Sebuah tugas dakwah datang dari atasan saya tahun 1990-an. Saya bersama beberapa teman harus pergi ke Balikpapan, Kalimantan Timur, untuk menghadiri musyawarah bersama di lembaga dakwah tempat saya berkhidmat.
Sebagaimana yang berlaku selama itu, setiap kali mendapat amanah dakwah, lembaga tidak pernah mengakomodasi keperluan para kader. Hatta tiket keberangkatan.
Bukan karena tidak ingin memvasilitasi. Tapi memang keadaan keuangan lembaga belum mampu mencukupi itu semua.
Meski demikian, tak memupus semangat juang para aktivis lembaga itu. Setali tiga uang, mereka sama sekali tidak menyoal apa lagi sampai menuntut kebijakan itu.
Prinsip yang dipegang ketika mendapat amanah tugas dakwah; “Sami’naa wa atha’naa” (Kami dengar dan kami taat).
Begitu juga dengan saya. Namun, terjadi kemasghulan dalam diri waktu itu. Pasalnya, setelah dihitung-hitung uang di saku hanya cukup untuk untuk tiket keberangkatan.
Di lain sisi, saya harus meninggalkan istri dan dua anak saya. Tanpa sepeser uang pun. Karena nggak ada yang tersisa, bila jadi dibelikan tiket keberangkatan
Sesampainya di rumah, saya ajak mesyawarah istri. Saya sampaikan kepadanya tentang amanah dakwah yang baru saya terima, sekaligus informasi tentang kondisi keuangan.
Ah, memang benar janji Allah dan Rasul-Nya, bahwa istri shalihah adalah perhiasan terindah di muka bumi ini, karena akan mampu menyenangkan, membahagiakan, bahkan menyejukkan hati sang suami.
Itulah yang saya rasakan, ketika mendengar jawabannya;
“Bismillah, mas. Berangkat saja laksanakan amanah. Insya Allah, Allah yang akan mencukupi rezeki kami di sini,” ucapnya lembut.
Entahlah. Saya tidak bisa menggambarkan perasaan hati saat itu. Ada kebahagiaan, keharuan, semua bercampuraduk.
Di atas itu semua, saya bersyukur kepada Allah dianugerahi istri yang senantiasa mendukung perjuangan dakwah ini, dalam kondisi apapun. Ini adalah nikmat luar biasa.
H-1 dari hari keberangkatan, saya bersama kawan-kawab sudah beranjak dari rumah ke kampus, yang jaraknya puluhan kilo meter. Tujuannya untuk merumuskan ide-ide yang akan disampaikan dalam forum di Balikpapan.
Karena iman belum sekokoh Nabi Ibrahim, yang ikhlas meninggalkan istri dan anaknya yang masih dalam buaian, di padang sahara nan tak ada nuansa kehidupan, tetap saja benak diliputi pikiran nasib anak-istri ditinggal tanpa bekal.
“Makan apa mereka di rumah?” Itulah satu di antara pertanyaan yang mengusik.
Tak tega membayangkan kondisi mereka, karena melihat waktu keberangkatan masih cukup lama, maka saya pamit izin untuk pulang barang sebentar, guna melihat keadaan keluarga di rumah.
Astaghfirullahal azhim. Kepada Allah saya meminta ampun atas kelemahan iman ini.
Sesampai di halaman rumah, terasa ada keganjalan. Saya mencium aroma masakan lezat dari dalam.
“Lho, ini kok aroma masakan enak. Dari mana mereka dapat?” Bisik batin.
Selepas mengucapkan salam dan masuk ke rumah, laa haulaa wa laa quwwata illa billahil azhim, ternyata benar. Telah tersaji masakan udang windu yang mampu mengundang selera makan.
“Dik, ini dari mana uang, kok bisa masak seperti ini?” Silidik saya kepada istri.
Tersingkaplah ‘teka-teki’ itu. Ternyata tak lama saya meninggalkan rumah, datang seorang sahabat, mencari saya.
Dia seorang pengusaha udang windu. Sering mengalami kerugian. Berdomisili di Kabupaten lain. Selama bisnis, ia sering mengalami kerugiaan. Bertepatan waktu, rupanya ia mendapat keuntungan.
Biidz nillah, dalam kemudahan rezeki itu, ia justru mencari saya, dan ingin berbagi kebahagiaan. Padahal, saya sama dia belum lama berkenalan. Bahkan, baru sekali saja berjumpa.
Tapi, itulah kuasa Allah, yang memutar-balikkan hati. Kata istri, selain memberi oleh-oleh berupa udang hasil panen, ia juga memberi sangu sebesar 200 ribu.
Untuk ukuran 1990-an, jumlah demikian itu sudah cukup banyak.
Terhadap nikmat Allah yang demikian ini, saya senantuasa bersyukur, dan meyakini sekali bahwa;
“Barang siapa membantu agama Allah, maka Allah pun akan mencurahkan bantuannya kepada hamba itu (intanshurullaha yanshurkum.).”
Akhirnya, saya pun berangkat menunaikan tugas, terbang ke Balikpapan, Kalimantan Timur, dengan pikuran dan hati yang tenang hingga saat ini. “Al-Hamdulillah ‘alaa kulli haal!”*/Sebagaiman yang dikisahkan Ustad Fulan, dai berdomisili di Surabaya, dalam sebuah sambutan di Kampus Hidayatullah, Panceng, Gresik. Diceritakan ulang Khairul Hibri