SESEORANG yang cinta kepada pasangannya belumlah sempurna apabila belum melewati ujian. Sebuah cinta yang tulus adalah cinta yang telah teruji; di kala senang berdua, di kala susah berdua, di kala sedih pun senantiasa berdua.
Begitu juga dengan iman yang kita miliki, seperti yang difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya. Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS al-Ankabut [29]: 2-3).
Ada dua macam ujian bagi iman kita. Pertama, adalah Allah menguji kita dengan memberikan kebahagiaan dalam hidup kita. Mendapatkan promosi jabatan di kantor, memperoleh rezeki yang berlimpah, menerima keuntungan bisnis yang berlipat-lipat, menemukan jodoh yang kita harapkan, dan berbagai macam kebahagiaan lainnya, adalah merupakan ujian dari Allah.
Betapa banyak orang yang jatuh ke dalam dosa ketika ia diuji dengan kebahagiaan. Larut dalam kegembiraan duniawi hingga lupa mensyukurinya. Tidak ingat untuk sujud kepada Allah yang telah memberikannya rezeki, yang telah memberikannya kelapangan dalam hidup ini. Inilah golongan orang-orang yang tidak sabar dalam ujian kebahagiaan. Ia menjadi sombong atas keberhasilannya, menganggap dirinyalah yang telah menjadikannya sukses dengan mendapatkan keberhasilan.
Ujian yang kedua adalah, Allah menguji kita dengan memberikan kesedihan dan ketakutan dalam hidup kita. Kematian orang yang kita cintai, musnahnya harta oleh karena bencana, kegagalan dalam usaha, dan berbagai macam cobaan lainnya, adalah ujian dari Allah. Tidak sedikit pula orang yang jatuh ke dalam dosa ketika ia diuji dengan kesedihan, diuji dengan kesusahan. Menjadi putus asa dan kehilangan semangat, lebih-lebih lagi berprasangka yang buruk kepada Allah, padahal Allah berfirman, “Aku, sesuai dengan prasangka hamba-Ku dan Aku bersama dengannya ketika ia ingat kepada-Ku. Jika ia ingat kepada-Ku di dalam hatinya, Aku pun ingat kepadanya di dalam hati-Ku. Jika ia ingat kepada-Ku dalam lingkungan khalayak ramai, niscaya Aku pun ingat kepadanya dalam lingkungan khalayak ramai yang lebih baik. Jika ia mendekati-Ku sejengkal, Aku mendekatinya pula sehasta. Jika ia mendekati-Ku sehasta, niscaya Aku mendekatinya sedepa. Dan jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku mendekatinya sambil berlari.” (HR Syaikhani dan Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Betapa kita sering tidak dapat bersabar melewati ujian. Padahal ujian adalah salah satu cara untuk meningkatkan derajat seseorang. Seorang murid SD (Sekolah Dasar) kelas 5 mau naik ke kelas 6 harus melewati ujian. Dan ternyata, ujian itu dibuat sesuai dengan kemampuannya, sesuai dengan apa yang telah ia pelajari, dan sesuai dengan apa yang ia ketahui. Tidak pernah ada anak SD kelas 5 yang mau naik ke kelas 6, diberi ujian anak kelas 1 SMA (Sekolah Menengah Atas). Apabila si anak dengan tekun dan sabar mau belajar hingga siap dalam menghadapi ujian, derajatnya naik satu tingkat, menjadi kelas 6 SD.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dan kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS al-Baqarah [2]: 286).
Kalau ujian yang dibuat oleh manusia saja bisa sesuai dengan kemampuan yang akan diuji, bagaimana mungkin Allah Yang Maha Mengukur kemampuan kita memberikan ujian yang kita sendiri tidak sanggup untuk menghadapinya. Namun ternyata, banyak sekali orang yang gagal dalam ujiannya karena kurang memiliki kesabaran dan kurang memiliki keyakinan kepada Allah.
Begitulah kebanyakan sifat manusia, seperti yang difirmankan Allah di dalam al-Quran, “Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata, ‘Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku’. Sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga, kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana) dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang hesar.” (QS Hud [11]: 9-11).
Kurangnya kesabaran dan kurangnya keyakinan kepada Allah ini menunjukkan kurangnya iman kepada Yang Telah Menciptakannya. Padahal Allah telah menjamin kehidupan setiap makhluk-Nya. Bayangkan, burung-burung yang terbang di udara saja diberi rezeki oleh Allah, maka bagaimana mungkin kita makhluk yang lebih mulia dari burung tidak diberikan rezeki. Namun, yang menjadi kesalahan kita ternyata adalah sikap kita dalam menghadapi ujian dari Allah.
Fatah al-Mausili ketika tengah sakit dan lapar berdoa, “Ya Tuhanku! Engkau telah menguji aku dengan sakit dan lapar dan Engkau berbuat yang demikian itu pula terhadap para wali kasih-Mu; maka dengan amalan apa aku dapat mensyukuri nikmat-Mu kepadaku?” (Imam al-Ghazali dalam Manajemen Qolbu).*/H.M Komarudin Chalil, dari bukunya Beranda Bahagia.