Haḍārah memberikan gambaran mendasar tentang unsur dan pola peradaban, menekankan pada sifat menetap masyarakat, sebagai lawan nomaden
Oleh: Dr Alwi Alatas
Hidayatullah.com | DALAM Bahasa Arab, setidaknya ada tiga istilah yang biasanya diterjemahkan sebagai “peradaban”. Ketiga kata itu adalah ḥaḍārah, ‘umrān, dan tamaddun. Walaupun sama-sama dapat diterjemahkan sebagai peradaban, ketiga kata ini memiliki akar kata yang berbeda dan masing-masing memiliki penekanan yang berbeda secara bahasa dalam kaitannya dengan peradaban.
Penjelasan tentang masing-masing kosakata ini berikut kata-kata yang berkaitan dengannya menarik untuk ditelusuri dan dapat menambah pemahaman dasar tentang apa yang dimaksud dengan peradaban. Pada tulisan kali ini akan didiskusikan makna kata haḍārah, akar katanya dalam bahasa Arab serta perkataan yang berkaitan dengannya. Semua itu memberikan suatu gambaran, bahkan narasi, tentang muncul dan berkembangnya peradaban.
Secara bahasa, kata ḥaḍārah memiliki akar kata ḥaḍara yang antara lain bermakna “hadir” (to be present), “berpartisipasi” (to participate, to take part), “siap” (ready, prepare), “membuat” (to make, produce, manufacture), “membawa” (to bring, supply), “belajar” (to study). Selain itu, yang terutama relevan untuk kajian ini, kata haḍara juga memiliki makna “menetap” (to settle) dan “memperadabkan” (to civilize).
Kata ḥaḍar bermakna “penduduk yang hidup menetap” (settled population), “penduduk kota” (town dwellers), atau “satu wilayah berperadaban dengan kota-kota dan desa-desa serta penduduk yang menetap” (a civilized region with towns and villages and a settled population). Ia merupakan suatu keadaan yang berlawanan dengan gurun pasir dan padang stepa. Kata ḥāḍirah bermakna “ibu kota” (capital city, metropolis) atau kota yang merupakan pusat peradaban.
Sementara itu kata ḥaḍārah bermakna “peradaban” (civilization), “Kebudayaan” (culture), atau “keadaan menetap” (settledness, sedentariness). Adapun kata taḥaḍḍur berarti “cara hidup yang beradab” (civilized way of life) dan mutaḥaḍḍir artinya “beradab” (civilized) (Hans-Wehr, 1966: 183-185).
Secara umum, perkataan ini banyak terkait dengan makna hadir dan menetap. Aplikasinya yang penting antara lain berkenaan dengan menetapnya masyarakat di suatu tempat, sebagai lawan dari cara hidup berpindah-pindah.
Beberapa arti kata ḥaḍara di atas, seperti aktivitas manufaktur dan belajar hanya dapat dilakukan dengan baik dalam konteks kehidupan yang menetap, dan sulit diwujudkan di tengah kehidupan yang nomaden.
Menurut Ibn Manẓūr (1119H: 906-907), al-ḥaḍar bermakna khilāf al-badw atau sesuatu yang berlawanan dengan kehidupan nomaden. Al-ḥāḍir adalah penduduk di perkotaan dan desa-desa (al-muqīm fī al-mudun wa al-qurā), sementara al-bādī adalah orang-orang yang tinggal di gurun pasir (al-muqīm bi-l-bādiyah).
Pengenalan terhadap makna kata-kata ini berikut lawan katanya memberikan satu pengertian yang mendasar tentang proses muncul dan berkembangnya peradaban, proses yang berkaitan dengan sifat menetap masyarakat di lingkungan geografis tertentu.
Masyarakat di masa lalu, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Khaldūn, berkembang dari pola hidup nomaden ke pola hidup menetap.
Ibn Khaldūn menjelaskan bahwa cara hidup masyarakat dipengaruhi oleh mata pencahariannya dan mereka perlu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya sebelum dapat memperoleh kekayaan dan kemewahan, tentu lewat wujudnya kerja sama dan organisasi sosial-ekonomi. Kemudian ia menerangkan:
Mereka yang hidup dari pertanian atau peternakan tidak dapat menghindari panggilan padang pasir, karena hanya itu yang menawarkan ladang luas, hektar, padang rumput untuk hewan, dan hal-hal lain yang tidak ditawarkan oleh daerah pemukiman. Oleh karena itu perlu bagi mereka untuk membatasi diri di padang pasir [dan hidup sebagai orang-orang Badui, pen]. Organisasi sosial dan kerja sama mereka untuk kebutuhan hidup dan peradaban, seperti makanan, tempat tinggal, dan kehangatan, tidak membawa mereka melampaui tingkat penghidupan yang subsisten, karena ketidakmampuan mereka (untuk menyediakan) apa pun di luar (benda-benda) itu. Perbaikan kondisi mereka selanjutnya dan penghimpunan lebih banyak kekayaan dan kenyamanan daripada yang mereka butuhkan, menyebabkan mereka beristirahat dan bersantai. Kemudian, mereka bekerja sama untuk hal-hal di luar kebutuhan (dasar). Mereka menggunakan lebih banyak makanan dan pakaian, dan bangga akan hal itu. Mereka membangun rumah-rumah besar, dan menata kota-kota untuk perlindungan. Ini diikuti dengan peningkatan kenyamanan dan kemudahan, yang mengarah pada pembentukan kebiasaan mewah yang sangat berkembang…. Di sini, sekarang, (kita memiliki) orang-orang yang hidup menetap (sedentary people). “Masyarakat yang menetap” berarti penduduk kota dan negara, beberapa di antaranya menjadikan kerajinan sebagai cara mencari nafkah, sementara beberapa lainnya memilih perdagangan. Mereka berpenghasilan lebih banyak dan hidup lebih nyaman daripada orang-orang Badui, karena mereka hidup pada tingkat di atas kebutuhan (dasar), dan cara mereka mencari nafkah sesuai dengan kekayaan mereka. (Ibn Khaldūn, 1958: I/249-250)
Dalam pemaparan di atas Ibn Khaldūn menjelaskan tentang proses berkembangnya masyarakat dari kehidupan nomaden ke kehidupan menetap, dari mata pencaharian yang subsisten kepada kehidupan yang lebih makmur dan berlimpah di perkotaan.
Pada salah satu sub-bab, Ibn Khaldūn (1958: I/252) menegaskan bahwa “orang-orang Badui lebih dulu [ada] daripada orang-orang yang hidup menetap” dan “Gurun pasir adalah basis dan reservoir peradaban dan kota-kota.”
Sejumlah kajian akademik mendukung penjelasan ini. Manusia mulai hidup menetap dalam pemukiman-pemukiman yang permanen beberapa ribu tahun sebelum masehi. Pemukiman-pemukiman ini kemudian berkembang menjadi kota, negara-kota (city-state) dan akhirnya imperium.
Ada banyak contoh kota yang muncul di peradaban-peradaban lama: Uruk, Memphis, Harappa, Athena, dan masih banyak lagi. Dengan kata lain, peradaban (ḥaḍārah) berkembang seiring dengan muncul dan tumbuhnya masyarakat yang hidup menetap (ḥaḍar).
Semua peradaban ini bermula dan berkembang di sekitar air (sungai atau mata air). Mesopotamia bermakna peradaban yang berada di antara dua sungai, Eufrat dan Tigris. Peradaban Mesir Kuno disebut sebagai hadiah dari Sungai Nil.
Mohenjo-daro dan Harappa berkembang di sekitar Sungai Indus dan kota-kota awal di Cina tumbuh di sekitar sungai-sungai utama di kawasan itu (Scarre & Fagan, 2016).
Walaupun bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi muncul dan berkembangnya peradaban, air merupakan unsur yang sangat penting bagi dimulainya kehidupan menetap. Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia dan karenanya juga bagi peradaban.
Pertanian dan peternakan yang merupakan mata pencaharian dasar bagi suatu peradaban tidak mungkin bertahan tanpa suplai air yang mencukupi.
Menariknya, beberapa turunan kata ḥaḍara juga memiliki kaitan dengan air. Salah satu makna kata al-maḥḍar, misalnya, merujuk kepada air, dalam hal ini air yang mengalir secara berterusan.
Demikian pula dikatakan bahwa “setiap orang yang turun ke tempat air yang mengalir tanpa henti dan tidak berpaling darinya pada musim dingin atau musim panas, maka ia disebut sebagai ḥāḍir”. Kata yang terakhir ini juga digunakan bagi mereka yang tinggal di dekat sumber air (al-muqīm ‘ala-l-mā’) dan lawan katanya adalah musafir (al-musāfir). Dan juga dikatakan “Bani Fulan menetap (ḥāḍir) di sumber air ini dan itu” (Ibn Manẓūr, 1119H: 907).
Makna dari kata-kata yang berkaitan dengan ḥaḍārah di atas memberikan gambaran mendasar tentang unsur dan pola peradaban, setidaknya di fase-fase awal kemunculannya. Perkataan ḥaḍārah yang memiliki arti peradaban menekankan pada sifat menetap dari suatu masyarakat, sebagai lawan dari cara hidup nomaden atau berpindah-pindah.
Masyarakat yang menetap ini biasanya berkembang di sekitar sumber air yang mengalir secara terus menerus, yaitu di sekitar sungai atau mata air, yang dapat memberikan dukungan bagi tumbuhnya populasi yang padat. Pemukiman ini akhirnya membesar menjadi kota dan pusat peradaban. Wallahu a’lam./Kuala Lumpur,22 Jumadil Akhir1444/ 15 Januari 2023
Penulis adalah staf akademik di International Islamic University Malaysia (IIUM)
Daftar Pustaka
Hans-Wehr. 1966. A Dictionary of Modern Written Arabic. Wiesbaden: Otto Harrassowitz.
Ibn Khaldūn. 1958. The Muqaddimah: An Introduction to History, Vol. I (Trans. Franz Rosenthal). New York: Bollingen Foundation.
Ibn Manẓūr. 1119H. Lisān al-‘Arab. Kairo: Dār al-Ma’ārif.
Scarre, Chris & Fagan, Brian. 2016. Ancient Civilizations. London & New York: Routledge.