Oleh: Ady Amar
APA itu Muslim terhormat, bukankah setiap Muslim itu terhormat? Harusnya setiap Muslim tanpa label terhormat pun, dia sudah terhormat.
Lalu kenapa mesti dilabeli terhormat, jika setiap Muslim itu terhormat? Itu sekadar membedakannya dengan Muslim yang telah menanggalkan sikap terhormatnya di hadapan kepentingan duniawi.
Karenanya, kita melihat Muslim yang bekerja tidak untuk kepentingan umat, tapi dari kepentingan kelompok lain, dan itu ditukar dengan kepentingan pribadinya semata guna pemenuhan hajatnya. Inilah Muslim yang runtuh, dan karenanya dia menanggalkan sikap terhormatnya sebagai seorang Muslim.
Tarik menarik antara kepentingan duniawi hingga menanggalkan sikap terhormat itu menjadikan Muslim tampak tidak terhormat di hadapan musuh-musuh Islam. Dia tampak sebagaimana Muslim yang terbeli, tergadai label terhormatnya di hadapan kekuasaan.
Tercerabutnya label terhormat pada Muslim itu menyasar seluruh lapisan. Tampak di kalangan umat kebanyakan, itu karena pemimpin umat telah mencontohkan sikap-sikap tidak terpuji. Menggadaikan agama di bidang politik, ekonomi, sosial dan lainnya. Itulah izzah umat yang hilang.
***
Fenomena politik, ekonomi, sosial dan lainnya yang tampak di sekitar kita adalah kekalahan Muslim, meskipun Muslim berada dalam mayoritas.
Baca: Syamsuddin Arif: Politik Islam berbeda dengan Islam Politik
Muslim kalah di mana-mana, dan jika menang di satu aspek maka dia tak ubahnya Muslim yang telah tercerabut sikap terhormatnya. Muslim yang hadir bekerja bukan untuk kepentingan umat yang memilihnya, yang berharap padanya.
Tak pantas terkejut jika produk politik dan hukum yang dihasilkan adalah kebijakan-kebijakan yang sama sekali tidak untuk kepentingan umat Islam. Untuk kepentingan kelompok yang sebenarnya bertentangan dengan agama.
Agama cuma sebagai sarana ritual semata, agama tidak dihadirkan saat yang bersangkutan mengambil kebijakan strategis untuk kemaslahatan umat.
Inilah fenomena yang mau tidak mau kita hadapi dan jalani. Suka atau tidak. Kebijakan yang menafikan agama hadir di tengah-tengah kita, kasus LGBT yang “dimenangkan” atau setidaknya dijadikan celah kemenangan. Itu mengagetkan kita semua.
Maka umat ke depan tidak perlu kaget lagi jika disuguhi kebijakan-kebijakan yang mengebiri agama, meletakkan agama di bawah nalar kepentingan duniawi.
Akhir-akhir ini muncul kesadaran di tengah-tengah umat, bahwa ada yang salah dalam hidup keberagamaan kita yang cuma suntuk pada ritual semata, tapi lalai atau dilalaikan pada hal-hal strategis yang mestinya umat hadir.
Maka ungkapan almarhum Mohammad Natsir, mantan Perdana Menteri dan salah satu pendiri Partai Masyumi, pernah mengatakan, lebih kurang demikian, “Islam ibadah diberi ruang seluas-luasnya, Islam berekonomi mulai diawasi, dan Islam politik harus dijauhkan …”
Pernyataan Mohammad Natsir di atas menjadi relevan melihat kondisi umat Islam saat ini. Dalam perspektif yang tidak sama persis tapi dengan rasa yang sama. Tidak ada larangan untuk berpolitik, yang ada adalah para politisi Muslim kebanyakan telah kehilangan kehormatannya.
Maka muncullah kesadaran “perlawanan” melihat fenomena yang ada. Kesadaran pentingnya Muslim berpolitik, berekonomi, dan beribadah dengan “kehormatan” yang seharusnya. Di sinilah Politik Aliran menjadi pilihan yang diharapkan bisa menyatukan mayoritas umat di tengah kepungan berbagai persoalan yang ada.
Politik Aliran di alam demokrasi adalah hal yang biasa, dan itu dimungkinkan. Itulah bisa jadi bentuk perlawanan umat meraih izzah yang hilang selama ini. Umat mesti disatukan gerak langkahnya mewarnai perjalanan individu dan keumatan.
***
Aksi 212 [di tahun 2016], yang menghimpun berjuta umat pada satu titik adalah fenomena yang begitu dahsyat. Tidak pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, bahkan dunia, konon lebih dari 7 juta manusia berkumpul dan menggelorakan semangat keadilan.
Maka Aksi 212 itu energinya masih terasa hingga lebih dari setahun kemudian, dan entah sampai waktu kapan energi itu mampu diberdayakan sebagai kekuatan umat Islam “memproklamirkan” Politik Aliran.
Politik Aliran tentu tidak semata dimaknai pada aspek politik praktis, tapi energinya bisa disalurkan ke ranah ekonomi, sosial-kemasyarakatan yang lebih luas. Dan itu dimungkinkan jika energi itu dikelola secara baik dan profesional.
Politik Aliran, yang energinya diperluas itu, bisa menjadi kekuatan umat berdaya di tengah kepungan hegemoni ekonomi yang hanya dikuasai segelintir manusia, yang mengendalikan perekonomian dari hulu ke hilir. Maka gerakan membeli produk-produk hasil umat Islam dan di toko-toko/lapak-lapak umat Islam muncul di tengah-tengah kesadaran umat demi pemberdayaan ekonomi umat.
Koperasi 212 dan mart-mart yang dihasilkan oleh energi Aksi 212 mulai menemukan bentuknya. Setidaknya umat tersadarkan dari tidur panjangnya, bahwa semuanya harus dimulai. Tidak ada kata terlambat untuk mulai meraih kejayaan ekonomi mikro yang merupakan alas bagi perekonomian bangsa.
Karenanya, Politik Aliran menyasar kepentingan semua aspek yang berkaitan dengan hajat umat dan keumatan. Tidak dimaknai sempit dengan hanya menyasar perebutan kekuasaan semata. Seluruh aspek kehidupan mesti diberdayakan, dan itu dilakukan secara terencana, terukur dan memilih prioritas utama untuk dikedepankan. Energi 212
itu adalah hikmah di balik semua peristiwa atas ketidakadilan dan ketimpangan yang dialami dan dirasakan umat. Maka tugas ulama yang masih bersikap lurus, wajib terus menggelorakan semangat untuk umat mendapatkan kehormatannya kembali.
Politik Aliran, kehadirannya oleh kelompok tertentu distigma dengan negatif. Dan itu wajar. Sebagaimana H.O.S. Tjokroaminoto saat mendirikan gerakan Syarikat Islam (SI) pun distigma oleh pemerintah kolonialis Belanda dengan stigma yang sama. SI jalan terus dan melahirkan tokoh-tokoh pergerakan tingkat nasional yang dalam sejarahnya memerdekakan negeri ini dari cengkeraman penjajah.
Tidak mustahil Politik Aliran yang mendapatkan energi dari Aksi 212 itu akan melahirkan para politisi, pengusaha, teknokrat Muslim yang handal, yang bekerja untuk kepentingan umat dan negara tercinta.*
Pemerhati Sosial dan Keagamaan