Hidayatullah.com– Ahmad bin Mubarak, perdana menteri pemerintahan Yaman yang diakui internasional, mengundurkan diri dengan alasan tidak dapat menjalankan kewenangannya secara penuh.
Bin Mubarak terjebak perselisihan selama berbulan-bulan dengan Rashad al-Alimi, ketua Presidential Leadership Council (PLC) yang disokong Arab Saudi, menurut keterangan dua menteri dan seorang anggota PLC yang disampaikan kepada AFP. Mereka meminta namanya tidak disebutkan.
Setelah pemberontak Houthi dukungan Iran menguasai ibu kota Sana’a, pada 2014, pemerintah Yaman menarik diri ke Aden di bagian selatan. Saat ini kelompok pemberontak Syiah itu menguasai sebagai besar wilayah yang berpenduduk di negeri Arab yang miskin itu.
Pasukan koalisi yang dipimpin Arab Saudi memberikan bantuan kepada pasukan pemerintah pada 2015, tetapi upaya itu tidak banyak membuahkan hasil.
Hari Sabtu (3/5/2025), Bin Mubarak lewat platform X mengatakan bahwa dia sudah menemui Alimi dan mengundurkan diri dari jabatannya.
Dia juga membagikan surat pengunduran diri yang ditulisnya.
“Saya tidak dapat melaksanakan kewenangan konstitusional dan mengambil keputusan yang diperlukan untuk mereformasi institusi pemerintahan atau melakukan perubahan pada pemerintahan yang sah,” kata Bin Mubarak di surat tersebut.
Bin Mubarak mengatakan bahwa meskipun menghadapi berbagai kendala, dia berhasil mencapai “banyak keberhasilan dalam waktu yang singkat”, dengan menyebut perihal reformasi fiskal dan administratif serta gerakan antikorupsi yang digencarkannya.
Namun, menurut Mohammed al-Basha dari Basha Report Risk Advisory yang berbasis di Amerika Serikat, memgatakan kepada AFP bahwa Bin Mubarak sejak lama bergesekan dengan Presidential Leadership Council.
“Bin Mubarak ingin menjadi lebih dari sekedar perdana menteri – dia menginginkan kewenangan presiden. Keinginan tersebut yang membuat dirinya terisolasi secara politik,” kata Basha.
Sejumlah pejabat Yaman yang berbicara kepada AFP mengatakan bahwa Bin Mubarak menangguhkan anggaran sejumlah kementerian termasuk pertahanan, dengan alasan adanya korupsi, sehingga hal ini menambah ketegangan.
“Hasratnya untuk memiliki kekuasaan yang lebih – yang dipandang banyak pihak sebagai ambisi pribadi – menyebabkan konfrontasi berulang dengan sejumlah menteri kunci dan kebanyakan anggota dewan kepresidenan,” kata Basha.
“Seiring dengan waktu, perebutan kekuasaan itu mengikis kepercayaan,” imbuhnya.
Bin Mubarak, mantan duta besar Yaman untuk Amerika Serikat, sangat geram dengan Houthi, yang pernah menculiknya pada tahun 2015 dan menyanderanya selama beberapa hari.
Sebelumnya dia pernah menjabat kepala staf kantor kepresidenan dan utusan Yaman untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dia ditunjuk sebagai menteri luar negeri pada 2018 dan perdana menteri pada 5 Februari 2024.
Kepergiannya akan mengurangi ketegangan internal yang sejak lama mengganggu pemerintahan Yaman yang diakui internasional, hal positif yang diperlukan untuk memulihkan kohesi di lingkungan pemerintahan, kata Basha.
Peperangan di Yaman telah menyebabkan ratusan ribu orang kehilangan nyawa dan memicu salah satu krisis kemanusiaan paling buruk dindunia, meskipun bentrokan bersenjata antara sudah banyak berkurang setelah adanya kesepakatan gencatan yang disponsori PBB pada 2022.
Sejak pecah peperangan di Gaza pada Oktober 2023, Houthi dengan alasan membela Palestina berulang kali menarget kapal-kapal yang dituduhnya milik Israel atau berkaitan dengan Israel atau berlayar menuju Israel dan membawa muatan untuk kepentingan Israel.*