KAPAL Feri Satria Balikpapan-Mamuju baru saja meninggalkan dermaga. Kapal perlahan-lahan merangkak meninggalkan kota kaya minyak, Balikpapan. Tampak kapal-kapal besar bersandar tak jauh dari dermaga. Sesekali perahu yang memuat para pekerja tambang Batu Bara itu lewat lengkap dengan menggunakan baju safety dan helem.
Para pekerja itu pulang setelah seharian bekerja dan diganti dengan pekerja baru. Kerja di tambang batu bara itu cukup lama: 24 jam. Karena itu, perusahaan menggunakan sistim overshift. Hal itu harus dilakukan perusahaan agar tetap untung. Sebab, katanya, berhenti beroperasi sejam saja bisa rugi milyaran rupiah.
Para penumpang kapal tampak sedang istirahat sambil menikmati biru air laut yang terhampar di depannya. Hembusan sepoi angin laut membuat sebagian penumpang yang sebagian kecil adalah pekerja tambang itu tidak mau beranjak dari tempat duduk. Di antara para penumpang itu, tampak seseorang sedang istirahat di gladak kapal di bagian bawah.
Lelaki bertubuh pendek tapi gemuk itu baring di atas tikar lusuh. Wajahnya menghadap langit. Dia menggunakan kaca mata hitam tebal. Alat itu ia gunakan untuk menghalau sinar matahari yang menerpa wajahnya. Lelaki yang mengenakan kaos oblong hijau dipadu celana pendek di bawah dengkul itu bukan orang Balikpapan. Dia juga bukan orang Mamuju, Sulawesi Barat.
Lho, lalu orang mana? Lelaki berkulit agak hitam manis itu orang Jawa. Tepatnya dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Lelaki yang bernama Joko itu jauh-jauh datang ke beberapa daerah di Indonesia bagian Timur itu untuk mengirim barang. Barang yang dikirim Joko bukan main-main: kubah Masjid!
Dia membawanya menggunakan mobil pick up. Di bagian mobil itu tertulis kubah Masjid Indonesia. Plus dengan alamat situs di internet.
Jangan kira, meski hanya dengan mobil pick up, tapi bisa membawa ratusan kubah dengan segala ukuran: mulai dari kecil, sedang, dan besar. Namun, kubah-kubah itu belum dipasang alias masih bentuk biasa. Sebelum ini, Joko telah mengirim kubah ke beberapa daerah di Kalimantan, di antaranya Penajam.
Joko adalah supir mobil pick up. Dia mengantar pesanan kubah dari berbagai masjid di penjuru nusantara itu ditemani dua orang. Mereka khusus sebagai tukang yang memasang kubah di masjid. Untuk memasang kubah diperlukan tempo cukup lama. Kadang berhari-hari. Apalagi kalau dapat pesanan masjid besar, seperti masjid raya. Bisa memakan tempo sepekan lebih.
Setelah mengantar dan memasang kubah di daerah Kalimantan Timur, Joko dan dua rekannya harus mengantar kubah lainnya ke daerah berikutnya. Kali ini ke Mamuju, Sulawesi Barat. Tak ada jalur darat.
Dia bahkan harus menyeberang dengan menggunakan trasportasi air: Kapal Feri. Jarak Balikpapan-Mamuju cukup lama, hampir sehari semalam. Tergantung jenis kapal.
Jika dapat kapal yang cepat seperti Satria ini bisa sampai lebih cepat atau pada pukul 10.00 pagi. Tapi, kabarnya, jika menggunakan kapal yang lainnya bisa sampai sore atau pukul 17.00 Wita. Biaya penyebrangan cukup mahal. Sekitar lebih Rp 3 juta. Itu sudah termasuk biaya mobil dan tiga penumpang. Biaya itu sudah ditanggung bosnya.
Honor yang didapat Joko dihitung perhari. Sehari—selama dalam perjalanan—dia digaji sekitar Rp 100 ribu lebih. Jadi, jika dia mengirim barang selama sebulan, maka dia akan dapat honor Rp 3 juta. Sedangkan untuk tukang yang memasang kubah beda lagi. Joko jadi pengirim kubah sejak sekitar tahun 2011 atau telah 4 tahun.
Sebelumnya, dia supir truk barang jurusan Pati -Surabaya. Namun, katanya, kalau dipikir-pikir, lebih untung dan enak jadi supir mengantar kubah masjid ke seluruh nusantara. Hampir setiap bulan Joko mengirim barang. Perusahaan kubah masjid di Pati—kota sentra pengrajin kubah Masjid—tempatnya bekerja memiliki tiga tim pengirim kubah masjid. Mereka berpencar keliling nusantara mengirim kubah.
Untuk mengirim barang, Joko tidak pernah sebentar. Kadang sebulan lebih. Dia telah mengirim barang mulai dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat. Tidak hanya daerah Jawa, daerah Sumatera dia juga telah rambahi. Mulai dari Lampung, Palembang, Padang, hingga Aceh. Begitu juga Sulawesi dan Kalimantan.
“Yang belum saya datangi kayaknya Ambon dan Papua,” ujar Joko.
Suka duka
Tidak mudah menjalani profesi seperti Joko. Mengantar barang keliling nusantara berhari-hari hingga sebulan lebih. Selain lama dan capek, juga tantangan dan bahaya mengancam tiap waktu. Namun, Alhamdulillah, hingga detik ini dia belum pernah mengalami insiden di tengah jalan, sepert pembegalan atau perampokan.
Joko tahu daerah yang rawan dan tidak. Itu dia tahu dari para agen kubah di daerah. Jika ada daerah rawan yang tidak bisa dilalui pada malam hari, Joko memilih menginap. Ssttt! Jangan dikira Joko dan dua rekannya menginap di hotel. Tidak!
Joko tidak dapat jatah menginap di hotel dari bosnya. Dia hanya dapat akomodasi berupa transportasi dan biaya makan. Selebihnya tanggung sendiri. Karena itu, untuk keperluan tidur, dia tidur di sembarang tempat.
“Kadang saya tidur di pinggir jalan dan emperan toko. Karena itu saya selalu membawa tikar,” tuturnya.
Kalau lagi nasib baik, agen kubah daerah menyuruhnya untuk menginap di rumahnya. Namun itu tidak banyak. Tidak sedikit pula agen kubahnya yang cuek dan tidak peduli soal tempat tidur Joko. Nasib baik lainnya adalah pelayanan dari agen pada Joko. Jika ada agen yang baik, Joko dan rekannya di-service memuaskan.
“Salah satu agen yang paling baik dan suka nyervice adalah agen di Penajam,Kaltim. Pokoknya kita kenyang kalau di sana,” ujarnya.
Meski banyak suka dan dukanya, tapi Joko tetap menikmati profesinya sebagai tukang supir kubah. Dia tidak merasa letih dan bosan. Dia tetap semangat mengirim kubah-kubah itu ke penjuru nusantara, membantu pembangunan masjid.
Menurutnya, usaha kubah masjid tidak ada matinya. Ada saja orang membangun masjid. Bahkan, telpon di kantor tempat dia bekerja hampir setiap hari berdering meminta agar dikirim kubah. Jika pesanan sudah banyak, Joko dan timnya segera starter mobil pick up-nya dan tancap gas.*/Muhammad Atsman