Sambungan artikel PERTAMA
Abduh, berjalan tertatih-tatih sambil dipapah putra ketiganya, ketika ingin menerima kedatangan kami.
Pria berusia 65 tahun itu tampak kuwalahan untuk sekadar mengangkat kaki. Tak hayal, ia berjalan dengan menyeret kaki secara perlahan, sambil melingkarkan lengan kanan ke pundak anaknya. Sementara tangan sebelahnya lagi, ia gunakan untuk memegang erat-erat bibir pintu sebelah kiri.
Mataku berkaca-kaca melihat pemandangan yang memilukan itu. Terlebih, ketika kami mendapati Abduh cukup kesulitan melewati bibir pintu bagian bawah berupa sebilah bambu yang melintang.
Tangan kanannya menggenggam erat kaos oblong putranya. Ia terlihat seperti tengah mengumpulkan tenaga sekuat-kuatnya untuk melewati pintu rumah satu-satunya itu.
“It’s OK! No problem,” kata Raihan yang juga etnis Rohingya serta mahir berbahasa Inggris ini kepada kami.
Alhamdulillah, sebelum beranjak dari tempat duduk untuk membantu Abduh. Ternyata, ia lebih dulu berhasil melewati pintu. Sejurus kemudian, kami bertiga pun dipersilakan masuk ke rumah yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu.
Sebelum konflik berdarah terjadi pada 2012 silam, Abduh, sang istri Nurhisah (60 tahun), bersama anak-anaknya tinggal di Aung Mingalar. Sebuah kampung yang maroyitas penduduknya Muslim. Lokasinya berada di wilayah pusat Kota Sittwe.
Dari awal percakapan hingga pamitan pulang, Nurhisah dan putra ketiga mereka yang banyak berkisah. Abduh selaku Kepala Keluarga hanya terdiam. Bukan lantaran tak mau angkat suara tapi, ia memang sudah tak mampu berbicara.
Setelah sekian tahun hidup menderita di kamp pengungsian, kesehatan Abduh semakin memburuk, termasuk kesulitan bicara seperti yang dialaminya saat ini. Jangankan ingin berobat, rumah sakit ataupun klinik tak ada satupun yang tampak di kamp pengungsian.
Begitulah sekilas kondisi pengungsi kamp Mor Thi Nyar di Sittwe Township, Rakhine State, Myanmar. Abduh tinggal bersama istri dan sebagian anak-anaknya ‘yang masih tersisa’ di sepetak rumah panggung kira-kira berukuran 4×5 meter.
“Anak kami awalnya ada 12 orang. Kini tinggal 8 orang. 2 meninggal karena sakit. 2 lagi meninggal karena dibunuh junta militer dalam konflik berdarah pada 2012 silam,” jelas Nurhisah, yang duduk di sebelah Abduh sambil menggenggam erat jemari suaminya.
Nurhisah berbicara menggunakan bahasa Rohingya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Raihan kepada kami bertiga.
Baca: Pengakuan Etnis Rohingya: “Pergilah atau Kami Bunuh Anda Semua!”
Pria lajang kelahiran Sittwe 12 Desember 1995 ini juga merupakan pengungsi Rohingya. Konflik berdarah dengan pelaku utama junta militer Myanmar pada 2012 silam, memaksa ia hengkang dari kampungnya di Desa Nazi Quarter, Sittwe City, Rakhine State.
Kini ia tinggal di kamp Thet Kyai Pyin bersama ibu dan empat saudaranya. Sementara, ayahnya sudah meninggal ketika ia masih berusia enam bulan.
Minimnya Air Bersih
Untuk kebutuhan air bersih masih sangat terbatas. Hand pump (pompa air tangan) yang ada saat ini belum mencukupi, sehingga butuh tambahan. Setelah kami ngobrol dengan komite kamp di Mor Thi Nyar, dibutuhkan sekitar 30 pompa air lagi. Ini khusus untuk di kamp Mor Thi Nyar.
Sarana MCK di kamp pengungsian sudah ada. Namun, karena sarana pendukung air bersihnya belum memadai. Sehingga, MCK belum dapat difungsikan secara maksimal bahkan cenderung terbengkalai. Bangunan MCK itu terlihat dibangun di berbagai blok kamp pengungsian. Warna dindingnya serempak, serupa biru laut “ Kebanyakan MCK yang ada dibangun oleh NGO (lembaga kemanusiaan) dari luar,” kata Raihan.

Sementara untuk kondisi perekonomian relatif cukup berjalan. Meskipun mereka hidup dalam keterbatasan karena tidak mendapat izin untuk bebas keluar masuk kamp. Semua barang yang masuk ke kamp dan desa-desa di sekitar kamp adalah distribusi pedagang dari Kota Sittwe yang berjarak sekitar 3 kilometer dari lokasi kamp pengungsian.
“Ini salah satu yang menjadi penopang utama roda kehidupan di sini. Sehingga, kami dapat bertahan hidup dalam kondisi yang serba terbatas,” jelas Raihan menambahkan.
Pantauan awak hidayatullah.com di lapangan, kamp-kamp pengungsian yang kini ada, lokasinya memang di dalam pedesaan Sittwe Township (Kabupaten Sittwe).
Seperti kamp Mor Thi Nyar berada di desa Mor Thi Nyar. Kamp Thet Kay Pyin berada di desa Thet Kay Pyin. Dan begitu seterusnya. Namun, lebih banyak jumlah desanya (50-an desa) daripada kamp pengungsian (16 titik). Rincian kamp pengungsian yang ada di Sittwe Township yaitu kamp Thet Kay Pyin, Mor Thi Nyar, Basara, Thea Chaung, Dar Paine, Say Thar Mar Gyi. Selain itu, ada 6 kamp Ohn Daw Gyi, 2 kamp Kone Dukka dan 2 kamp Baw Du Pha.*