Surat-surat yang ditulis oleh para pemimpin Islam Indonesia pada Paus Yohanes Paulus II bukti bahwa di tengah semangat dialog, bahkan ada surat persuasif KH. AR. Fakhruddin, menegaskan Islam tidak menaksakan beragama
Hidayatullah.com | KEDATANGAN PAUS FRANSISCUS ke Indonesia selalu menjadi momen bersejarah yang memicu berbagai refleksi dari berbagai kalangan, termasuk dari tokoh-tokoh Islam terkemuka di Indonesia.
Meski seringkali diselimuti oleh seremonial dan dialog antaragama yang hangat, ada sisi lain dari kunjungan ini yang patut diperhatikan—yaitu tanggapan dan harapan dari umat Islam terhadap hubungan yang dinamis antara Islam dan Kristen di Indonesia.
Surat-surat yang ditulis oleh para pemimpin Islam Indonesia kepada Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1989 menjadi bukti bahwa di tengah semangat dialog, masih ada kekhawatiran mendalam terhadap potensi ketegangan yang muncul dari penyalahgunaan diakonia.
Dalam surat-surat itu, mereka menyampaikan dengan tegas keprihatinan akan dampak negatif yang bisa ditimbulkan dari misi-misi keagamaan yang kurang etis. Pesan ini, meskipun ditulis puluhan tahun lalu, tetap relevan hingga saat ini, mengingat dinamika keagamaan yang masih terus berkembang di Indonesia.
Artikel ini akan mengeksplorasi isi dari surat-surat tersebut, menggali pesan-pesan yang terkandung di dalamnya, dan melihat bagaimana nilai-nilai yang disampaikan oleh para tokoh Islam ini masih memiliki relevansi dalam konteks sosial dan keagamaan Indonesia masa kini.
Dalam catatan sejarah, Paus Paulus VI adalah yang pertama kali berkunjung ke Indonesia pada 3-4 Desember 1970, diikuti kemudian oleh Paus Yohanes Paulus II pada 8-12 Oktober 1989. Kini, kedatangan Paus Fransiskus yang sedang ramai diperbincangkan di berbagai media, merupakan kedatangan Paus yang ketiga kali di Indonesia yang diharapkan membawa ingatan kita kembali pada momen bersejarah ini.

Pada tahun 1989, tokoh-tokoh Islam Indonesia melihat kesempatan ini sebagai momen penting untuk menyampaikan pandangan dan kekhawatiran mereka mengenai hubungan antara umat Islam dan Kristen Katolik di Indonesia.
Dua surat dari tokoh-tokoh Islam Indonesia saat itu menjadi sorotan, menunjukkan upaya mereka dalam menjaga keharmonisan antarumat beragama dan menegaskan pentingnya etika dalam penyebaran agama.
Surat pertama berjudul “Surat kepada Paus Yohanes Paulus II agar Penyalahgunaan Diakonia Dihentikan”, ditandatangani oleh tokoh-tokoh besar seperti Mohammad Natsir, KH. Masykur, KH. Rusli Abdul Wahid, dan Prof. Dr. H.M. Rasjidi.
Surat ini kemudian diterbitkan oleh Penerbit Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, sebagai bagian dari usaha untuk menjaga kedamaian dan mencegah ketegangan antara umat Islam dan Kristen di Indonesia.
Dalam surat tersebut, disampaikan kekhawatiran bahwa penyebaran agama yang tidak etis, khususnya penyalahgunaan diakonia, telah mengganggu harmoni yang ada. Tokoh-tokoh ini menyoroti perlunya kode etik dalam penyebaran agama, mengingat banyak umat Islam yang menjadi sasaran misionaris.
Bahkan Prof. Rasjidi, salah satu penandatangan surat, pernah didatangi penginjil di rumahnya.
Momentum kedatangan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia pada tahun 1989 dimanfaatkan oleh para tokoh ini untuk menyampaikan langsung surat tersebut melalui duta besar Vatikan di Jakarta.
Surat ini berisi sejarah masuknya Katolik ke Indonesia, pengaruhnya selama era penjajahan, serta kondisi pasca-kemerdekaan yang menunjukkan ketidakselarasan antara umat Islam dan Kristen akibat penyalahgunaan diakonia.
Surat kedua, yang ditulis oleh Pimpinan Muhammadiyah, KH. AR. Fakhruddin, berjudul “Pangayubagya Sugeng Rawuh lan Sugeng Kundur Bapak Paus Yohannes Paulus II”.
Surat ini ditulis dalam bahasa Jawa, menunjukkan kearifan lokal dan sikap persuasif dari tokoh Islam Indonesia. Dalam suratnya, KH. AR. Fakhruddin membahas tentang keprihatinan terhadap diakonia yang dilakukan oleh orang Katolik untuk membujuk umat Islam yang miskin agar berpindah agama.
Ia juga menegaskan bahwa dalam Islam, tidak ada paksaan dalam beragama, dan ia berharap Paus dapat memberi nasihat kepada umatnya untuk tidak menggunakan cara-cara yang tidak adil dalam penyebaran agama.
Kedua surat ini, meskipun ditulis lebih dari tiga dekade yang lalu, masih sangat relevan dengan situasi saat ini. Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia diharapkan dapat menjadi momentum untuk memperkuat dialog antarumat beragama, dengan tetap menjaga prinsip-prinsip etika dalam penyebaran agama dan mencegah potensi ketegangan di masyarakat.
Pesan yang disampaikan oleh para tokoh Islam Indonesia ini adalah ajakan untuk memperkuat toleransi dan saling menghargai dalam kehidupan berbangsa dan beragama.
Mereka menegaskan pentingnya dialog yang didasarkan pada saling pengertian dan penghormatan, demi menciptakan perdamaian dan keadilan sosial di Indonesia. Pesan ini, tanpa diragukan lagi, tetap relevan dan patut direnungkan dalam konteks kedatangan Paus ke Indonesia saat ini.
Dari surat-surat yang ditulis oleh para tokoh Islam Indonesia kepada Paus, terdapat lima pelajaran penting yang dapat kita ambil:
Pertama, Pentingnya Menjaga Kode Etik dalam Penyebaran Agama: Para tokoh Islam menekankan bahwa penyebaran agama harus dilakukan dengan penuh etika, tanpa memanfaatkan kelemahan orang lain atau memaksakan keyakinan. Ini penting untuk menjaga keharmonisan antarumat beragama.
Kedua, Dialog Antarumat Beragama sebagai Kunci Perdamaian: Surat-surat ini menunjukkan bahwa dialog yang jujur dan terbuka antara agama-agama adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan perbedaan dan ketegangan. Melalui dialog, setiap pihak dapat memahami dan menghormati keyakinan satu sama lain.
Ketiga, Perlunya Menghargai Keberagaman dalam Kehidupan Berbangsa: Para tokoh menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara yang beragam harus dibangun di atas prinsip saling menghargai. Keberagaman harus dilihat sebagai kekayaan yang perlu dijaga dan dipelihara, bukan sebagai sumber konflik.
Keempat, Kepedulian terhadap Masyarakat Rentan: Ada keprihatinan mendalam terhadap penyalahgunaan diakonia, yang seringkali menargetkan orang-orang miskin untuk berpindah agama.
Ini mengingatkan kita untuk selalu memperhatikan kondisi masyarakat rentan dan memastikan mereka tidak menjadi korban eksploitasi.
Kelima, Pentingnya Kepemimpinan yang Adil dan Bijaksana: Kedua surat menekankan harapan agar Paus dan para pemimpin agama lainnya memimpin dengan adil dan bijaksana, menghindari tindakan yang dapat merusak hubungan antarumat beragama.
Kepemimpinan yang bijak adalah kunci untuk menciptakan perdamaian dan keadilan sosial.
Sebagai penutup, surat-surat para tokoh Islam Indonesia kepada Paus tidak hanya menjadi cerminan keprihatinan mereka terhadap kondisi sosial-keagamaan pada masanya, tetapi juga menyimpan hikmah yang tetap relevan hingga kini.
Pelajaran yang dapat kita ambil dari surat-surat tersebut mengajarkan tentang pentingnya menjaga etika, memperkuat dialog antarumat beragama, dan membangun kehidupan berbangsa yang harmonis.
Dalam menghadapi tantangan zaman, pesan-pesan ini seharusnya menjadi pijakan bagi kita semua untuk terus berupaya menjaga perdamaian, keadilan, dan toleransi di tengah keberagaman yang ada.
Semoga pesan dari para tokoh ini terus menjadi inspirasi bagi kita semua dalam membangun masa depan yang lebih baik.*/Mahmud Budi Setiawan