Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Ketidakpercayaan pada sesuatu, itu hal lumrah. Hal biasa saja. Tentu ketidakpercayaannya itu dibangun oleh landasannya sendiri, dan semua karena sebab tertentu.
Ketidakpercayaan pada personal tertentu, atau bahkan ketidakpercayaan pada institusi negara, itu muncul oleh sebab tertentu pula.
Ketidakpercayaan itu muncul, bisa karena dusta yang terus menerus diproduksi, atau bisa juga oleh sebab apa yang disampaikan atau informasi yang diterima, adalah sesuatu yang sulit bisa diterima nalar.
Maka yang terjadi adalah informasi yang disampaikan satu pihak tidak mampu mempengaruhi pihak lain untuk mempercayai, meski informasi dibangun dengan narasi sebaik apapun, tetapi tetap sulit untuk bisa dipercaya.
Ketidakpercayaan itu sudah begitu kuatnya, sehingga tanpa disadari terbentuk semacam rambu pertanda, yang lalu jadi pegangan. Rambu itu untuk penyikapan percaya atau tidak percaya.
Rambu itu muncul secara otomatis, semacam petunjuk jadi pegangan dalam menganalisa informasi yang masuk. Semacam panduan, bahkan untuk menyikapi suatu persoalan yang terjadi.
Panduan itu semacam catatan yang terpateri pada nalar. Semacam narasi jadi pemeo, yang bisa sebagai pengingat, sekaligus menjadi parameter penentu sikap untuk melihat sebuah peristiwa itu terjadi dengan sendirinya, atau justru hasil rekayasa.
Pemeo sederhana itu lalu jadi pegangan untuk mempercayai, dan atau tidak mempercayai: Jangan lihat pada sebuah kejadian, tapi lihatlah dari siapa informasi itu diberitakan.
Kejadian Demi Kejadian Muncul
Kejadian muncul setiap waktu, bahkan kejadian demi kejadian muncul pada waktu bersamaan. Kejadian itu bisa muncul dengan sendirinya. Tapi tidak sedikit kejadian muncul karena memang dimunculkan, atau biasa disebut dengan rekayasa.
Kejadian yang dimunculkan, itu tentu bersifat politis, dan dengan tujuan agar apa yang dimunculkan menimbulkan respons sesuai yang diharapkan.
Maka, segala cara dilakukan dalam merekayasa, agar apa yang diinginkan itu seolah sesuatu yang benar. Karenanya, akan timbul rasa percaya pada personal tertentu, tapi tidak pada lapisan lainnya.
Dalam konteks institusi negara pun hal merekayasa sebuah kejadian, itu sering bisa dilihat dengan tanpa pisau analisa yang njelimet. Dan jika terus menerus hal itu dilakukan, menganggap rekayasa sebelumnya berhasil, pastilah akan muncul sikap ketidakpercayaan yang lebih besar.
Jika itu yang terjadi, maka rambu, “jangan melihat pada sebuah kejadian, tapi lihatlah pada siapa yang memberitakan”, itu lalu jadi pegangan untuk menilai sebuah kejadian. Tidak ada yang mampu untuk mempengaruhinya, meski rekayasa dibuat dengan rapinya.
Pekan ini setidaknya, setelah kasus peledakan Gereja Katedral Makassar, Ahad, (28 Maret). Dan lalu lanjut peristiwa teroris lone wolf, pelaku seorang perempuan, di Mabes Polri (31 Maret), itu menyisakan tanya yang panjang dari banyak pihak.
Apa benar mereka itu teroris dalam maknanya yang sebenarnya, atau teroris jadi-jadian hasil rekayasa untuk maksud-maksud tertentu. Ketidakpercayaan atau setidaknya keraguan, itu muncul. Tidak ada yang salah dengan ketidakpercayaan itu.
Ketidakpercayaan itu muncul atas tanya, kenapa sasarannya itu gereja. Sasaran gereja itu bukan yang pertama, tapi yang kesekian kali. Peristiwa yang berulang pada satu obyek, yang semestinya tidak jadi sasaran, maka akan menimbulkan ketidakpercayaan makin menebal.
Teroris selalu ditempelkan pada muslim, dan yang disasar tempat peribadatan non-muslim, itu upaya menggiring opini, seolah ada persoalan antaragama di negeri ini. Padahal muslim tidak pernah ada persoalan dengan agama lain. Maka, sasaran bom pada gereja itu menjadi aneh.
Belum ditambah lagi dengan temuan-temuan netizen, yang memang berangkat dari ketidakpercayaan pada peristiwa itu, dan lalu menemukan kejanggalan-kejanggalan pada pelaku. Dan itu pada sepasang suami-istri dalam peristiwa bom Makassar. (Lihat pada media ini, “Tidak Ada Gen Teroris pada Jejak FPI, Jangan Mengada-ada“, 31 Maret).
Dan hanya dalam hitungan tiga hari, dari kasus bom Makassar, lalu muncul aksi perempuan berinisial ZA (25 tahun), di Mabes Polri. Perempuan bisa masuk di gedung itu, lalu mengeluarkan senjata pistol jenis airsoft gun. Tentu senjata ini tidak mematikan. Tampak seperti orang bingung atau bahkan stres, yang maju mundur tidak jelas mau melakukan apa.
Maka dorr… perempuan itu jatuh meregang nyawa. Kenapa mesti ditembak mati, kenapa tidak dilumpuhkan saja, misal menembak pada organ kaki. Dengan demikian bisa terkuak apa yang sesungguhnya terjadi.
Maka perempuan yang merenggang nyawa itu lalu distempel sebagai teroris. Stempel berat telah disematkan. Ia disebut lone wolf. Teroris yang melakukan aksinya seorang diri.
Lone Wolf dalam Tanda Kutip
Apakah pas ZA itu disebut sebagai lone wolf, sebagaimana keterangan Kapolri. Jika dilihat sepintas, memang pelaku seorang, dan itu bisa disebut lone wolf. Tapi apakah pelaku itu memang teroris sebenarnya yang “lone wolf”, mestinya itu bisa diungkap jika ZA tidak ditembak mati.
Hasil profiling ZA ditemukan tulisan-tulisan berkait dengan jihad. Bahkan sebelum aksinya itu, ZA masih menyempatkan diri memposting di Instagramnya, sebuah bendera ISIS. Semacam kita digiring untuk menampakkan jejaknya.
Saat melakukan penggeledahan ditemukan “surat wasiat”, yang ditulis ZA, ditujukan untuk orang tuanya. Bahkan dari WAG keluarga ada postingan darinya, ada kata-kata yang ditulisnya, bahwa yang bersangkutan akan pamit.
Tidak jelas memang pamit itu dalam konteks apa, tidak dijelaskan oleh Kapolri. Kata “pamit” itu dilepas begitu saja, semua diajak berasosiasi bahwa “pamit” itu, makna dari tidak kembali untuk selama-lamanya.
Maka sudah cukup bagi ZA untuk disematkan sebagai teroris yang bekerja sendirian (lone wolf).
Lone wolf memang gerakan teroris, yang melakukan gerakannya secara sendirian. Atau bisa juga, ia sebenarnya tergabung dalam kelompok tertentu, tapi ia keluar dari jalur komando lalu bergerak sendiri.
Disebut lone wolf, itu kedengarannya memang aneh. Karena sejatinya serigala (wolf), itu hidup berkelompok. Tapi ada yang keluar dari kelompok, karena sesuatu hal. Dan biasanya seperti juga singa jantan, yang diusir oleh kelompoknya karena sudah dianggap tua. Maka serigala yang bekerja sendirian, itu diibaratkan dengan manusia yang bekerja sendirian.
Maka seseorang yang bekerja/bisnis dengan pola sendirian, bahkan tidak merasa nyaman bekerja dalam sebuah team, maka ia pun mendapat julukan lone wolf. Tapi memang lone wolf populer disematkan pada teroris yang bekerja sendirian.
Serigala sendirian atau lone wolf ini telah menunjukkan, bahwa mereka bahkan bisa lebih berbahaya dari kelompok teroris terorganisir. ( Lone Wolf Terorism: Understanding Growing Threat, Jeffrey D. Simon).
Dalam buku itu, Simon, menampilkan beberapa contoh kasus lone wolf yang menggegerkan dunia. Kasus Anders Breivik, di Norwegia, bagaimana puluhan anak muda di bantai dengan bom. Ini terbilang sebagai pembunuhan massal.
Juga kasus lainnya yang mengguncang, dan dianggap kasus pembunuhan massal terburuk dalam sejarah Amerika. Dikenal sebagai pembantaian Orlando, yang dilakukan Omar Mateen.
Bisa dimasukkan juga peristiwa pembantian muslim yang sedang melakukan ibadah di Masjid Al-Noor dan Linwood Islamic Centre, di Christchurch, Selandia Baru. Menewaskan tidak kurang 50 orang, dan 20 orang luka berat. Aksi ini dilakukan Brenton Tarrant, seorang kristiani.
Lone wolf itu bisa dilakukan penganut agama manapun, tidak identik disematkan pada Islam. Baik kristen, Budha dan Hindu pun bisa melakukan itu. Simon dalam bukunya itu juga menyebut, bahkan bisa dilakukan ideologi politik manapun.
Melihat kasus ZA dengan airsoft gun, (31 Maret) di Mabes Polri, itu menampakkan banyak kejanggalan muncul. Karenanya, perasaan ketidakpercayaan banyak pihak, tentu punya alasan atau argumennya sendiri.
Spekulasi pun berkembang, itu hal biasa, jika keraguan tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan. Mungkinkah ZA melakukan “kenekatan”, itu karena pengaruh hipnotis? Tidak ada yang bisa memastikan. Tapi sebuah quotes dari seorang kawan yang tinggal di Bungo-Jambi, sedikit banyak mampu melihat itu semua dengan apik:
Orang gila akan dibiarkan hidup, supaya bisa menceritakan kegilaan dirinya.
Orang terhipnotis atau tercuci otaknya, akan mati sehingga tak bisa menceritakan kegilaan orang lain. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya