Hidayatullah.com | BEBERAPA saat yang lalu, penulis mendapatkan pertanyaan via sms yang isinya sebagai berikut, “Ustadz orang yang berzina itu kan kalau ingin taubat, harus dirajam dulu ? bagaimana orang-orang yang sudah taubat dan belum dirajam, padahal mereka sudah mati, apakah taubat mereka diterima, dan di Indonesia kan tidak ada hukum rajam?“
Pertanyaan di atas mengandung dua masalah, masalah pertama : apakah taubat orang yang berzina tanpa dirajam terlebih dahulu akan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala? Masalah kedua : bagaimana penerapan hukuman rajam di Indonesia?
Untuk mempermudah masalah, pada edisi ini, kita bahas terlebih dahulu masalah pertama yaitu cara taubat orang yang berzina. Keterangannya sebagai berikut :
Apabila seorang muslim berzina, maka dia mempunyai dua keadaan :
Keadaan Pertama: Pemerintah mengetahui perbuatan tersebut, yaitu melalui dua cara :
Cara pertama, adanya empat orang saksi yang adil dan melaporkannya kepada pemerintah,
Cara kedua, sang pelaku melaporkan perbuatannya sendiri dan memintanya untuk ditegakkan hukuman kepadanya.
Dalam keadaan seperti ini, pemerintah wajib menegakkan hukuman had kepadanya. (Hukuman Had adalah hukuman yang kadarnya telah ditetapkan oleh Syariah terhadap kejahatan – kejahatan tertentu, seperti hukuman potongan tangan untuk pencuri, rajam bagi orang yang berzina jika dia sudah menikah, qishas bagi yang membunuh orang lain dengan sengaja tanpa haq).
Dalilnya adalah hadits kisah Ma’iz bin Malik al Aslami dan wanita Ghamidiyah, yang datang menemui Rasulullah ﷺ mengaku dirinya berzina dan ingin dibersihkan dari dosa tersebut, kemudian Rasulullah ﷺ merajam keduanya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ أَتَى رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَتَنَحَّى تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَقَالَ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى ثَنَى ذَلِكَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ دَعَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبِكَ جُنُونٌ قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ أَحْصَنْتَ قَالَ نَعَمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوهُ
“Dari Abu Hurairah bahwa dia berkata, “Seorang laki-laki Muslim datang kepada Rasulullah ﷺ saat beliau berada di Masjid. Laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah berzina!” Namun beliau berpaling, lalu laki-laki itu pindah dan menghadap wajah beliau seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah berzina!” Beliau tetap memalingkan muka ke arah lain hingga hal itu terjadi berulang sampai empat kali, setelah laki-laki itu mengakui sampai empat kali bahwa dirinya telah berzina, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Apakah kamu gila?” Jawab orang itu, “Tidak.” Beliau bertanya kepadanya lagi: “Apakah kamu telah menikah?” dia menjawab, “Ya.” Rasulullah ﷺ bersabda kepada para sahabat: “Bawa orang ini, kemudian rajamlah dia.” (HR: Muslim).
Ini dikuatkan dengan Hadist Zaid bin Aslam, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,
فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِي لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ عَلَيْهِ كِتَابَ اللَّهِ
“Barangsiapa memberitahukan perbuatannya kepada kami, maka akan kami tegakkan atasnya hukum Allah.” ( Hadits Shohih Riwayat Malik dan Ahmad).
Keadaan Kedua: Kejahatan tersebut belum diketahui oleh pemerintah, maka pelakunya jika ingin bertaubat, maka ia harus menyesali perbuatan tersebut dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Kemudian dia harus memperbanyak amal sholeh di sisa – sisa umurnya, itu saja.
Apakah hukuman baginya menjadi gugur setelah bertaubat? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini:
Pendapat Pertama: Hukuman had harus tetap ditegakkan kepadanya, walaupun dia sudah bertaubat. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah dan Dhahiriyah dan salah satu pendapat Imam Syafi’i:
Adapun dalil- dalil nya adalah sebagai berikut :
Pertama, adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS: An-Nur: 2).
Ayat di atas menunjukkan perintah untuk menerapkan hukuman pada orang yang berzina. Dan ini berlaku umum, baik yang sudah bertaubat maupun yang belum bertaubat.
Kedua: Hadist Nabi ﷺ menerapkan hukum rajam kepada orang yang mengaku berzina yang bertaubat.
لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ
“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang pelaku dosa besar niscaya dosanya akan diampuni.” Setelah itu beliau memerintahkan untuk menshalati jenazahnya dan menguburkannya.” (HR: Muslim).
Hadist di atas menunjukkan bahwa orang yang berzina, walaupun sudah bertaubat, tetap harus dihukum.
Ketiga: Bahwa hukuman diterapkan kepada pelaku zina dengan tujuan untuk membersihkan dari dosa tersebut di dunia ini. Selama itu belum ditegakkan kepadanya, maka dia belum bersih dari dosa. Dan ini sekaligus sebagai bentuk kaffarah.
Pendapat Kedua: Jika seseorang yang berzina telah bertaubat sebelum ditegakkan hukuman had kepadanya, dalam arti pemerintah belum mengetahui perbuatannya, maka hukuman tersebut menjadi gugur. Ini adalah pendapat Hanabilah dan sebagian ulama Syafi’iyah.
Dalil-dalil mereka sebagai berikut :
Dalil pertama: Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَاللَّذَانَ يَأْتِيَانِهَا مِنكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِن تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُواْ عَنْهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ تَوَّابًا رَّحِيمًا
“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS: An Nisa’ : 16).
Ayat di atas secara tegas memerintahkan untuk berpaling dari orang yang berzina, kemudian dia bertaubat dari perbuatannya. Perintah berpaling berarti tidak boleh menerapkan hukuman had atasnya.
Dalil kedua: Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS: Al Maidah : 39).
Ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang mencuri, kemudian bertaubat dan memperbaiki diri, maka Allah menerima taubatnya, serta tidak dikenakan hukuman had kepadanya. Hal ini berlaku juga bagi orang yang berzina dan bertaubat.
Dalil ketiga: Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ مِن قَبْلِ أَن تَقْدِرُواْ عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS:. Al Maidah : 34).
Para perampok dan pengacau keamanan yang mengancam nyawa dan harta masyarakat, jika mereka bertaubat sebelum ditangkap, maka tidak boleh diterapkan hukuman had kepada mereka. Kalau saja mereka yang melakukan kejahatan yang sangat besar tersebut diterima taubat mereka tanpa diterapkan hukuman had, tentunya kejahatan perzinaan yang tidak mengancam hara dan nyawa, lebih berhak untuk diterima taubat mereka tanpa harus diterapkan hukuman had.
Pendapat ketiga: Taubat orang yang berzina diterima oleh Allah swt dan terbebas dari hukuman, karena perbuatan zina berhubungan dengan hak Allah. Kecuali jika pezina sendiri meminta diterapkan hukuman had kepadanya untuk membersihkan dirinya. Ini pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim.
Pendapat keempat: Orang yang telah bertaubat seakan-akan dia tidak melakukan perbuatan tersebut, dan taubat itu sendiri menutupi dosa-dosa sebelumnya, maka hukuman had menjadi gugur dengan taubat tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,
التائب من الذنب كمن لا ذنب له
“Orang yang bertaubat dari dosanya sebagaimana orang yang tidak memiliki dosa.“ (HR: Ibnu Majah dan Baihaqi).
Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bahwa orang yang berzina, jika belum diketahui oleh pemerintah, dan dia telah bertaubat dari perbuatannya, maka taubat nya diterima oleh Allah swt, dan secara otomati hukuman hadnya menjadi gugur.
Apakah wajib baginya untuk melaporkan diri kepada pemerintah?
Tidak wajib baginya untuk melaporkan diri kepada pemerintah, dan tidak boleh menceritakan perbuatan maksiatnya itu kepada orang lain tanpa ada keperluan. Tetapi justru dianjurkan untuk menutupi perbuatannya tersebut, jangan sampai seorangpun mengetahuinya.
Dalil-dalilnya sebagai berikut :
Dalil pertama: Firman Allah subhanahu wa ta’ala setelah menjelaskan sejumlah dosa besar termasuk berzina,
إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (QS: Al Furqan : 70).
Dalil kedua: Hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
لَا يَسْتُرُ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya Allah swt tidaklah menutupi seorang hamba di dunia, kecuali Allah juga akan menutupinya pada hari kiamat kelak.” (HR: Muslim : 4691)
Dalil ketiga: Hadist Zaid bin Aslam, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ أَصَابَ مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِي لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ عَلَيْهِ كِتَابَ اللَّهِ
“Barangsiapa terjerumus pada perbuatan kotor ini maka hendaknya dia menutupinya dengan perlindungan Allah. Barangsiapa memberitahukan perbuatannya kepada kami, maka akan kami tegakkan atasnya hukum Allah.” (HR: Malik dan Ahmad).
Bagaimana sikap orang yang mengetahui perbuatan tersebut, apakah melaporkan kepada pemerintah atau diam saja?
Harus dirinci terlebih dahulu: Jika orang itu bisa dinasehati secara diam-diam, dan dia mau mendengar nasehat dan mau bertaubat, maka sebaiknya ditutupi aibnya, dan tidak disebarluaskan. Dalilnya adalah hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat.“ (HR: Muslim). Wallahu a’lam.*/Dr Ahmad Zein An Najah, MA