Nabi Muhammad dan Islam tidak akan mampu dihinakan siapa saja. Justru, yang berusaha menghinakannyalah yang sejatinya hina, begini cara Haji Agus Salim merespon aksi bela Islam dan penistaan agama
Hidayatullah.com | SURAT Kabar Mustika pimpinan H. Agus Salim (No. 2, Selasa 5 Mei 1931), memberitakan kasus menggemparkan jagad umat Islam di Indonesia. Dalam tajuk “Islam Bergerak” diberitakan reaksi umat Islam terhadap penistaan agama –khususnya menyangkut kehormatan Nabi Muhamamd– yang ditulis oleh Oei Bee Tai (yang disingkat dengan inisial B.) pada surat kabar Tionghoa, Hoa Kiao pada 25 April 1931.
Judul tulisannya “Mohamet” dan yang membuat umat Islam geram adalah potongan tulisan berikut: “Mohamet satoe profeet djendral dan wetgever , jang soeka sekali sama wawangian, pertjobaan boeat memboenoeh diri meninggal dalam keadaan gila.” Intinya, Nabi Muhammad ﷺ ditulis mau bunuh diri, suka wewangian dan meninggal dalam kondisi gila.
Hal ini menimbulkan reaksi kolektif dari umat Islam di wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Maka pada 4 Mei 1931, P.S.I.I. dengan 15 organisasi keislaman lain (Majelis Permusyawaratan Islam, Komite Pembela Islam, JIB, Persatuan Putra Boeneo, Gadis Islam, Muruatul Ikhwan, I.A.V., A.V., An-Nasher, Alchairiyah, Ar-Rabithah, Al-Irsyad, Chairiyyah) berkumpul di gedung Meeroeatoel-Ichwan, Surabaya memperbincangkan masalah ini. Organisiasi NU pun kemudian menyusul turut mendukung.
Di antara keputusan pertemuan ini, inti poinnya sebagai berikut. Pertama, mendirikan suatu Komite Al-Islam yang terdiri dari 25 pihak perhimpunan (organisasi). Yang mana, perhimpunan ini dipimpin oleh W. Wondo Amiseno. Dengan Skretaris A. Hassan dan A. Lahab. Serta pengurus lain: OEsman bin Amin dan Noeh Al-Kaff.
Kedua, tulisan dalam Hoa Kiaoe dinilsi sangat menghina dan merendahkan Nabi Muhammad ﷺ. Di samping itu dinilai sebagai pencemaran kebenaran agama Islam dan sangat melukai hati umat Islam.
Ketiga, komite akan membuat maklumat tersiar sebagai catatan atas tulisan inisial B. yang menghinda Nabi Muhammad. Keempat, komite akan mengadakan protes pada tanggal 17 bulan Mei kepada redaksi surat kabar Hoa Kiao, supaya minta maaf dan menerbitkan nomer khusus permintaan maaf.
Kelima, komite mengharuskan kepada segenap bangsa Tionghoa agar turut protes kepada penulis B. dan redaksi Hoa Kiao. Keenam, menghimbau kepada organisasi-organisasi Islam di Indonesia untuk mendukung aksi Komite Al-Islam. Ketujuh, Komite Al-Islam supaya diizinkan menyiarkan keputusan ini ke segenap pers di seluruh Indonesia. Inilah beberapa keputusan penting yang ditandatangani Wondo Amiseno di Surabaya pada 4 Mei 193.
Setelah memberitakan masalah ini, ada poin-poin menarik yang ditulis oleh H. Agus Salim yang menunjukkan bahwa beliau menyetujui aksi bela Islam, tapi bukan dengan membabi buta, dengan pertimbangan rasio matang dan tidak menimbulkan kerusuhan yang justru merusak stabilitas nasional.
Secara umum, dengan dimuatnya berita ini, Haji Agus Salim setuju dengan aksi bela Islam dari penistaan penulis inisial B. tersebut. Tulis beliau, “Kita moeatkan ma’loemat diatas ini dengan ‘oemoemnja menjetoedjoei maksoed dan toedjoean-nja.”
Di antara alasannya;
Pertama, sikap aksi itu yang tidak menjeneralisir yang salah. Artinya, meski pelaku adalah orang Tionghoa, namun tidak kehilangan obyektifitas dalam meluruskan kesalahan, sehingga tidak menyalahkan seluruh bangsa Tionghoa, tapi fokus ada pelaku saja.
Kedua, dengan ajakan umum kepada bangsa Tionghoa, maka ini berarti penistaan agama bukan sekadar urusan umat Islam. Agama apa pun tidak boleh dinistakan.
Maka dengan adanya kasus ini, maka setiap agama berperan serta dalam mendukung setiap penistaan agama. Ini dilakukan untuk meredam potensi konflik antar-bangsa.
Meski secara umum Haji Agus Salim setuju dengan aksi luhur ini, hanya ada catatan yang patut diperhatikan dari beliau, utamanya pada poin keputusan nomer dua terkhusus pada kalimat, “Sangat menghinkan dan merendahkan djondjoengan kita Nabi Moehammad s.a.w. da meroesak mentjemarkan kebenaran agama Islam dan sangat meloekai hati oemat Islam.”
Bagi Haji Agus Salim, sejatinya tidak ada seorang pun yang bisa merendahkan Nabi Muhammad atau merusak dan mencemarkan kebenaran agama Islam. Simak kalaimat beliau ini, “Deradjad Nabi dan kebenaran agama Islam tidak dapat dilanggar orang, melainkan djatoehlah deradjar orang jang melanggar itoe dalam anggapan tiap-tiap manoesia jang sopan lagi berakal. Adapoean akan anggapan orang jang liar jang ta’ berakal, tentoe ta’ perloe kita indahkan.”
Dari kalimat ini tersirat pesan penting bahwa Nabi Muhammad dan Islam tidak akan mampu dihinakan siapa saja. Justru, yang berusaha menghinakannyalah yang sejatinya hina. Lebih lanjut Haji Agus Salim menulis, “Jang haroes ditolak ialah kebiadaban dan koerang-adjarannja orang jang berbuat itoe.”
Jadi, ketika umat Islam melakukan aksi terhadap penistaan agama, bukan karena anggapan Islam dan Nabi pasti terhina dengan hal itu, tetapi aksi itu dilakukan karena kekurangajaran dan kebiadapan perilaku penista itu.
Dari beberapa poin itu, pembaca bisa memperhatikan cara Haji Agus Salim dalam merespon aksi bela Islam dari penistaan agama. Beliau tetap mendukung, tapi bersamaan dengan itu tidak kehilangan nalar kritis.
Beliau menghimbau agar umat Islam jangan kehilangan akal sehat, sehingga manifestasinya bukan sekadar luapan emosi dan kekerasan yang justru kontraporoduktif terhadap kstabilan dan kerukunan.
Suatu aksi bela Islam yang tidak kehilangan rasio, pertimbangan matang dan yang tak kalah penting adalah bisa menjaga keutuhan, kedamaian dan menghidarkan diri dari aksi kekerasan yang membabi buta. Itulah di antaranya yang bisa dibaca dari respon Haji Agus Salim.*/Mahmud Budi Setiawan