Hidayatullah.com– Setidaknya 134 orang tewas dan 55 lainnya menderita luka-luka, termasuk wanita dan anak-anak dalam serangan mematikan oleh sekelompok orang bersenjata di Desa Ogozagou, Mali, lapor media lokal, kutip Anadolu.
Kelompok bersenjata menyerang dengan mengenakan pakaian tradisional Dogon, di desa-desa yang sebagian besar beragama Islam, Peulh-Fulani, Ogossagou dan Welingara di Mali tengah, hari Sabtu, mengejutkan penduduk yang telah menjadi sasaran serangan dan pembalasan, kutip AP.
“Korban tewas sebanyak 115 orang ini adalah pembantaian warga sipil Fulani oleh kelompok pemburu Dogon,” ujar Walikota Oenkoro, sebagai kota terdekat, Cheick Harouna Sankare, mengutip AFP.
Sankare mengatakan, jumlah korban tewas terus bertambah. Kini, seluruh jenazah warga Fulani sudah ditemukan.
Baca: Lebih 200 Kematian dalam Aksi Kekerasan di Nigeria Jelang Pemilu
Mayoritas korban tewas akibat tusukan senjata tajam dan tembakan senjata api. Beberapa sumber menyebut, penyerangan terjadi pada Sabtu dini hari. Pasukan keamanan Mali baru tiba sore hari di lokasi penyerangan.
Kelompok militan dari kelompok etnik-Dogon yang dikenal sebagai Dan Na Ambassagou telah dipersalahkan atas sejumlah serangan selama setahun terakhir, termasuk serangan hari Sabtu ini.
Pembantaian berlangsung saat delegasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berkunjung ke wilayah Sahel. Melalui twitter resmi, PBB mengutuk serangan terhadap warga sipil dan meminta pihak berwenang di Mali menyelidiki kejadian tersebut.
Para duta besar pun langsung melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Mali Soimeylou Boubeye Maiga guna membahas gejolak yang sedang terjadi di Mali.
Serangan terjadi kurang dari seminggu setelah afiliasi Al Qaida di Mali tengah mengklaim bertanggung jawab atas serangan terhadap pos tentara yang menewaskan 23 tentara Mali, yang diklaim dilakukan kelompok Jamaah Nusratul Islam wal Muslimin (JNIM).
Baca: Lima Belas Warga Sipil Tewas dalam Serangan Etnis di Mali
Pada hari Ahad, Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita menggantikan 11 komandan tentara, termasuk kepala staf angkatan darat Jenderal M’Bemba Moussa Keita dan Kepala Pasukan Darat Jenderal Abdrahamane Baby.
Perdana Menteri Soumeylou Boubeye Maiga mengatakan bahwa kelompok etnik-Dogon Dan Nan Ambassagou telah dibubarkan, dan disuruh menyerahkan senjata mereka. Maiga berkata: “Perlindungan populasi akan tetap menjadi monopoli negara.”
Desember lalu, Human Rights Watch memperingatkan bahwa “pembunuhan milisi terhadap warga sipil di Mali tengah dan utara sedang di luar kendali.”
Penyerangan ini bukanlah yang pertama terjadi di Mali. Pembantaian ini dipicu oleh persoalan ternak di tanah Dogon serta perselisihan akses tanah dan air. Terlebih, kawasan itu juga terganggu oleh pengaruh jihadis.
Dalam empat tahun terakhir, pejuang jihadis muncul sebagai ancaman di Mali tengah. Kelompok yang dipimpin oleh Amadou Koufa melakukan perekrutan dari komunitas Muslim Fulani.
Seiring dengan itu, bentrokan antara penggembala Fulani dan kelompok etnis Dogon terus terjadi. Tak tanggung-tanggung, bentrokan itu menewaskan 500 orang pada tahun lalu.
Pada Januari 2019, kelompok Dogon menyerang kelompok Fulani di desa lain dan menewaskan 37 orang di antaranya. Kelompok Fulani sebenarnya telah beberapa kali meminta perlindungan dari pihak berwenang.
Pemerintah setempat pun membantah bahwa mereka seakan menutup mata terhadap serangan Dogon kepada Fulani. Pada 2015 lalu, pemerintah Mali telah menandatangani perjanjian perdamaian dengan beberapa kelompok bersenjata. Sayangnya, jihadis tetap aktif dan sebagian besar wilayah di negara itu tetap berjalan tanpa hukum.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres dan Presiden Uni Afrika, Moussa Faki Mohammad mengeluarkan pernyataan yang mengecam serangan terhadap Suku Fulani pada akhir pekan kemarin di desa Ogossagou.
Dalam pesannya, Guterres mengutuk serangan keji tersebut yang menewaskan lebih dari 134 orang, termasuk wanita dan anak-anak.
Guterres juga mendesak pemerintah Mali untuk menyelidiki insiden itu dan menyeret mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan.
Para gembala Suku Fulani yang tinggal di bagian tengah Mali menjadi sasaran berbagai serangan atas insiden kekerasan yang terjadi di wilayah tersebut dalam beberapa tahun terakhir.*