Dibesarkan di keluarga Yahudi-Kristen yang bangga mendukung ‘Israel’ —berubah total setelah menyaksikan kekerasan Zionis dan keteguhan pengunjuk rasa Palestina, hingga membuatnya memeluk Islam
Hidayatullah.com | DI SEBUAH sudut kecil Yerusalem, Michael, menjalani hidup yang berbeda dari keturunan Yahudi lain. Awalnya ia meninggalkan Amerika Serikat (AS) untuk gabung jadi tentara IDF, takdir berkata lain, dia justru memilik jalan Islam.
Setelah mengikuti program “Birthright” (program untuk pemuda Yahudi diaspora) ke ‘Israel’, Michael menetapakan diri bergabung dengan tentara penjajah IDF.
Lahir dari keluarga Yahudi konservatif di New York, Michael dibesarkan dengan ajaran Yahudi yang ketat. Masa kecilnya dipenuhi dengan doa di sinagoga, Perayaan Hanukkah yang meriah, dan cerita-cerita tentang tanah leluhur mereka di ‘Israel’ (tanah bangsa Palestina yang kini dirampok penjajah).
“Sejak kecil, saya diajarkan bahwa ‘Israel’ adalah tanah air kami. Itu adalah warisan dan kebanggaan kami sebagai orang Yahudi,” kenang Michael .
Sebagai keturunan Yahudi dengan keluarga yang selamat dari Holocaust, ia tumbuh dengan kebanggaan akan identitas Yahudinya. Ketika Michael berusia 18 tahun, ia memutuskan untuk pindah ke ‘Israel’ dan menjadi warga negara.
Ia bahkan memimpin perjalanan kepada pemuda Yahudi untuk memperkenalkan orang lain pada tanah suci milik orang Palestina.
“Aku berkata pada ibuku, ‘Aku akan bergabung dengan IDF. Aku ingin tinggal di sini selamanya,'” kenang Michael The Ansari Podcast bertajuk “Polisi Yahudi AS Masuk Islam Setelah Peristiwa 7 Oktober“.
Ini adalah panggilan yang selalu dirasakannya, sebuah perjalanan spiritual dan nasional. Setelah tiba, ia bergabung sebagai polisi ‘Israel’, seperti banyak pemuda Yahudi lainnya juga melakukan.
Namun pengalamannya sebagai aparat ‘Israel’ semakin memperkuat dan mempertanyakan pada identitas Yahudi dan Zionisnya.
Benturan dengan Realitas: Pro-’Israel’ vs. Pro-Palestina
Sebagai petugas polisi di kampus yang didominasi Yahudi, Michael ditugaskan mengawasi demonstrasi pro-’Israel’. Di sana, ia menyaksikan kekerasan verbal dan fisik terhadap demonstran pro-Palestina, termasuk seorang gadis berhijab yang diludahi.
“Aku melihat kebencian di mata mereka. Tapi yang mengejutkanku, para demonstran Palestina tetap tenang. Mereka tidak membalas. Aku terpana,” katanya.
Namun, benih keraguan mulai tumbuh saat ia berbincang dengan seorang pedagang Palestina di pasar. Pedagang itu terburu-buru pulang sebelum checkpoint ditutup, sebuah kenyataan yang asing bagi Michael.
“Dia bilang, ‘Kita tidak sama.’ Aku bingung. Aku tidak tahu apa-apa tentang Tepi Barat atau Gaza,” ujarnya.
Kehidupannya mulai berubah ketika ia secara tidak sengaja terlibat dalam sebuah protes pro-’Israel’ di Yerusalem. Pada awalnya, ia berdiri bersama rekan-rekannya, tetapi sesuatu menarik perhatiannya.
Seorang wanita Palestina yang memegang Al-Quran di tengah protes itu, dengan ketenangan yang luar biasa.
“Saya melihatnya dan bertanya-tanya, bagaimana dia bisa begitu tenang di tengah kekacauan? Apa yang memberinya kekuatan?” ujar Michael.
Sebuah peristiwa mengejutkan terjadi ketika ia bertugas menjaga sebuah protes. Seorang anak Palestina berusia 16 tahun ditangkap di depannya. Anak itu hanya membawa sebuah bendera Palestina, namun dituduh sebagai provokator.
“Saya melihat ketakutan di matanya. Dia bukan ancaman, dia hanya seorang anak,” kata Michael.
“Hatiku hancur. Anak itu ditangkap, sementara pelaku kekerasan dibiarkan,” kisahnya dengan getir.
Semua peristiwa dan kejadian itu mengguncang keyakinannya. Ia teringat cerita kakeknya tentang Holocaust, tentang bagaimana mereka diperlakukan tanpa belas kasihan. “Bagaimana saya bisa melupakan sejarah keluarga saya dan menjadi bagian dari sesuatu yang menindas orang lain?”
Dalam proses pencarian spiritualnya, Michael mulai mengalami mimpi-mimpi yang aneh. Ia merasa terjebak dalam dua dunia—antara keyakinan lamanya dan cahaya baru yang mulai menyelimuti hatinya.
Di tengah kebingungan ini, ia kehilangan kedua orang tuanya dalam waktu yang berdekatan. Kehilangan itu menghantamnya dengan keras, membuatnya merasa semakin kosong. “Saya merasa seperti kehilangan segalanya. Tapi justru dalam kehampaan itu, saya mulai menemukan cahaya,” katanya.
Mengenal Islam dan Syahadat
Pertanyaan itu terus menghantui Michael. Ia mulai membaca tentang Islam, awalnya untuk memahami “musuh”. Tetapi semakin ia membaca, semakin ia merasa tertarik. Ia menemukan konsep ketauhidan, keadilan sosial, dan ketenangan batin yang ditekankan dalam ajaran Islam.
Melalui interaksi dengan kelompok mahasiswa Muslim di kampus, Michael mulai mempelajari Islam. Ia terpesona oleh ketenangan dan keteguhan mereka.
Ia mulai lebih sering mengunjungi masjid secara diam-diam. Di sana, ia merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di masjid, ia merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Aku tidak percaya Tuhan saat itu, tapi masjid mengisi kekosongan dalam diriku yang bahkan tidak aku sadari,” ungkapnya.
Pada suatu hari, seorang sahabat Muslim memberinya sebuah sajadah. “Awalnya, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan ini. Tapi setiap kali saya duduk di atasnya, saya merasa seperti berbicara dengan Tuhan,” kenangnya.
Setelah berbulan-bulan belajar, ia akhirnya mengucapkan syahadat. “Aku menangis. Aku merasa telah menemukan kebenaran,” katanya.
Dimusuhi Teman dan Keluarga
Keputusannya masuk Islam tidak mudah. Usai mengumumkan keputusannya untuk masuk Islam, tanggapan komunitas Yahudi sangat keras. Ia diusir dari komunitas Yahudi, dihina rekan kerjanya, bahkan kehilangan pekerjaan.
Beberapa teman lamanya menjauh, dan keluarganya merasa terkhianati. “Seorang rekan berkata, ‘Mana handukmu? Bukankah kau harus pakai handuk di kepala sekarang?’ Aku shock. Orang yang dulu dekat denganku tiba-tiba memandangku dengan kebencian,” kenangnya.
“Bagi mereka, saya bukan hanya meninggalkan agama. Saya meninggalkan identitas, warisan, dan tanah air kami,” kata Michael.
Namun, ada juga yang mendukung. Beberapa teman lama yang lebih terbuka mencoba memahami keputusannya, bahkan ada yang merasa penasaran dengan Islam setelah mendengar ceritanya.
Sekarang, Michael menjalani kehidupan sebagai seorang Muslim yang taat. Ia bekerja sebagai guru bahasa, mengajarkan bahasa Ibrani dan Arab kepada siswa-siswa muda dari berbagai latar belakang.
“Saya menemukan kedamaian dalam Islam, sesuatu yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Saya tetap mencintai keluarga saya. Tapi saya menemukan jalan yang benar bagi hati dan jiwa saya,” tegas Michael.
Ia menikah dengan seorang wanita Pakistan dan aktif berdakwah. Baginya, Islam adalah jawaban atas pencarian spiritualnya yang panjang.
“Allah memberiku lebih dari yang aku minta. Aku mungkin kehilangan banyak hal, tapi aku menemukan diriku yang sebenarnya,” tutupnya.
Kisah Michael adalah kisah pencarian identitas, iman, dan keberanian untuk mengikuti hati nurani, bahkan ketika itu berarti meninggalkan segala yang pernah dikenalnya.
“Aku seperti berada di sisi sejarah yang salah. Tapi kali ini, aku memilih untuk tidak diam,” ujarnya.*