A’ak Abdullah al-Kudus tak pernah lupa. Medio 1998 hingga 2002 telah terjadi Illegal logging (penebangan liar,-red) secara besar-besaran di kawasan Gunung Lemongan, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur.
Dampaknya luar biasa. Tak kurang dari 2.000 hektar hutan lindung di areal Gunung Lemongan yang berjarak 7 kilometer dari rumahnya itu, kondisinya kering kerontang bahkan kritis, karena dibabat habis oleh oknum setempat yang tak bertanggung jawab.
Gus A’ak—begitu sapaan akrabnya—pun memikir otak. Bagaimana tidak? Sebab, selain membuat hutan gundul, dampak terparah dari penebangan liar itu adalah tujuh ranu—sebutan danau di Lumajang—di sekitar Gunung Lemongan, debit airnya mengalami penurunan drastis. Bahkan kala hujan menderas, lumpur mengalir ke sebagian danau tersebut.
“Saat itu dipengaruhi kuat oleh masalah politik,” katanya dari ujung telepon ketika membuka perbincangan dengan hidayatullah.com, akhir September lalu.
Pria kelahiran Lumajang, 12 Oktober 1947 ini menceritakan ulang awal mula kejadian. Saat itu, Abdurahman Wahid—atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur—mengeluarkan pernyataan bahwa, ‘Hutan untuk Rakyat’.
Pernyataan itu, Gus A’ak melanjutkan, kemudian dipelintir sedemikian rupa oleh sekelompok orang. Alhasil, hutan lindung dijarah habis-habisan mulai dari daerah Banyuwangi sampai Pacitan. “Salah satunya di wilayah Gunung Lemongan,” ujar putra daerah Lumajang ini.
Gus A’ak menjelaskan, Gunung Lemongan secara keseluruhan memiliki 13 danau. Dengan total 24 maar (bekas letusan gunung yang kemudian meninggalkan cekungan besar). Dari 24 maar ini, yang berisi air hanya 13 dan kemudian disebut dengan danau oleh masyarakat sekitar. Dari 13 danau itu, 7 danau masuk pada bagian Kabupaten Lumajang. Sisanya masuk wilayah Kabupaten Probolinggo—yang terletak di sebelah utara Gunung Lemongan.
Bahkan, tahun 2006 sempat terjadi banjir bandang di 2 wilayah Kecamatan Lumajang Selatan yakni Rosowilangun dan Rowokangkung. “Itu juga akibat dari tidak tersimpannya air. Dampak dari gundulnya hutan lindung di Gunung Lemongan. Air hujan tak terserap, sehingga meluap dan memicu terjadinya banjir,” jelas anak terakhir dari empat bersaudara ini.
Rusaknya lingkungan hutan lindung di Gunung Lemongan inilah yang kemudian menggugah hati Gus A’ak untuk segera bergerak menyelamatkannya.
Pada 28 Desember 2008 silam, Gus A’ak pun membentuk sebuah komunitas yang diberi nama ‘Laskar Hijau’. Ia deklarasikan bersama 300 pemuda dari berbagai latarbelakang seperti pecinta alam, penyuka vespa dan sebagainya.
“Sebetulnya, embrio laskar ini sudah saya mulai sejak 2005-an. Kami sudah mulai menanami kembali daerah di sekitar danau. Hingga muncul kesimpulan tahun 2008, untuk menyelamatkan ketujuh danau itu maka harus segera dilakukan penghijauan di Gunung Lemongan. Itulah yang kemudian menjadi concern kami,” jelas Koordinator 72 Ikon Prestasi Indonesia ini.
Komunitas Laskar Hijau didirikan oleh Gus A’ak dalam rangka untuk menggalakkan gerakan penghijauan di wilayah Gunung Lemongan. Termasuk juga, sebagai salah satu upaya untuk menumbuhkan budaya sadar bencana kepada remaja khususnya.
Pemuda ‘Teler’
Lantas, bagaimana cara Gus A’ak bisa menggumpulkan pemuda sebanyak itu untuk menjadi relawan pelestari hutan lindung di Gunung Lemongan?
“Jadi begini, saat deklarasi pertama, ada sekitar 300 orang yang mendeklarasikan diri untuk melestarikan Gunung Lemongan dalam laku kerja penghijauan setiap pekan. Pada hari itu, 300 orang ikut menanam pohon,” jelas Ketua Paguyuban Jharan Kencak Lumajang ini.
Tapi, lanjut Gus A’ak, sepekan kemudian tinggal 50 orang. Pekan berikutnya, tinggal 25 orang. Bahkan, tak sampai sebulan dari waktu deklarasi, jumlah relawan pernah sampai habis total. Tak ada satupun yang tersisa. Tinggal ia sendirian.
Kok bisa?
Gus A’ak pun membuka kisah. Ia menjelaskan, ternyata slogan ‘Go Green, Melestarikan Hutan Gunung Lemongan’ dan sebagainya, itu hanya indah ketika dibuat kaos, stiker, update status dan sebagainya. Tapi, ketika dikerjakan di lapangan beratnya setengah mati.
“Bayangkan, apa yang harus kita lakukan saat itu. Mendaki gunung sekitar 9 kilometer sambil membawa bibit pohon dan cangkul. Di bawah terik mentari. Secara pribadi, saya bukan seorang pendaki. Tidak paham medan Gunung Lemongan. Tidak paham ilmu survival,” akunya.
“Tapi, hari itu saya dituntut untuk mendaki gunung membawa cangkul, bibit pohon dan lainnya. Ternyata berat banget. Akhirnya, banyak relawan yang gugur. Bahkan, sampai tak tersisa sama sekali,” kenang ayah dari dari empat anak ini melanjutkan.
Itulah masa-masa terberat yang harus dijalani oleh putra pasangan dari KH. Mohammad Safrawi dengan Hj. Siti Naf’ah ini. Gus A’ak harus berjuang sendirian—menanam bibit pohon di wilayah Gunung Lemongan—untuk beberapa waktu.
Kendati demikian, masa tersulit itu hanya berlangsung beberapa pekan saja. Hingga akhirnya Allah mengirimkan bantuan. Ada seorang pemuda ingin ikut mendaki dan membantu Gus A’ak membawakan bibit pohon. Namun persoalannya, pemuda tersebut dikenal masyarakat sebagai sosok yang suka ‘teler’ serta ugal-ugalan di jalanan.
“Tapi saya berpikir ulang. Daripada naik gunung sendirian, lumayan ada temannya. Akhirnya, saya ajak pemuda itu. Meski waktu ingin turun, saya harus membopongnya karena teler,” Gus A’ak terkekeh mengenang masa-masa itu.
Uniknya, pada pekan berikutnya, ternyata pemuda tersebut ikut lagi dengan membawa seorang teman yang kelakuannya hampir serupa. “Alhasil, pulangnya saya harus membopong lagi dua pemuda teler. Justru mereka itulah yang mampu bertahan dan istiqomah sampai hari ini,” Gus A’ak terkekeh untuk kedua kalinya dari ujung telepon.
Seiring berjalannya waktu, jumlah relawan menjadi stabil. Pasang surut relawan yang gugur pun sudah tak begitu besar. Kini, relawan Laskar Hijau di Lumajang yang tetap istiqomah berjumlah 20 orang. Selebihnya, muncul dan terbenam layaknya sang mentari beiringan naik turunnya semangat mereka masing-masing.
Selain di Lumajang, relawan juga tersebar hingga ke beberapa daerah seperti Banyuwangi (20 orang), Sumenep (10 orang), Malang, Probolinggo dan sekitarnya.
“Sebenarnya relawan yang terus bertahan hingga sekarang, ada yang mantan rampok, maling dan lainnya. Itu yang bertahan sampai saat ini. Nggak ada persyaratan khusus untuk menjadi relawan. Siapa pun yang peduli terhadap lingkungan, di manapun berada, itu termasuk bagian dari kami” ucapnya dengan nada lirih.
Gus A’ak sebenarnya mengaku takut ketika pertama kali naik Gunung Lemongan sendirian. Terlebih, warga setempat seringkali menakut-nakutinya, bahwa ada harimau di wilayah hutan lindung Gunung Lemongan.
Dari situ, rasa takut dan ingin maju bergerak terus berkecamuk di hatinya. Akhirnya, Gus A’ak merenung, “Kalau hari ini saya mundur maka, habislah derita pelestarian Gunung Lemongan di Kabupaten Lumajang,” tegas penyuka travelling ini.
“Meski dalam sepekan saya hanya mampu menanam satu pohon maka, saya akan tanam. Saya nggak begitu berambisi targetnya harus sebanyak ini. Nggak. Saya hanya berpikir, bagaimana bisa istiqomah untuk terus menanam pohon. Meski pekan ini menanam satu pohon, lalu pekan berikutnya dua pohon dan seterusnya. Itu akan tetap saya lakukan,” terang Gus A’ak panjang lebar.
Terlebih, masih kata Gus A’ak, ada sebuah hadits yang menjadi penyemangatnya, bahwa saat menanam pohon, jika buahnya kelak dimakan oleh burung, maka itu akan menjadi amal jariyah bagi penanam pohon berbuah tersebut. Belum lagi, kebermanfaatan yang dirasakan masyarakat di sekelilingnya.
Mengais Biji-bijian dari Sampah
Dari rumah Gus A’ak menuju lokasi penghijauan, bisa dilakukan dengan naik motor sekitar 7 kilometer. Lalu, setiba di lokasi, motor biasanya disembunyikan di dalam semak belukar agar aman dan tak dicuri orang. Baru kemudian, untuk menuju lokasi penanaman bibit harus mendaki jalan setapak dengan berjalan kaki selama 15 ampai 20 menit.
“Itu biasanya saya bawa bekal nasi bungkus, air minum, cangkul, sabit dan bibit yang siap untuk ditanam. Maksimal bibit yang bisa dibawa 10 polybag. Saya berangkat jam 8 pagi, sampai lokasi tanam jam 9 pagi. Lalu, mulai membersihkan kawasan yang akan ditanami, sambil mengamati pertumbuhan bibit pohon yang sudah ditanam pekan sebelumnya. Jam 2 siang, biasanya saya baru turun,” kenang suami dari Nur Ida Fitria ini mengawali perjuangannya.
Sejak tahun 2011, Laskar Hijau sudah punya posko di lokasi penghijauan Gunung Lemongan. Sehingga, semua peralatan dan bibit pohon disimpan di posko tersebut. “Jadi, sekarang nggak hanya setiap Ahad, tapi selama musim hujan hampir setiap hari teman-teman menanam pohon. Bisa dibilang menjadi pekerjaan harian. Nah, musim kemarau tinggal perawatan,” kata Penerima Apresiasi Satu Indonesia Awards 2010 bidang Lingkungan dari PT. Astra International Tbk ini.
Bibit-bibit pohon yang ditanam, kata Gus A’ak, diperoleh dan dikumpulkan dari mengais biji-bijian, dari tempat sampah satu ke tempat sampah lainnya. “Kalau lagi musim durian, kami cari dan kumpulkan biji durian di tong sampah, pinggir jalan, pasar dan sebagainya. Terus, kami cari plastik bekas, diisi tanah kompos untuk media menyemai bibit. Ketika masuk musim hujan baru kita tanam di lokasi penghijauan,” bebernya.
Pria dengan 1001 aktivitas ini mengungkapkan, bibit pohon yang ditanam itu 50 persen berupa bambu petung, 50 persen lagi pohon berbuah seperti alpukat, durian dan lainnya. Apa alasan Gus A’ak menanam bambu serta pohon berbuah? Sebab, menanam bambu tujuan awalnya adalah untuk menghidupkan mata air 7 danau. Sementara, pohon berbuah untuk menghidupi satwa di Gunung Lemongan.
“Kalau pohon yang kami tanam sudah jutaan. Tapi, tingkat kesuksesan untuk hidup juga masih sangat minim. Sebab, waktu memulainya kita memang tidak memiliki latarbelakang kehutanan, gunung, dan sejenisnya. Misalnya, pada ketinggian 800 dpl itu durian ternyata tidak bisa tumbuh. Kita belum tahu jika durian tidak bisa tumbuh pada ketinggian tersebut. Kami baru tahu setelah menanam berberapa kali dan gagal,” bebernya.
Jadi, menurut Pegiat Seni ini, banyak kegiatan yang dikerjakan belum berhasil. Kendati bukan berarti sia-sia. Sebab, dari situ justru mereka menyisakan banyak hikmah dan pelajaran baru. “Oh, di ketinggian segini dengan kontur tanah yang demikian cocoknya ditanami ini,” ujarnya.
Apa hasil yang dapat dilihat dari ‘sentuhan tangan’ Gus A’ak bersama relawan Laskar Hijau di Gunung Lemongan? “Yang pasti di sekitar posko kami, tahun 2010 itu tidak ada pohon sama sekali alias benar-benar gundul. Tapi, Alhamdulillah, hari ini sudah penuh dengan pohon seperti jambu, alpukat, belimbing, bambu petung. Itu di lokasi sekitar 50 hektar di sekitar posko,” jelas Gus A’ak.
Bahkan, kini Laskar Hijau menjalin kerjasama dengan pihak Perhutani setempat guna mengelola dan menghijaukan kembali hutan lindung di Gunung Lemongan yang masih gundul. Gus A’ak mengaku, sejak memulai gerakan penghijauan hingga sekarang sudah sekitar 400 hektar areal hutan lindung yang mereka tanami pohon bambu dan buah-buahan. “Tapi, karena ada yang mati, terus tidak tumbuh, pembakaran hutan dan lainnya, kini yang masih bertahan sekitar 50 hektar,” ujarnya.
Selain itu, debit air di beberapa danau sudah stabil. Dulu yang debit airnya turun sampai 5 meter, sekarang sudah normal kembali. “Kalau saya boleh menyimpulkan, itu bisa terjadi bukan semata apa yang kami kerjakan. Itu semua karena sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Esa,” tutup Gus A’ak mengakhiri perbincangan kami via telepon malam itu.*