Hidayatullah.com | JIKA seseorang mengalami bermimpi bertemu dengan Rasulullah ﷺ, apakah yang ia lihat harus sesuai dengan bentuk dan sifat-sifat beliau? Dan apakah yang disampaikan dalam mimpi itu wajib itu wajib untuk diamalkan? Para ulama telah menjelaskan hal itu semua.
Adapun perkara bertemu dengan Rasulullah ﷺ dalam mimpi, merupakan hal yang mungkin, sebagaimana tercantum dalam Hadits:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ رَآنِي فِي المَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي اليَقَظَةِ، وَلاَ يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي» (رواه البخاري: 6993, 9/ 33)
Artinya: Dari Abu Hurairah ia berkata,”Aku telah mendengar bahwasannya Nabi ﷺ bersabda,’Barang siapa telah melihatku di waktu tidur (mimpi) maka ia akan melihatku tatkala terjaga, dan syaitan tidak mampu menyerupakan diri terhadapku.’” (Riwayat Al Bukhari: 6993, 9/33)
Apakah Harus Sesuai dengan Sifat Rasulullah?
Sedangkan Ashim bin Kulaib mengisahkan, bahwasannya ayahnya suatu saat menyatakan kepada Ibnu Abbas bahwasannya ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah ﷺ atkala Ibnu Abbas bertanya mengenai ciri-ciri yang ia lihat, ia menyebutkan ciri-ciri Hasan bin Ali. Maka Ibnu Abbas pun berkata,”Engkau telah melihatnya.” ( dalam Fath Al Bari, 12/383)
Namun, ada khabar yang dikeluarkan oleh Ibnu Abu Ashim dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda, ”Barangsiapa melihatku dalam mimpi maka ia telah melihatku, sesungguhnya aku dinampakkan dalam setiap bentuk.” Ibnu Hajar menghukumi khabar ini sebagai khabar yang sanadnya dhaif. (dalam Fath Al Bari, 12/383).
Nah, apakah kalau mimpi bertemu Rasulullah ﷺ harus sesui dengan sifat yang dimiliki oleh beliau?
Ada ulama yang berpendapat bahwasannya mimpi bertemu dengan Rasululullah ﷺ harus sesuai dengan sifat-sifat Rasulullah ﷺ di saat beliau wafat. Pendapat ini dikomentari oleh Ibnu Hajar,”Yang benar adalah hal itu bersifat umum, yakni seluruh kondisi beliau.” (dalam Fath Al Bari, 12/386).
Ibnu Sirin, ketika ada seseorang yang mengklaim bahwasannya ia bermimpi bertemu Rasulullah ﷺ, maka ia mengatakan, ”Gambarkan kepadaku apa yang engkau lihat.” Jika gambaran itu tidak ia kenal, maka ia mengatakan, ”Engkau tidak melihatnya.” (dalam Fath Al Bari, 12/383).
Namun para ulama ada yang berpendapat bahwasannya bisa saja seseorang bertemu dengan Rasulullah ﷺ dalam mimpi. Namun dalam mimpi itu yang ia lihat berbeda dengan sifat-sifat beliau.
Ibnu Al Baqilani berkata, ”Terkadang seseorang melihat beliau dalam keadaan memiliki sifat yang berbeda dengan sifat beliau yang diketahui. Sebagaimana beliau berjanggut putih, dan bisa jadi dua orang melihat beliau di di suatau masa, di mana salah satunya berada di timur dan lainnya berada di barat. Dan keduanya melihatnya di tempatnya masing-masing.” Lalu belau meneruskan, ”Adapun jika ia melihat tidak sesuai dengan sifatnya atau di dua tempat dalam satu waktu maka ia yang keliru terhadap sifatnya dan ia mengkhayal mengenai sifat itu berbeda dengan haikatnya. (dalam Syarh Shahih Muslim li An Nawawi, 15/25).
Qadhi Iyadh menyatakan bahwasannya ada kemungkinan arti sabda beliau, ”Maka ia telah melihatku sebenar-benarnya.” Yakni bahwasannya ketika orang yang bermimpi melihat beliau (Nabi ﷺ) sesuai dengan sifat beliau ketika hidup maka itu adalah mimpi yang benar, sedangkan ketika ia melihat sifat yang berbeda dengan bentuk beliau, maka itu adalah mimpi yang ditafsirkan. (dalam Fath Al Bari, 12/383).
Imam An Nawawi berkata, “Adapun yang shahih sesungguhnya ia melihatnya sebenar-benarnya, baik dengan sifatnya maupun tidak dengan sifatnya. Namun mimpi yang pertama tidak butuh untuk ditafsirkan sedangkan mimpi yang kedua butuh untuk ditafsirkan.” (dalam Fath Al Bari, 12/383).
Ibnu Abi Jamrah juga berkata, ”Barangsiapa melihatnya dengan bentuk yang baik, maka itu karena kebaikan diennya. Dan barangsiapa melihatnya dengan kekurangan di anggota badan, maka itu adalah kekurangan bagi dien yang melihatnya. Ini adalah pendapat yang haq.” (dalam Fath Al Bari, 12/387).
Jika Bermimpi Bertemu Rasulullah dan Ada Perintah, Apakah Wajib Dilaksanakan?
Imam An Nawawi menyatakan bahwasannya mimpi bertemu Rasulullah ﷺ adalah mimpi yang haq. Namun hal itu tidak bisa dijadikan pijakan hukum syariat. Hal itu disebabkan bahwasannya syarat kesaksian dan diterimanya khabar dari seseorang adalah bahwasannya periwayat itu sadar, dan tidak dalam kondisi lalai, tidak pula buruk hafalan, tidak pula banyak kekeliruan, tidak pula ketepatan hafalannya bermasalah, sedangkan orang yang sedang kondisi tidur tidak memiliki sifat-sifat ini.
Namun, jika dalam mimpi itu Rasulullah ﷺ memerintahkan perkara sunnah, atau melarang perkara yang dilarang atau perkara yang terkandung maslahat, maka tidak ada khilaf mengenai kesunnahan untuk melaksanaknnya. Karena hal itu dilakukan bukan karena memimpi saja, namun karena ada perintah asalnya. (dalam Syarh Shahih Muslim li An Nawawi, 1/115).*