Hidayatullah.com–Ribuan orang asal negara-negara Afrika yang belajar di Ukraina sangat ingin segera angkat kaki ketika Rusia menginvasi negara itu. Namun, dengan dibatalkannya penerbangan dan pilihan lain yang terbatas, tidak banyak yang dapat dilakukan oleh pemerintah mereka
“Semua orang dalam tekanan – ada ledakan di berbagai kota, termasuk kota tempat saya tinggal, Kyiv,” kata mahasiswi berusia 23 tahun asal Nigeria Sarah Ajifa Idachaba, yang sedang belajar kedokteran di ibukota Ukraina bersama dengan kakak perempuannya, kepada DW Kamis (24/2/2022).
“Saya dan saudara perempuan saya panik karena kami tidak tahu apa yang akan terjadi. Kami tidak aman dan kami tidak yakin dapat pergi dari sini karena bandara ditutup,” kata Idachaba, setelah Rusia melancarkan invasi ke Ukraina pada Kamis pagi.
Ukraina telah menutup wilayah udaranya untuk penerbangan sipil, termasuk dari bandara Kyiv, dengan alasan risiko keselamatan yang tinggi.
“Kami adalah warga Nigeria, dan kami membutuhkan bantuan. Tolong jangan abaikan kami, jangan tinggalkan kami sendiri,” katanya.
Temi Rosabel Tseye-Okotie asal Nigeria, yang juga belajar kedokteran di Ukraina, memiliki perasaan yang sama dengan Idachaba.
“Sejujurnya? Kami takut – kami tidak tahu harus berbuat apa. Informasi yang kami dapatkan dari pemerintah Nigeria pada dasarnya adalah bahwa kami sendirian,” katanya kepada DW.
Sekitar 4.000 orang Nigeria saat ini belajar di Ukraina. Sebagian dari mereka menggunakan media sosial untuk menumpahkan kekesalan mereka tentang kurangnya informasi dari pemerintah Nigeria.
“Presiden Nigeria Muhammadu Buhari telah memberi tahu warganya di Ukraina untuk menolong diri mereka sendiri,” tulis Ron Peters di laman Facebook DW Afrika. “Akan mengejutkan banyak orang jika dia menawarkan bantuan.”
Pada Kamis sore, Menteri Luar Negeri Nigeria Geoffrey Onyeama mengatakan dalam sebuah video yang dirilis di Twitter bahwa begitu bandara dibuka kembali, pemerintahnya akan membantu evakuasi orang-orang yang ingin meninggalkan Ukraina.
Orang Nigeria merupakan kelompok mahasiswa asing terbesar kedua di Ukraina. Kelompok terbesar adalah
dari Maroko dengan 8.000 mahasiswa, sementara Mesir di urutan ketiga dengan 3.500 mahasiswa.
Dua minggu lalu, pemerintah Maroko meminta warganya untuk meninggalkan Ukraina sesegera mungkin, sementara kepala komunitas Mesir di Ukraina, Ali Farouk, mengatakan pekan lalu bahwa pihak berwenang di Ukraina dan kedutaan Mesir sedang mengoordinasikan pemulangan mahasiswa Mesir.
Lebih dari 20% siswa internasional Ukraina adalah orang Afrika, yang belajar di berbagai kota di seluruh penjuru negeri itu. Banyak yang tertarik dengan sekolah teknik dan kedokteran yang bagus di negara tersebut, ditambah dengan biaya yang relatif rendah.
Kedutaan Besar Nigeria di Kyiv pada hari Kamis menyarankan warga negara Nigeria yang tinggal di Ukraina untuk “tetap tenang tetapi sangat waspada dan bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan pribadi mereka.”
Richard, seorang warga Nigeria yang tinggal di Kyiv yang meminta agar nama lengkapnya tidak diungkapkan, mengatakan kepada DW bahwa dia mencoba mengikuti saran itu.
Dia mengatakan dia melihat orang-orang mengemasi barang-barang mereka ke dalam mobil dan melarikan diri dari rumah mereka.
Richard mengatakan banyak orang berharap untuk pergi ke bagian barat, jauh dari perbatasan dengan Rusia, dengan harapan mendapat keamanan di perbatasan Polandia.
Namun, dia tidak mau mengikuti cara mereka.
“Saya akan tetap tinggal di dalam rumah,” katanya. “Jalanan tidak aman. Saran saya tetap di rumah. Tidak baik mengambil keputusan saat Anda dalam keadaan panik,” katanya.
Dia bahkan tidak berani keluar rumah untuk membeli kebutuhan, katanya, karena “antrian di depan toko dan apotek tidak ada habisnya.”
“Tolong bantu kami,” tulis Augustine Akoi Kollie, mahasiswa kedokteran tahun kelima yang tinggal di Ternopil, Ukraina bagian barat, kepada DW lewat media sosial. Dia berasal dari Liberia.
Meskipun pemerintah Zimbabwe telah mengatakan siap untuk menerbangkan warganya keluar dari Ukraina, mahasiswa asal Zimbabwe Mellisa Charuvira mengatakan kepada DW bahwa tawaran itu tidak membantu dalam situasi saat ini, karena tidak ada cara untuk meninggalkan Ukraina.
“Tidak ada transportasi – tidak ada bus dari Kyiv ke kota-kota lain,” katanya sambil menangis.
Zimbabwe tidak memiliki kedutaan besar di Ukraina. Perwakilan diplomatik terdekatnya adalah di ibu kota Jerman, Berlin.
“Kami telah menghubungi Duta Besar Zimbabwe di Berlin, dan dia mengatakan dia sedang mengatur sesuatu. Saat ini kami tidak memiliki perlindungan. Kami tidak bisa keluar melalui perbatasan manapun. Permintaan saya adalah agar kami dievakuasi,” kata Charuvira.*