SEORANG buta datang menghadap Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam meminta izin tidak melaksanakan shalat berjamaah. Ia minta diberi keringanan karena penuntunnya ke masjid sudah tiada. Alangkah baiknya bila ia diperbolehkan shalat di rumah.
Nabi mengizinkannya. Tapi ketika Si Buta hendak kembali, Rasulullah memanggilnya, kemudian bertanya, “Apakah engkau mendengar seruan adzan?” Laki-laki tersebut menjawab, “ya”. “Jika demikian engkau tetap harus shalat berjamaah,” kata Rasulullah.
Jika orang buta lagi tak punya penuntun masih diwajibkan datang ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah lima kali sehari, bagaimana dengan mereka yang melek matanya? Tentu saja tidak ada alasan untuk meminta keringanan. Selagi adzan masih bisa didengar, shalat berjamaah wajib didatangi. Dalam kaitan ini Rasulullah bersabda, “Tidak sah shalat tetangga masjid kecuali di masjid.” (HR. Ad-Dharuquthni)
Tetangga masjid adalah mereka yang berada di seputar masjid, yang radiusnya meliputi siapa saja yang mendengar seruan adzan. Selagi ada di rumah, wajib atas mereka mendatangi shalat berjamaah.
Ibnu Mas’ud, sahabat dekat Nabi, pernah berkata, “Siapa yang ingin bertemu (berhadapan) dengan Allah kelak sebagai seorang muslim, maka hendaknya menjaga shalat lima waktu berjamaah di tempat di mana diserukan adzan. Karena Allah telah menetapkan syariat sunnal-huda, cara-cara melakukan ibadah. Dan shalat berjamaah di masjid itu termasuk dari sunnal-huda. Andaikata kamu shalat di rumahmu sebagaimana orang-orang yang tidak shalat berjamaah itu, berarti kamu telah meninggalkan sunnah Nabimu. Bila kamu meninggalkan sunnah Nabimu berarti kamu sesat. Kamu ketahui, kami para sahabat dahulu tidak ada yang tertinggal suntuk shalat jamaah, kecuali orang munafik yang terang kemunafikannya. Bahkan, adakalanya seorang tua dibopong oleh dua orang untuk ditegakkan di shaf.” (HR. Muslim)
Lagi-lagi kita dikejutkan oleh peringatan Ibnu Mas’ud yang cukup keras ini. Katanya, hanya orang-orang munafik yang telah gamblang kemunafikannya saja yang tidak menghadiri shalat berjamaah. Jadi betapa pentingnya shalat berjamaah itu. Bagi para sahabat, ientitas keislaman bukan terletak pada kopiah di kepala. Bukan pada baju gamis dan sarung. Identitas itu diketahui dari intensitas shalat berjamaah.
Dengan begitu, sangat wajar bila Nabi tidak mengizinkan orang buta lagi tak punya penuntun, untuk shalat sendirian di rumah. Wajar saja bila orang yang sudah tua renta tetap dibopong ke masjid untuk mengikuti shalat berjamaah. Bagaimana dengan kita yang masih sehat dan segar bugar ini. Apakah hanya karena alasan malas kemudian kita tinggalkan shalat berjamaah begitu saja? Apakah hanya karena sibuk, kemudian kita shalat sendiri di rumah?
Memang tidak gampang mendirikan shalat berjamaah secara istiqamah. Rumah yang dekat dengan masjid, ibaratnya hanya tinggal berjalan selangkah saja, belum menjamin penghuninya selalu shalat berjamaah. Apalagi yang rumahnya agak jauh. Apalagi punya kesibukan. Apalagi ini, apalagi itu.
Memang untuk itu mesti ada iman. Tanpa iman mana mungkin orang datang shalat. Sekedar datang ke masjid saja berat, apalagi shalat berjamaah secara rutin lima kali sehari. Ini bisa dibuktikan. Undanglah seseorang ke pengajian di masjid, yang datang bisa dihitung jari. Tapi bikinlah undangan pengajian di rumah, yang datang pasti berjumlah banyak.
Maka betul firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah: 18)
Adalah kewajiban semua mukmin memakmurkan masjidnya, utamanya tetangga dekat masjid. Salah satu yang harus diwujudkan adalah menghidupkan shalat berjamaah, selain majelis taklim dan aktivitas lainnya.
Disebut masjid karena tempat itu dijadikan kaum Muslimin sebagai tempat sujud. Karenanya, di setiap masjid hendaknya dikumandangkan adzan tepat pada waktunya, agar para jamaah segera bangkit meninggalkan kesibukannya untuk mendatangi masjid. Shalat berjamaah itu lebih penting dari apa pun. Perdagangan yang bagaimana pun besar keuntungannya tak bisa dibandingkan dengan nilai shalat berjamaah. Hanya saja kebanyakan kita belum tahu, atau tidak mau tahu.
Karenanya, sangat berat tugas imam rawatib. Sebaiknya yang menjadi imam rawatib itu adalah tokoh masyarakat. Tugasnya tidak hanya mengimami shalat berjamaah, tapi juga menjadi imam masyarakatnya. Bahkan kalau bisa, tugas-tugas kemasyarakatan itu diselesaikan di masjid. Dengan begitu akan terasa bahwa masjid itu merupakan pusat ibadah dan pusat budaya Islam.*/Sudirman STAIL (Sumber buku: Cara Mudah Menggapai Surga, Penulis Hamim Thohari)