Hidayatullah.com | JIKA di Indonesia saat ini sudah sangat semarak dan ramai pemakain jilbab, maka sudah seyogianya tidak melupakan jasa-jasa pejuang jilbab di Indonesia. Di antara para pejuang itu, nama A. Hassan sangat layak untuk diangkat.
Pada tahun 30-an (A. Hassan, Jilbab, 1984: V) dikisahkan betapa besar tantangan untuk menerapkan jilbab untuk wanita muslimah. Rumah-tumah wanita berjilbab anggota Persatuan Islam (Persis) Bandung sampai dilempari batu. Bahkan, sekolah yang didirikan Persis di Pameungpeuk sampai ditutup penguasa.
Sampai akhirnya A. Hassan turun tangan untuk berdialog dengan pihak bupati setempat. Bahkan, kalau dibaca dalam sejarah Indonesia, hingga tahun 1980-an pemakaian jilbab masih dianggap kontroversial dan mendapatkan perlakuan yang diskriminatif. Namun, alhamdulillah, sekarang semua sudah bisa menikmati kebebasan mengenakan jilbab.
Tantangan yang dihadapi oleh A. Hassan, Persatuan Islam dan yang sepaham pada waktu itu bukan saja dari penguasa, tapi muncul juga dari kalangan internal umat Islam sendiri yang menganggap jilbab tidak wajib. Sebagian bahkan menganggap urusan khilafiyah biasa.
Sebagai contoh, polemik A. Hassan dan majalah Al-Lisan-nya dengan majalah Aliran Baroe yang dipimpin Asa Bafagih. Dalam buku A. Hassan “Risalah Kudung: Dua Bahagian Tammat” (1954) diterangkan bagaimana polemik ini berjalan.
Risalah yang disusun A. Hassan ini sebagai respon terhadap artikel-artikel yang diterbikan majalah Aliran Baroe pada edisi 17-36 yang pada intinya menganggap kudung tidak wajib. Kumpulan artikel itu kemudian diterbitkan pada bulan Oktober 1941. Sayangnya, artikel masalah kerudung pada nomer 17, 18 dan 21 –yang dinilai kontroversial oleh A. Hassan—tidak dimuat di dalamnya.
Bukan saja menerbitkan risalah bantahan melalui Al-Lisan, A. Hassan pada akhirnya juga menerbitkan buku berjudul “Risalah Kudung”. Beliau tak segan-segan untuk menyampaikan kesediaan berdebat dengan Tuan Husain Bakri yang kabarnya pernah ‘menantang’ A. Hassan.
Dalam penutupan buku itu, A. Hassan menulis;
“Kalau betul merasa ada di fihak kebenaran, djanganlah takut bertemu muka di satu madjlis jang teratur dengan pakai djuri dan anggautanja.”
Sebelum menyebutkan secara singkat kritikan-kritikan A. Hassan yang dimuat dalam Al-Lisan, tentunya penulis berusaha mencari sumber-sumber asli majalah Aliran Baroe. Alhamdulillah, ada tiga majalah Aliran Baroe yang saya koleksi, yaitu: edisi nomer 19, 20 dan 23.
Dari majalah itu, sedikit terkonfirmasi bahwa memang ada serial masalah kerudung dibahas dalam majalah besutan tokoh peranakan Arab yang dekat dengan P.A.I. ini. Di rubrik yang disebut “Timbangan” ada tajuk khusus yang berjudul “Mas’alah Koedoeng”. Dalam edisi ke-23 (hal. 6 dan 7) ada kritikan kepada A. Hassan dan Al-Lisan-nya dengan judul “Toean Hasan Bandoeng. Tjaranja bertoekar pikiran.” Juga pada halaman 11, yang berjudul “Al-Lisan Contra Aliran Baroe! Menggunakan “Alat Koeno” dalam peperangan sekarang. Menghantjoerkan balatentara sendiri!”
Pada edisi tersebut A. Hassan disebut marah atas tindakan P.A.I tidak turut campur pada masala furu’ padahal dalam acara undangan pengantin, para istri kalangan P.A.I. melenyapan tradisi “telor-teloran”. Perbedaan pendapat ini sudah bertahun-tahun. Maka P.A.I tidak mau ikut “bertjakar-tjakar”.
A Hassan digambarkan sebagai sosok yang marah jika pendapatnya tak diikuti. Bertindak seperti badut-badutan; mengeluarkan banyolan mesum; disebut akal keling (istilah yang terkenal di Surabaya yang berarti tidak ksatria); kalau tulisan dikritik suka ngeles bahwa itu tulisan inisial M.S., S.A. dan seterusnya; tergesah-gersah dan lain-lainnya.
Sedangkan dalam artikel berikutnya, disebutkan polemik antara Al-Lisan dan P.A.I. Aliran Baroe tak terima ketika majalahnya dinamai “Qaliloel-Iman”. Mereka merasa digempur A. Hassan, merasa dinista, bahwa pembesar P.A.I. A.R. Baswedan pun tidak luput dari serangan A. Hassan. Tapi, semua itu dihadapi mereka dengan cara yang santun, tidak seperti A. Hassan (menurut majalah Aliran Baroe).
Tuduhan-tuduhan tersebut, ketika dibaca langsung dalam buku A. Hassan “Risalah Kudung” (1954) memang disebutkan oleh beliau. Beliau dituduh sebagai ulama yang suka cakar-cakaran, dicap sebagai pemecah, terlalu perhatian masalah furu’ dan lain sebagainya. Tapi, kata A. Hassan mereka tidak adil dalam menilai. Ketika orang lain membahas masalah furu’, justru dianggap sebagai sebagai bahan untuk berpikir dan lain sebagainya.
Secara jujur kalau saya bandingkan setelah membaca langsung di majalah Aliaran Baroe dan buku A. Hassan, ada ketimpangan. Di Aliran Baroe malah banyak cercaan dan celaan kepada A. Hassan, sedangkan bantahan yang bersifat ilmiah sangat minim dikeluarkan.
Sedangkan A. Hassan, dengan sangat tangkas menunjukkan poin-poin kekeliruan dan kesalahan majalah Aliran Baroe sejak nomer 17, berikut kritik dan jawabannya. Menurut catatan beliau, dalam tulisan Aliran Baroe ada kesalahan referensi, ketidak jujuran, kedustaan, lemahnya pemahaman bahasa, salah mengartikan kata Arab dan seterusnya.
Lebih lengkapnya bisa dibaca dalam buku A. Hassan ini. Kesan yang timbul, mereka terlihat lemah dalam dasar-dasar keagamaan.
Untuk mempertahankan pendapatnya, A. Hassan siap debat kapan saja, bahkan menawarkan dan mengikuti cara yang dibuat mereka. Maka tak mengherankan jika A. Hassan menulis:
“Oleh sebab masalah ini penting dan masih ada lagi alasan-alasan jang boleh dikemukakan dari sana dan sini, maka kami harap supaja golongan “Aliran Baroe” dan Sjaichul-Islam serta Muftinja sampai kepada ekor-ekornjam incluisief tuan Husain Bakri, Pekalongan, suka bertemu dengan kami dalam satu pertemuan jang sjarat-sjaratnja boleh fihak ,,Aliran Baroe” atur sendiri dengan pantas buat dua-dia fihak.” (1954: 70).*/Mahmud Budi Setiawan