Keterampilan dan kejujuran penerjemah menjadi kata kunci agar isi buku tidak menimbulkan kesalahan makna
Hidayatullah.com | MARAKNYA upaya menerjemahkan dari bahasa perantara telah menimbulkan banyak diskusi pro kontra. Kesalahan fatal dari kitab suci umat Kristiani, harus dipahami benar oleh kaum muslim.
Tidak bisa dipungkiri, karya karya tulis bermutu telah berjumlah ratusan dan bahkan ribuan. Karya tulis itu layak dinikmati oleh semua orang dari berbagai negara.
Hanya saja, menterjemah sebuah buku dari buku terjemahan, dan bukan buku aslinya, telah menimbulkan kesalahan makna dan sering mengaikbatkan sebuah ‘kerusakan’.
Meski tentu, ada banyak pujian bagi buku terjemahan dari bahasa perantara. Hal itu dipandang sebagai upaya besar mentransformasi gagasan dan ide dari para penulis bahasa lain.
Masalahnya banyak buku terjemahan dari buku perantara, yang mutunya rendah. Padahal buku aslinya tergolong amat baik dan berkualitas. Para penterjemah itu telah menjadikan buku berkualitas, menjadi buku sampah.
Masyarakat yang tidak paham, akhirnya bertanya: apakah buku tersebut aslinya memang jelek? Ataukah kualitas terjemahannya yang payah?
Mengapa penerjemah harus menerjemahkan karya dari bahasa perantara dan bukan dari bahasa aslinya, dan apa kekurangannya? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang membuka pintu bagi pertanyaan-pertanyaan lain, tetapi realitas terjemahan perantara sejatinya tidak-lah terlalu buruk.
Ada pembaca yang memercayai kompetensi nama penerjemah tertentu, terlepas dari bahasa dari mana terjemahan itu diterjemahkan, apakah itu dari bahasa asli atau dari bahasa perantara.
Ada banyak contoh yang bisa dikutip.
Diantaranya adalah terjemahan dari penyair Libanon بسام حجار/ Bassaam Hajaar, yang menerjemahkan banyak sastra Jepang dari bahasa Prancis. Atau terjemahan penerjemah Suriah سامي الدروبي/ Saamii Al Duruubii, penerjemah Rusia Dostoevsky dan Tolstoy, dll.
Kesalahan besar
Penyair dan penerjemah نور طلال نصرة/ Nuur Tholaal Nashroh (lahir tahun 1987) berpendapat bahwa para penerjemahan adalah ‘mediator budaya’ bagi masyarakat. Cara ini sejatinya telah ada ribuan tahun yang lampau.
Nuur memandang para penterjemah ini adalah solusi mudah bagi sebuah dilema yang membentang berabad-abad di antara peradaban. “Terjemahan perantara, yang berarti terjemahan dari terjemahan, datang sebagai jembatan yang kokoh antara budaya masyarakat”, ujar Nuur.
Banyak yang mungkin tidak tahu bahwa cendekiawan ابن المقفّع/ Ibn Al Muqoffa’, misalnya, penterjemah dari Era Abbasiyah telah menterjemahkan Kisah Kalila dan Dimana yang aslinya ditulis dalam bahasa Hindi, kemudian diterjemahkan dalam melalui bahasa Persia. Nah, ابن المقفّع/ Ibn Al Muqoffa’ kemudian menterjemahkan dari bahasa Persia ke bahasa ‘Arab.
Jadi menurutnya, kita tidak bisa menyangkal pentingnya peran mereka. “Para pembaca tidak berhak meremehkan upaya penerjemah dengan dalih bahwa ia menerjemahkan karya ini dari bahasa perantara” ungkap Nuur.
Terjemahan
Kesalahan terbesar justru berasal dari terjemahan dari bahasa asli. Masalahnya memang bukan pada penerjemahan dari bahasa asli atau bahasa perantara, melainkan pada keterampilan dan kejujuran penerjemah.
Nuur menekankan bahwa ia tidak bermaksud untuk menempatkan kata kejujuran dalam kotak yang berlawanan dengan kata makar. Agar tidak jatuh ke dalam tuduhan klasik pengkhianatan terjemahan.
Point utamanya menurut Nuur, kejujuran penerjemah dalam penyelidikannya terhadap dimensi teks. Penelitiannya dan membuat perbaikan yang diperlukan. Melakukan upaya yang diperlukan dan membandingkan terjemahan perantara dalam bahasa aslinya jika memungkinkan.
Tetapi pertanyaannya, jika penterjemah perantara harus dan mampu membandingkan dengan buku aslinya, mengapa tidak menterjemahkannya langsung dari buku asli? Bukankah sebuah keanehan bila seeorang menterjemahkan dari buku terjemahan, sementara ia memiliki buku aslinya?
Jawabannya jelas, si penterjemah tidak menguasai bahasa asli buku tsb.
Sampai disini, mungkin kita bisa memaklumi. Tetapi frame atau pemikiran bahwa buku terjemahan perantara adalah sah dan bermutu adalah sebuah frame yang fatal.
Para penterjemah atau penulis seperti نور طلال نصرة/ Nuur Tholaal Nashroh adalah produk dari sebuah pertarungan antara kaum agamis dan non-agamis.
Tidak akan pernah, dan tidak akan mungkin, sebuah buku terjemahan perantara, bisa ‘seperti’ buku aslinya. Baik gagasan, ide, narasi atau bahkan ruh-nya.
Karena pasti akan ada kesalahan dalam mentransformasi satu bahasa ke dalam bahasa lainnya. Bahasa tidak semata mata kata, tetapi ia mengandung makna, ide, sentuhan dan gairah. Ada ‘ruh’ di dalamnya.
Kita tidak bisa menterjemahkan kata ‘iqro’ dalam bahasa ‘Arab semata mata hanya dengan ‘membaca’. Tetapi kita juga tidak akan sepenuhnya mampu menangkap esensi kata ‘iqro’ dalam ruang lingkup bahasa Indonesia.
Jika karya tulis itu bersifat non agamis, maka kesalahan tidak akan terlalu fatal. Tetapi bila menyangkut masalah iman atau syariah, maka kita tidak bisa membayangkan akibat buruk yang ditimbulkan.
Kitab suci kaum Kristen, sudah cukup bagi kita untuk menjadi pelajaran. Lihat saja, Injil terjemahan Indonesia, amat sangat jauh berbeda maknanya dengan Injiil terjemahan Afrika, China, Arab.
Orang orang Kristen menterjemahkan Injil ke dalam bahasa mereka, dengan mengambil dari buku terjemahan. Memang mereka kehilangan injiil yang asli, tetapi gagasan untuk merujuk pada satu bahasa terjemahan yang disepakati, tidak mau mereka ambil, akibatnya, mereka punya puluhan kitab suci.
Bahasa Arab, adalah darah bagi kaum muslim. Karena Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab. Dan Rosulullah Muhammad ﷺ mentransformasikan ruh Al-Quran, tentu, kedalam bahasa Arab.
Jadi tidak bisa tidak, kita harus memahami Islam, dari bahasa Arab. Dan bukan dari bahasa lain. Kalau kita tidak bisa bahasa Arab, maka belajar lah. Minimal, kita merujuk pada ulama kita yang kompeten dalam bahasa Arab.
Bagaimana dengan buku buku yang ditulis oleh ulama yang hidup setelah jaman tabi’in? Bisakah kita menterjemah buku buku mereka dari buku perantara?
Maka jawabannya, tidak. Karena sekali lagi, menterjemah langsung dari buku aslinya saja tidak bisa seperti buku aslinya, apalagi dari buku perantara.ah, terjemahan dari bahasa perantara jauh lebih baik kualitasnya dibanding buku terjemahan dari buku aslinya
Apalagi misalnya ulama A dari Turki menulis tentang iman Islam, yang pasti rujukan tafsir Al Quran dan Hadits yang dipakai sang ulama adalah dari bahasa ‘Arab. Itu artinya, ulama A telah melakukan terjemahan dari bahasa Arab. Lalu kemudian kita menterjemahkan buku A yang berbahasa Turki dari buku perantara yang berbahasa Inggris misalnya. Maka bisa dipastikan kesenjakan makna dan artinya, akan semakin lebar dan berpotensi menyimpang.*/Hariono Madar (ajz)