“TALA ‘al-Badru’ Alayna, Min tsanīyāti al-wadā‘, Wajab al-shukru ‘alaynā, Mā da‘ā lillāhi dā‘….”
Petikan lirik yang dilantunkan kaum Anshar penduduk Yastrib (Madinah) saat menyambut kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari Kota Makkah itu kembali dilantunkan.
Kali ini, 14 abad lebih pasca masa hijrah Nabi Muhammad, nasyid itu dilantunkan untuk menyambut sosok lain yang sama-sama dari tanah Arab.
Matahari masih naik sepenggalah di langit Kampung Bunut, Desa Tamansari. Saat keheningan pagi dipecahkan oleh lantunan shalawat, nasyid, dan tabuhan rebana dari 20-an pria di sebuah pelataran.
Sementara, di sebuah aula besar dekat situ, sekitar 500 orang berpeci dan berjilbab sudah berkumpul sedari tadi. Mereka semua adalah para santri-santriwati Pondok Pesantren Nuu Waar.
Baca: Kedubes Saudi-AFKN Kuliahkan 63 Putra-putri Papua di LIPIA Aceh dan Jakarta
Di aula pesantren yang didirikan Al Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN) ini, sesaat lagi digelar acara Pelepasan Santri LIPIA asal Nuu Waar oleh Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Syeikh Osamah bin Muhammed Al-Shuibi. Syeikh inilah sosok yang tengah disambut oleh para santri tersebut.
Nuu Waar merupakan nama lain Irian Jaya. Tapi acara tersebut bukan berlangsung di tanah Papua, melainkan di Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, lokasi pesantren ini berada.
Mobil Diplomat ‘Berlumpuran’
Ahad (26/02/2017) itu, lantunan shalawat, nasyid, dan tabuhan rebana terus bergema, saat Dubes Saudi Syeikh Osamah mulai memasuki kompleks pendidikan khusus putra-putri asal Papua itu.
Akses jalan pesantren yang berada di kawasan perkampungan dan persawahan ini sebagian masih berupa tanah lihat. Hujan yang kerap turun membuat jalanan jadi becek berlumpur.
Tak pelak, saat kendaraan sang diplomat memasuki area pesantren sekitar pukul 08.00 WIB, keempat ban mobil sedan hitam Mercedes Benz yang ditumpanginya berkubang lumpur. Karena jalanan licin, sedan bernomor polisi CD 27 01 itu berkali-kali “terpeleset” alias jalan di tempat.
Melihat itu, sepasukan pria berseragam loreng khas tentara Arab Saudi sudah sigap, tampak bersedia mendorong sedan tersebut jika diperlukan.
Di depan kantor pesantren, Syeikh Osamah baru saja menurunkan kaki kanannya dari mobil dan menyentuh lantai paving blok. Diplomat berjanggut putih itu langsung disambut uluran tangan Ustadz Fadlan Garamatan, pendiri AFKN, beserta sejumlah tokoh masyarakat Setu.
Senyum, salam, sapa, rangkulan hangat, serta cium pipi kanan-kiri langsung terjalin antara tuan rumah dan tetamu. Sementara suara rebana, shalawat, dan nasyid Arab melengkapi suasana penuh ukhuwah itu.
Ada penyambutan spesial yang mungkin baru dirasakan sang syeikh. Tak sampai semenit seturunnya dari mobil, Syeikh Osamah langsung ditawari untuk menaiki sebuah “singgasana” yang sedari tadi dipersiapkan. Ini tak lain sebuah kursi empuk berkayu ukiran yang dipasangkan khusus di atas balok-balok penandu.
Ya! Syeikh Osamah diminta duduk di kursi oleh Ustadz Fadlan untuk diarak menuju aula acara. Yang diminta menolak halus. “La! La!” suara penolakan yang sempat terdengar dari mulut syeikh. Ustadz Fadlan bersikukuh. Syeikh Osamah pun begitu.
Namun akhirnya, setelah terus dirayu, Sang Dubes memenuhi permintaan tuan rumah. Ia pun duduk di atas kursi. Setelah dikomando, para pria berseragam “tentara Saudi” yang sudah siap dari tadi perlahan mengangkat ramai-ramai tubuh Syeikh Osamah.
Arak-arakan pun dimulai. Lantunan nasyid, shalawat, dan tabuhan rebana nyaris tak henti mendayu-dayu. Syeikh Osamah diarak melewati jalan setapak paving blok dan keramik sejauh sekitar 50 meter ke aula acara. Para “tentara” terlihat gagah dan bangga membawa sang diplomat dengan panggulan balok di bahu masing-masing. Tim rebana tak kalah semangatnya.
“Ahlan wa sahlan bikhudurikum (selamat datang atas kehadiranmu. Red), Assalamu’alaikum… Inilah kami anak-anak Nuu Waar…” demikian lagu para santri asli Papua itu bersahut-sahutan dengan tabuhan rebana.
Sementara Syeikh Osamah, yang hadir mengenakan serban dan jubah panjang putih-putih, kontras dengan ikat kepala dan kacamata hitamnya, tampak duduk anteng memegang kedua sisi kursi. Raut wajahnya yang datar menandakan ia merasa tenang atau mungkin malah tegang.
Arak-arakan itu berlangsung sekitar 4 menit. Begitu tiba di depan panggung acara, Ustadz Fadlan lantas memakaikan bisht atau aba –jubah berukuran panjang– berwarna gelap kepada Sang Dubes.*