, mencuat harapan lahirnya para penulis muda Islam dari tanah Sulawesi. Aamiin!*