Hidayatullah.com— Ilmu yang tidak diajarkan tidak akan mendatangkan berkah. Demikian pesan tegas yang disampaikan Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII), Dr. Adian Husaini, dalam acara wisuda santri Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, Ahad (15/6/2025).
Menurutnya, inti dari pendidikan pesantren bukanlah sekadar memperoleh ilmu, tetapi menunaikan tanggung jawab untuk menyebarkannya.
“Kalau jadi santri di pondok selama enam tahun, yang paling penting itu mengajarkan ilmunya. Karena itu berkah. Ilmu yang tidak diajarkan, itu tidak berkah,” tegas penulis buku “Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal” ini di hadapan para santri dan wali santri.
Dalam kesempatan tersebut, Adian mengungkapkan keprihatinannya terhadap fenomena yang kian sering ia temui—lulusan pesantren yang enggan atau bahkan tidak tertarik untuk mengajar agama.
“Kan aneh ya. Sekarang saya menjumpai gini, kok banyak ya santri lulus pesantren enggak minat mengajarkan agama, enggak minat mengajarkan ilmunya. Itu aneh banget ya. Mungkin setan pun heran gitu loh, kok ada ya begitu ya,” katanya.
Bagi pendiri ATCO College (At-Taqwa College) Depok, Jabar, fenomena ini adalah kerugian besar, bukan hanya bagi pribadi lulusan, tapi juga bagi masyarakat yang sangat membutuhkan bimbingan ilmu agama. Ia menekankan bahwa mengajar ilmu, walau hanya satu ayat atau satu doa, memiliki nilai amal yang sangat besar.
Ia mencontohkan bagaimana mengajarkan Al-Fatihah yang benar. Dengan mengajar anak bisa baca Al-Fatihah yang benar, membuat shalatnya jadi sah.
“Dengan shalat yang sah itu dia bisa masuk surga.”
Tak hanya menyoal pahala, Dr. Adian juga mengingatkan bahwa nilai pengajaran ilmu agama tidak bisa diukur dengan materi dunia. Ia menyindir gaya hidup pragmatis yang hanya menilai pekerjaan dari sisi finansial.
“Shalat qobliyah Subuh saja pahalanya dunia seisinya. Kalau ngajar shalat yang benar, thaharah yang benar, ngaji yang benar, itu berapa mau dibayar? Enggak ada harta benda dunia yang bisa membayarnya. Rugi banget kalau ilmunya disimpan sendiri,” ujarnya.
Dalam konteks itu, dosen di Pascasarjana UIKA Bogor dan Universitas Ibn Khaldun Bogor ini menyerukan agar para santri memiliki kesadaran misi keumatan: mengajarkan ilmu yang telah didapat sebagai bentuk tanggung jawab intelektual dan spiritual.
Ia menyayangkan jika lulusan pesantren justru berlomba-lomba mengejar profesi yang jauh dari misi dakwah dan pengajaran.
Pernyataan Dr. Adian menyorot tantangan besar pendidikan Islam kontemporer: bagaimana menjadikan pesantren bukan hanya sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai kawah candradimuka lahirnya pengajar dan pemimpin umat.
Ketika santri tidak lagi ingin mengajar agama, maka di situlah, menurutnya, keberkahan ilmu menjadi terputus.*