Oleh: Abdus Salam
Sambungan artikel KEDUA
SITUS resmi US Navy (www.navy.mil) merilis “Blue Ridge Builds Friendship with Indonesia 15/5/2012 NNS120515-03” menjelaskan bahwa Armada USS Blue Ridge ditugaskan untuk Armada Pasifik antiterorisme dan membina hubungan positif dengan negara-negara di kawasan Asia-Pasifik. Selain itu juga ada bakti sosial dan interaksi dengan warga Indonesia.
Rilis yang lain (USNS Mercy Deploying for Pacific Partnership 2012 ‘Preparing in Calm to Respond in Crisis’ 26/4/2012 NNS120426-16) menjelaskan beberapa agenda untuk memperkuat hubungan AS dan negara yang dikunjungi. Hubungan juga dilakukan dengan bidang militer, organisasi, dan LSM yang ada di negara tersebut. Tujuan pentingnya adalah untuk mengatasi krisis dan bencana alam.
Sesungguhnya berbagai bentuk kebijakan US Navy berupa—bakti sosial, kerjasama militer, bantuan medis, latihan bersama—tidak terlepas dari misinya.
Marinir RI pernah latihan bersama Amerika di Karangtekok, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur mulai 19 Maret hingga 10 April 2015. Latihan kali ini memfokuskan pada permasalahan pertempuran di darat dan di laut. Dimulai dari perencanaan sampai pelaksanaanya. Selama latihan, marinir Indonesia dengan marinir AS akan saling bertukar pengetahuan, khususnya materi kemampuan intai amfibi, perang hutan dan sniper melalui metode teori hingga praktik. (www.visibaru.com, 19Maret 2015)
Kerjasama militer AS-Indonesia ini mulai membaik pasca-embargo beberapa tahun silam. Kerjasama ini sesungguhnya berbahaya bagi Indonesia. Apalagi AS selama ini memposisikan sebagai militer terkuat dengan peralatan dan alutistanya yang modern. AS ingin melihat kekuatan Indonesia seberapa besar kemampuannya. Jika suatu saat terjadi perselisihan, maka AS pun sudah mengetahui kelemahan Indonesia.
Selain itu, industri alutista sering dimanfaatkan AS untuk meraih pasar baru. Keberadaan konflik di beberapa negara sering dimanfaatkan untuk jual beli senjata. Sebagaimana Arab Saudi yang belanja senjata militer begitu tinggi.
Karena industri milter Indonesia belum bertujuan pada kondisi perang dapat mudah dimanfaatkan AS untuk menekan kembali dan memaksa embargo. Meski ada tawaran untuk hadiah alutista, tapi teknologi itu sudah ketinggalan jaman. Bahkan AS sudah membuat alutista yang lebih canggih. Embargo diberikan kepada suatu negara biasanya terkait kepentingan AS.
DI sisi lain, militer AS sudah dapat memetakan geografi dan topografi Indonesia. Di sisi lain militer digunakan untuk melindungi kepentingan MNC dan perusahaan AS. Tak jarang, intelijen militer sering menyusup dan mendorong gerakan separatisme di wilayah konflik Indonesia.
Keempat, Multinasional AS
Multy National Corporate (MNC) atau perusahaan AS sudah lama beroperasi di Indonesia dari pulau Sumatera hingga Papua. Keberadaan Konsulat Jenderal di beberapa pulau mengindikasikan kepentingannya di sana. Semisal keberadaan Konjen di Medan, Sumatera Utara. Perusahaan AS pun mengekspoloitasi SDA berupa migas. Begitu pula Konjen di Surabaya, Jawa Timur. Keberadaan Blok Cepu, Pembangunan Smelter Freepot di Gresik, Penambangan Minyak di Blok Madura, serta rencana eksplorasi di pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur.
Lain halnya di Papua. Meski tiada konjen, di sana bercokol MNC PT Freepot dalam ekplorasi emas, tembaga, dan mineral lainnya. Keberadaan MNC AS di Papua dimulai pada tahun 1960-an hingga sekarang menjadi bukti bahwa penguasa tak mampu menjaga SDA secara mandiri. Meski mengaku mendapat keuntungan dari pembagian hasil penambangan, tetap saja Indonesia selalu dirugikan. Konflik separtisme dan keberadaan OPM (organisasi Papua Merdeka) dimanfaatkan betul untuk membenturkan daerah (Papua) dengan pusat (Jakarta). Kondisi seperti itu dapat saja berujung pada separatisme dan disintegrasi.
Begitu pula yang terjadi di Makassar. Perusahaan AS berada di sana dan menjadi sentra ekonomi-perdagangan bagi AS. Hal yang biasa dilakukan AS adalah dengan mendekati pejabat daerah untuk memuluskan rencananya. Tawaran bantuan pembangunan, beasiswa pendidikan, dan lainnya adalah hal lumrah. Itu merupakan bujuk rayu AS untuk semakin mengokohkan kepentingannya di Asia Tenggara.
Harus diakui, Indonesia menjadi perebutan kepentingan ekonomi bagi China dan AS. Begitu juga Jepang dan negara korporasi lainnya. Karena itu, segala kebijakan terkait indsutri dan ekonomi lebih menguntungkan mereka dibanding Indonesia. Aturan yang ada pun cenderung melindungi korporasi. Jadilah negeri ini negara korporasi yang dibangun dari kepentingan pemilik modal.
Kelima, GWOT melalui IS-ISIS
Menteri Luar Negeri AS di masa Clinton, Medelein Albright pernah menyatakan begini;
“Sesungguhnya AS adalah satu bangsa yang telah dipastikan menjadi penanggungjawab dunia. AS siap untuk melakukan apa saja kapanpun dia kehendaki. Hendaklah semua pihak mengetahui bahwa kami melakukan apa yang kami inginkan dan mengubah apa yang kami kehendaki. Tidak ada hambatan-hambatan yang menghadang jalan kami, karena dunia adalah milik kami, dunia adalah milik orang-orang Amerika.”
Kesombongan itu pula yang menjadikan AS sebagai polisi dunia pasca keruntuhan WTC 11 September 2001. Gelombang istilah terorisme mulai digencarkan. Munculah ajakan AS ke seluruh dunia dengan tema besar (GWOT) ”Global War on Terrorism”. Sasaran bidik awal yaitu jelas, Al Qaidah yang dianggap sebagai represntasi bagian kekerasan dari Islam.
Meski berulang kali AS menyatakan bahwa mereka memerangi teroris bukan Islam. Faktanya umat Islam selalu menjadi korban. Kemunculan Islamophobia dan pelabelan teroris pada umat Islam terjadi di seluruh belahan dunia. Bahkan istilah “Khilafah” yang bermakna negara yang menyatukan politik umat Islam dijadikan bahan lelucon serta kriminalisasi.
AS lupa bahwa apa yang selama ini dilakukan dengan mengintervensi militer negeri kaum Muslim baik legal ataupun illegal, merupakan hal yang sah. Bukan bagian dari terorisme. Padahal lagi-lagi dunia melihat dengan kasat mata. Pasukan AS membunuh wanita, anak-anak, warga sipil dengan jumlah korban yang banyak. Hal ini menunjukan bahwa AS akan menggunakan istilah terorisme untuk kepentingan politiknya. Israel yang berulang kali membunuh rakyat Palestina, tak pernah disebut terorisme oleh AS. Aneh, bukan?
Wilayah Asia Tenggara yang mayoritas memeluk Islam, khususnya Indonesia dan Malaysia, menjadi ancaman bagi kepentingan AS. AS sadar bahwa Islam politik yang muncul di Indonesia dan Malaysia akan menjadi kuburan bagi AS.
Karena itulah, segala cara dilakukan AS untuk membendung gerakan Islam Politik dengan pendekatan kasar hingga lunak. Bisa melalui penerbitan UU Anti Terorisme hingga pembentukan badan datasemen khusus penangkap terorisme. Semisal di Indonesia ada Densus 88 yang bekerja di lapangan. Sementara itu, Badan Nasional Pencegahan Teorisme (BNPT) bekerja untuk pembinaan dan kerjasama dalam pencegahan kemunculan radikalisme Islam.
Akhirnya, yang terjadi di Indonesia adalah terorisasi khilafah dan kriminalisasi. Masyarakat dibuat heboh dan takut dengan simbol Islam. Peristiwa maraknya ISIS dan WNI yang hijrah ke Suriah dimanfaatkan betul untuk megelola GWOT dan menyuburkan kepentingan pihak keamanan. Umat Islam yang di dalam jiwanya terdapat Islam coba dijauhkan agar meletakan Islam pada ranah ritual. Bukan pada negara atau pengaturan hidup. Sungguh tindakan tak beradab bagi orang-orang yang masih mempunyai akal.
Panglima TNI Jendral Moeldoko mengatakan pemerintah Indonesia melihat Islamic State of Iraq and Suria (ISIS) sebagai ancaman besar dunia, dan Jakarta berkeinginan meningkatkan kerjasama dengan Washington untuk menghadapi kelompok radikal ini di Asia Tenggara.
Secara personal Jendral Moeldoko meminta Kepala Kerjasama Militer AS Jendral Martin E Dempsey untuk mengizinkan pejabat tinggi TNI ikut berpartisipasi sebagai peninjau dalam Gugus Tugas anti-ISIS di Washington. Selain itu, Moeldoko juga menyarankan agar Jakarta lebih mengedepankan keinginan untuk menjadi partner lebih dekat dengan AS seperti dalam menghadapi isu China.(dilansir The Washington Times 19/12/2014 dan detik.com).
Tampaknya isu ISIS di Indonesia masih akan dijadikan mainstream untuk menghadang laju kerinduan umat pada Islam ideologis. Islam yang dijadikan sebagai standar dalam pengaturan hidup dan hukum negara. Upaya kriminalisasi dan adu domba dijadikan untuk memecah belah umat. Akhirnya umat Islam terpecah dengan sebutan ‘moderat’ dan ‘ekstrim-radikal’. Pada ujungnya, sering terjadi fitnah tak berdasar hingga sikap takfiri (saling mengafirkan). Umat pun tak punya pilihan selain mereka diam dan melihat fenomena ganjil ini.
Bagaimana Kita Memposisikan AS?
Umat Islam seharusnya memiliki kepekaan politik dan mengetahui tingkah polah negara-negara asing. Manuver AS seharusnya sudah bisa terbaca dan tidak mudah mengecohkan umat Islam. Wajah manis yang ditampilakan sesungguhnya hanya topeng. AS yang nyata-nyata memerangi kaum Muslim baik dengan hard power atau soft power tergolong negara muhariban fi’lan (tengah berperang).
Sikap yang tegas seharusnya ditunjukan umat Islam di Indonesia adalah melawan. Tidak sepatutnya tunduk dan menghamba kepada AS. Sikap seperti ini bisa saja muncul jika kepala negara mempunyai keberanian politik dan tidak takut pada negera kafir. Hal itu dikarenakan pijakan kuatnya adalah aqidah Islam. Indonesia pun harus jelas memposisikan, mana negara musuh dan mana negara kawan.

Cengkeraman AS dalam penjelasan di atas sudah cukup untuk membelalakkan mata bagi siapa pun. Termasuk kalangan tokoh umat, militer, dan mayoritas umat Islam. karena itu, saat ini tidaklah pada tempatnya ikut serta merayakan Independence Day AS.
Independence Day AS di Losari Makassar sesungguhnya simbol hegemoni AS atas Indonesia. Umat Islam sudah semestinya menghapuskan pemujaan manusia terhadap orang dan kepentingan AS. Justru seharusnya, umat pun membongkar dan menghinakannya. Negara kufur merupakan negara yang rusak dan terbelakang. Lebih dari itu, negara kafir tersebut akan menentang aturan-aturan Islam –terutama konsep syariat keinginan umat Islam untuk kembali menegakkan khilafah (kuat dan bersatunya umat di bawah satu kepemimpinan)- sampai kapaunpun. Untuk ini, mereka tak akan segan-segan menghabiskan energi, dana dan kemampuan yang ada.
Seharusnya ini menjadi pelajaran bersama bagi umat Islam. Selama keyakinan Islam, syariat Islam atau keinginan lahirnya khilafah masih terus didengungkan, di situ pula Amerika akan terus turun tangan. Amerika menginginkan lahirnya umat Islam yang lemah, tidak melawan jika ada saudaranya di belagan dunia didzalimi dan dibantai. Karena itu mereka berusaha merusak makna jihad. Amerika juga menginginkan Islam menjauhkan dari politik, karena jika politik kuat akan banyak lahir pemimpin-pemipin yang melawan dominasinya.
Amerika hanya ingin lahir kaum Muslim yang setia dan tunduk dalam genggamannya. Karena itulah mereka terus berkampanye dan memecah belah umat. Diantaranya melahirkan istilah ‘Islam Moderat’ dan ‘Islam Radikal’. [Baca juga: Islam Moderat Sebuah Distorsi]
Bagi kelompok ini, akan terus mendapat bantuan dana Amerika, mendapat kehormatan, puji-pujian, bahkan award atau Hadian Nobel.
Bagi kelompok Islam yang masih percaya syariat Islam dan hukum-hukum Al-Quran dan mereka yang melawan hegemoni ‘sesat’ Amerika, gancarannya pasti mendapat gelar ‘Islam Radikal’. Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi semua.*
Penulis adalah Lajnah Siyasiyah HTI DPD Sulselbar