oleh: Henri Shalahuddin, MIRKH
DALAM Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (selanjutnya disebut RUU KKG), disebutkan bahwa pengarusutamaan gender (PUG) adalah “Suatu strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan”. (lihat: Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 5)
PUG (gender mainstreaming, al-tarkiz ‘ala qadhaya al-musawat baynal jinsayni) termasuk isu penting dalam RUU KKG dan menempati posisi sentral dalam mengawal terlaksananya pembangunan berbasis kesetaraan gender.
Apa pengaruh dan dampak PUG ketika masuk dalam ranah studi Islam? Bagaimana kedudukan ajaran-ajaran agama ketika bertentangan dengan perspektif gender? Haruskah pendekatan agama, dalam hal ini Islam, digenderkan ataukah sebaliknya, gender yang harus diislamkan? Dalam artikel singkat ini, penulis ingin memaparkan secara sekilas contoh usaha-usaha pengarusutamaan gender yang telah dihasilkan oleh aktivis gender di bidang studi Islam.
Contoh I: buku “Pengarusutamaan Gender dalam Kurikulum IAIN”, diterbitkan atas kerja sama PSW IAIN Sunan Kalijaga dan CIDA (Canadian International Development Agency), 2004.
Matakuliah Ulum al-Qur’an I (MKK). Dalam deskripsi materi ini tertulis, “Matakuliah ini khusus untuk mahasiswa jurusan Tafsir Hadis Fak. Ushuluddin IAIN Sunan kalijaga Yogyakarta. Hal-hal yang dikaji dalam perkuliahan antara lain persoalan wahyu, proses pewahyuan, sejarah teks al-Qur’an, asbab al-nuzul , nasikh mansukh, teori evolusi syari’ah, dan kaidah-kaidah tafsir. Matakuliah ini diajarkan sebagai pengantar untuk memahami teks-teks al-Qur’an dan memahami perkembangan kontemporer dalam ilmu-ilmu al-Qur’an. Pendekatan dalam kuliah dilakukan sedapat mungkin berperspektif gender dengan mengemukakan berbagai contoh yang mendukung kearah kesetaraan gender”. (hal. 1, cetak miring dari penulis).
Di antara topik perkuliahan yang diajarkan adalah tentang Makki dan Madani. Dalam buku ini disebutkan bahwa ayat-ayat makkiyah bersifat universal, tetapi ayat-ayat madaniyah bersifat temporal. (hal. 2). Padahal dalam ayat-ayat madaniyah sering dijumpai pembahasan tentang masalah hukum Islam. Maka dengan menggunakan persepsi PUG, semua hukum-hukum Islam akan bersifat temporal, tidak tetap, bisa berubah setiap waktu, tempat, dan menyesuaikan keinginan penafsirnya.
Untuk mendukung konsep temporalnya madani, dalam daftar topik perkuliahan juga diajarkan metodologi tafsir al-Qur’an, misalnya Tafsir Amina Wadud. Seperti diketahui, beliau adalah salah satu tokoh feminis liberal konservatif yang menjadi khatib dan imam shalat jumat dengan makmum campur baur antara laki-laki dan perempuan.
Lebih lanjut, buku-buku referensi yang dicantumkan untuk materi kuliah Ulum al-Qur’an ini sangat sarat dengan karya tokoh-tokoh liberal, seperti Abdullahi Ahmad al-Naim dan gurunya Mahmood Muhammad Toha, Amina Wadud, Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, dan beberapa nama pemikir liberal lokal lainnya. (hal. 2-3).
Buku Quran and Women yang ditulis oleh Aminah Wadud ternyata dalam buku “Pengarusutamaan Gender dalam Kurikulum IAIN” ini digunakan sebagai referensi pokok untuk enam (6) matakuliah, seperti ‘Ulum al-Hadis (MKDU), Tafsir MKDU, Filsafat Hukum Islam, Masail Fiqh, dan Aliran Modern dalam Islam.
Contoh II: buku “Isu-isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar & Menengah”, diterbitkan atas kerja sama PSW IAIN Sunan Kalijaga dan IISEP (IAIN Indonesia Social Equity Project, sebuah proyek kerjasama antara McGill University dan IAIN).
Pada halaman 30:
Pokok Bahasan/Tema: Gambar seorang laki-laki yang melakukan adzan
Pemikiran berbasis gender yang ditawarkan: “Apa sebaiknya tidak usah ada gambar orang adzan. Sebab terkesan yang diperbolehkan adzan hanya laki-laki.”
Halaman 31:
Pokok Bahasan: Perempuan tidak boleh menjadi Imam bagi makmum laki-laki
Pemikiran berbasis gender yang ditawarkan: “Hal ini masih menjadi perdebatan yang sangat hebat di kalangan para fuqaha. Di sinilah perlunya dijelaskan akan dasar nash yang digunakan dalam mengurai syarat-syarat ini”.
Halaman 39:
Pokok bahasan: Hukum aqiqah dan jumlah kambing yang disembelih
Pemikiran berbasih gender yang ditawarkan: “Dari ulasan bab ini menunjukkan bahwa jumlah kambing yang disembelih untuk laki-laki dan perempuan 2:1. Menunjukkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah memang demikian adanya.
Namun kalau dilihat dari sudut keadilan gender, hal ini memang terdapat unsur ketidakadilan dan timpang gender. Hal inilah yang perlu penjelasan kenapa harus demikian, apa yang menjadi faktor 2:1?”
Halaman 42-43:
Pokok Bahasan: Keharusan menghormati orangtua, terlebih ibu. Sebab beliau telah mengandung kita selama 9 bulan, melahirkan dengan taruhan nyawa, mengasuh dan mendidik kita. Penulis buku ini mengkritisi beban ibu yang terlalu berat dan bias gender.
Pemikiran gender yang ditawarkan: “Padahal sebenarnya kalau dilihat dari sudut hak dan kesehatan reproduksi, seorang ibu hanya wajib melakukan hal-hal yang sifatnya kodrati seperti mengandung dan melahirkan. Sedangkan hal-hal yang bersifat di luar qodrati itu dapat dilakukan oleh seorang bapak. Seperti mengasuh, menyusui (dapat diganti dengan botol), membimbing, merawat dan membesarkan, memberi makan dan minum dan menjaga keselamatan keluarga.”
Halaman 47:
Pokok Bahasan: Kewajiban shalat jumat bagi laki-laki yang tidak berhalangan.
Pemikiran gender yang ditawarkan: “Perlu penegasan bahwa khatib jumat dapat dilakukan oleh orang Islam laki-laki maupun orang Islam perempuan. Penegasan ini penting diberikan, karena selama ini khatib jumat di masjid-masjid tanah air selalu kaum laki-laki”.
Halaman 56:
Pokok Bahasan: Warisan
Pemikiran gender yang ditawarkan: Perlu dijelaskan konteks historis adanya perbedaan pembagian waris antara perempuan dan laki-laki. Pembagian 1:2 itu bukanlah hal yang mutlak
Contoh III:
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam versi Tim Kelompok Kerja Pengarusutaan Gender (Pokja PUG) tentang Perkawinan sarat dengan rumusan pasal-pasal yang kontroversial, diantaranya sebagai berikut:
Pasal 7; Ayat (1): “Calon suami atau isteri dapat mengawinkan dirinya sendiri”.
Pasal 9; Ayat (1): “Ijab dan kabul dapat dilakukan oleh calon suami atau calon isteri” Ayat (2): “Apabila ijab dilakukan oleh calon isteri, maka kabul dilakukan oleh calon suami”
Pasal 16; “Calon suami dan isteri harus memberikan mahar kepada pasangannya sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat”.
Pasal 18; “Mahar menjadi milik penuh pasangan penerima setelah akad perkawinan dilangsungkan”.
Pasal 88; Ayat (1): “Bagi suami dan isteri yang perkawinannya telah dinyatakan putus oleh Pengadilan Agama, berlaku masa transisi atau iddah”. Ayat (7): “Masa iddah bagi seorang duda ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, maka masa transisi ditetapkan seratus tigapuluh hari.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka masa transisi ditetapkan mengikuti masa transisi mantan isterinya”.
Demikian sekilas contoh dampak pengarusutamaan gender dalam studi Islam.
Masih banyak contoh lagi yang tidak mungkin untuk dipaparkan di sini, mengingat keterbatasan ruang. Namun pada intinya, sifat dasar pendekatan PUG dalam studi Islam senantiasa memandang Islam sebagai agama budaya yang lentur dan bisa berubah sesuai dengan selera penafsir dan tuntutan zaman. Sehingga tidak tersisa lagi hal-hal pasti (qat’iyyat) dan permanen (tsawabit) dalam berislam. Wallahu A’lam.
Penulis aktiv di Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), saat ini sedang menulis disertasi tentang gender di Universiti Malaya Kuala Lumpur