PERTEMUANKU dengannya siang itu sangat singkat. Hanya tiga puluh menit.Namun sungguh berkesan. Dia menghujani ku dengan butiran-butiran syahdu. Menyegarkan dan melapangkan. Melepas dahaga sebongkah jiwa yang haus akan ketulusan cinta.
Matanya teduh. Tutur katanya lugu. Parasnya masih menyisahkan kecantikan.
Tak perduli dengan giginya yang hanya tersisa dua batang. Dan kulitnya tidak lagi mulus. Di umur ke-70 tahun, Nenek Ana masih tetap bersemangat.
“Buku, Bu.. Pak, bukunya..” serunya memanggil-manggil pejalan kaki yang kebetulan melintas di depannya.
Perumahan Temlend Tambun, Bekasi siang itu nampak sepi. Sekalipun matahari hampir menggapai puncak langit. Hanya dua-tiga kendaraan bermotor yang nampak berseliwiran di Kawasan Elit itu.
Ana duduk di salah satu pelataran ruko. Kedua kakinya berbalut rok panjang. Menjuntai ke bawah teras yang tingginya setengah meter. Beberapa buku bergeletakan di sampingnya. Ada buku Iqro, Dua Puluh Doa-Doa Pilihan, Tata Cara Shalat, dan lainnya.
Sedari pagi dia duduk di sana, tempat di mana seorang nenek tua bisa tetap berjualan tanpa dipungut upeti ataupun diusir. Setidaknya, beberapa bulan ini dia aman-aman saja.
“Cape mah jelas cape. Tapi buat ngasih makan cucu,” jawabnya saat ku tanya, mengapa setiap hari masih panas-panasan berdagang buku.
Padahal usianya tidak muda lagi.
Nenek Ana hanya punya satu anak. Perempuan. Sejak lama putrinya menjada karena ditinggal mati sang suami. Dari anak semata wayangnya itu beliau dikaruniai tiga cucu.
Tanpa sosok lelaki di dalam keluarga, Nenek Ana dan anaknya berjibaku demi menghidupi ketiga cucu kecilnya. Termasuk dengan menjajakan buku agama.
Bercinta Lewat Doa
“Kalau sering mimpi itu kenapa, ya?” tanyanya.
“Memang, Nenek mimpi apa?” tanyaku.
“Nenek sering mimpi ketemu suami. Dia suka minta diambilin air minum,” katanya lagi.
Aku terdiam sejenak. Teringat sebuah pelajaran yang aku dapat selama menimba ilmu di Universitas di Al-Azhar, Mesir dulu.
Guru kami, Syeikh Dr. Hisyam Kami Al-Azhari As-Syafi’i. Beliau menjelaskan bahwa sebuah mimpi itu bisa saja terjadi, dan hanya orang yang bersangkutan tahu kebenarannya.
Sedangkan kita sebagai pendengar yang dimintai pandangan, harus memberi tafsiran yang baik. Karena, menurut beliau, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu Ta’ala Anha. Bahwa apapun bentuk mimpinya, harus baik tafsirnya.
“Itu artinya beliau minta dikirimi doa, Nek.Kan orang yang sudah meninggal itu makan dan minumnya berupa doa dari kita yang masih hidup..” kata ku.
Dia menjawab lagi, “Tapi, Nenek gak punya cukup uang buat doa bersama, ngundang anak-anak yatim. Apalagi ngundang ustadz. Buat makan aja susah,” keluhnya.
“Loh, Nek.. Setiap hari nenek kan ngasih makan anak yatim. Cucu nenek kan yatim. Anak nenek pun janda. Berarti setiap hari, nenek menyantuni anak yatim dan janda yang membutuhkan,” kataku mencoba menghibur.
“Padahal ya, Nek. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda. Bahwa orang-orang yang gemar menyantuni anak yatim, di surga nanti akan bersama dengan beliau seperti ini,” lanjut ku memberi isyarat jari telunjuk dan jari tengah sedikit direnggangkan.
“Wah.. Nenek bakal jadi tetangga Rasulullah di Surga Firdaus nanti. Amin ya, Nek..” kataku lagi.
Nenek Ana tersenyum. Sampai-sampai gigi yang tinggal dua terlihat.
Terik matahari kota Bekasi begitu menyengat. Ratusan Pabrik yang berjamur di kota ini membuat hawa kian menyesakan.
Namun siang itu, saat matahari menggapai puncaknya. Dan Nenek Ana berjalan rapuh menuju rumahnya yang berada di belakang Pasar Cibitung. Butiran hikmah menilisik ke dalam kalbu. Nilai-nilai cinta sejati itu mengguyur ku.
Seorang wanita tua renta. Papah sudah ketika berjalan. Remang pula saat melihat. Setiap harinya berdagang buku agama. Demi sesuap nasi ketiga cucunya. Alih-alih berpangku tangan. Bahkan suaminya yang sudah lama berpulang pun tak luput dari perhatiannya. Dari kasih sayangnya. Walaupun kini, mereka baru dapat bercinta lewat doa.*/MR Utama