Ratu Dewi Dwarawati, permaisuri Raja Majapahit terakhir yang bernama Bhre Kertabhumi, yang sedikit banyak mempengaruhi para muslimah terbaik Nusantara
Hidayatullah.com | PARA ulama sepakat, bahwa hukum pernikahan Ratu Dwarawati yang muslimah dengan Raja Majapahit yang non-muslim adalah haram. Namun, para ulama berdoa, semoga dosa tersebut, ditutupi oleh pahala besar, karena melalui peran beliau lah, sebagian besar masyarakat Jawa, Madura, dan Nusa Tenggara menjadi pemeluk Islam hingga kini. (Salim A. Fillah, 2021)
Dewi Dwarawati adalah salah satu wanita berpengaruh dunia pada abad ke-15 M yang cenderung kurang dikenal oleh masyarakat. Ratu Dewi Dwarawati, seorang permaisuri dari Raja Majapahit terakhir yang bernama Bhre Kertabhumi atau populer dengan nama Prabu Brawijaya V.
Tanpa bermaksud mengurangi penghormatan kepada Ratu Kalinyamat, Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Rohana Kuddus, dan para muslimah terbaik Nusantara lainnya, disadari ataupun tidak, pengaruh Dwarawati di Nusantara jauh lebih besar.
Meskipun tidak dikenal sebagai ulama wanita maupun berstatus sebagai da’iyah, Dwarawati memiliki andil yang sangat besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa, Madura, dan Nusa Tenggara.
Dewi Dwarawati adalah Putri Campa (kini Vietnam) yang dinikahkan dengan Raja Majapahit bernama Dyah Ranawijaya, yang terkenal dengan gelar Brawijaya. Pernikahan tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kerjasama bilateral antara dua kerajaan berpengaruh di Asia Tenggara saat itu, Campa dan Majapahit.
Dengan diiringi ratusan orang muslim dan muslimah yang merupakan pelayan setianya dari Campa, Dwarawati pindah ke Majapahit untuk menjadi istri Ranawijaya, sekaligus sebagai the first lady di kerajaan berideologi Hindu-Budha tersebut.
Ketika diinvasi oleh kerajaan Angkor (kini Kamboja) yang berideologi Budha, tidak sedikit rakyat Campa yang hijrah ke Majapahit. Mereka diberi suaka politik oleh Brawijaya, raja yang sangat mencintai istrinya tersebut.
Kedua kemenakan Dwarawati dari Campa, yaitu kakak-beradik Sayyid Ali Murtadha dan Sayyid Ali Rahmatullah, setelah hijrah ke Majapahit, diberi jabatan setingkat menteri oleh Brawijaya.
Murtadha yang pernah memperoleh pendidikan perwira militer di Timur Tengah, diangkat sebagai panglima tentara Majapahit. Murtadha juga diberi tugas membentuk korps pasukan khusus di kerajaan tersebut.
Sehingga banyak tentara yang sebelumnya beragama Hindu dan Budha, diberi hidayah untuk memeluk Islam.Setelah pensiun dari militer, Murtadha aktif berdakwah dan membangun basis dakwahnya di Gisik (pesisir Tuban), sehingga ia diberi gelar “Sunan Gisik”.
Selain diberi tugas melanjutkan dakwah Syeikh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Gisik juga aktif berdakwah ke tetapi Madura dan Nusa Tenggara. Sehingga banyak masyarakat Madura dan Nusa Tenggara yang juga diberi hidayah memeluk Islam.
Ibrahim adalah ulama dari Azerbaijan yang lebih dahulu sampai dan berdakwah di Majapahit, ketika kerajaan tersebut diperintah oleh Wikramawardhana, kakek Brawijaya.
Sementara itu, adik Murtadha, yaitu Rahmatullah, diberi jabatan setingkat menteri pendidikan oleh Brawijaya. Ia ditugaskan membangun sekolah pemerintahan, yang mahasiswanya merupakan para calon pegawai kerajaan.
Sekolah pemerintahan ini dibangun di Ampeldenta, kawasan pesisir Surabaya. Ia pun juga aktif berdakwah di kawasan tersebut, sehingga diberi gelar “Sunan Ampel”.
Atas rekomendasi Ratu Dwarawati, seorang ulama sekaligus dokter asal Turki bernama Syekh Maulana Ishaq, diangkat sebagai menteri kesehatan oleh Brawijaya. Ishaq ditugaskan mempimpin operasi pemberantasan wabah kolera yang menyerang masyarakat Blambangan (kini Banyuwangi). Keberhasilan operasi ini membuat masyarakat setempat takjub kepada Islam, dan diberi hidayah untuk menjadi pengikut ajaran Nabi Muhammad ﷺ.
Sunan Gisik, Sunan Ampel, dan Ishaq dikenal memiliki banyak anak biologis maupun ideologis yang setelah dewasa menjadi ulama besar pelanjut dakwah di Jawa dan sekitarnya. Para ulama tersebut aktif dalam semacam ormas dakwah yang dicatat sejarah dengan nama “Wali Songo”.
Berkat dakwah Wali Songo dan para santri maupun jamaahnya, Islam berkembang pesat dan hingga kini dipeluk oleh mayoritas penduduk Jawa, Madura, Nusa Tenggara, dan kawasan Nusantara lainnya.
Dengan demikian, secara langsung maupun tidak, Ratu Dwarawati dianggap memiliki andil dalam perkembangan dakwah tersebut. Para ulama mendoakan beliau, semoga dosa menikah dengan Brawijaya yang beragama Budha, ditutupi dengan banyaknya pahala turut berpartisipasi dalam mengislamkan jutaan penduduk Nusantara. Wallahua’lam.* / Muh. Nurhidayat, peneliti Komunikasi Dakwah, Pengajar Ponpes Kun Sholihan, Gunungkidul, D.I. Yogyakarta, dari berbagai sumber referensi.