Sambungan artikel KETIGA
Oleh: Muhammad Cheng Ho
KARYA ini dinilai menghina dan melecehkan agama Islam. Sehingga Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melarang dan menyita majalah Sastra No. 8 edisi Agustus tahun 1968. [Baca Arum Wahyuningtias & Septina Alrianingrum, UPAYA HB. JASSIN DALAM PENYELESAIAN POLEMIK HEBOH SASTRA CERPEN “LANGIT MAKIN MENDUNG” KARYA KIPANJIKUSMIN DI MAJALAH SASTRA TAHUN 1968-1970 AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 3, No. 2, Juli 2015 diterbitkan Universitas Negeri Surabaya, hlm. 247]
Menghadapi itu, Pimpinan Majalah Sastra, Darsjaf Rahman,malah balik protes dan menuntut Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Protes ini dilayangkannya atas dasar nilai-nilai asasi perjuangan kemerdekaan pers yang menjiwai pers Indonesia. Ia juga meminta bantuan dan dukungan penuh dari SPS, PWI, serta seluruh simpatisan majalah Sastra. [HARIAN KAMI, Rabu 23 Oktober 1968, Sastra Adukan Kedjaksaan Tinggi Sumut, hlm.1]
HB Jassin, selaku Pemimpin Redaksi Majalah Sastra juga malah ikut protes. Menurutnya, Cerpen Kipandjikusmin tidak menghina agama Islam.
“Bagi saja pengarangnja mentjoba mengatakan, bagaimana seandainja para Nabi menjaksikan kebobrokan jang ada di sekitar kita. Ia menggambarkan suatu idee, bukan Tuhan dan Nabi sendiri. Saja anggap tuduhan ‘menghina agama Islam’ tidak bisa dikatakan setjara mutlak. Pengertian ‘penghinaan’ itu relatif sekali. Bagi saja LANGIT MAKIN MENDUNG tidak menghina agama.”
Setelah itu, sekelompok pemuda dari Ormas Islam mendatangi kantor majalah Sastra dan rumah HB. Jassin. Mereka menuntut Darsjaf Rachman untuk menarik kembali Cerpen Kipandjikusmin “Langit Makin Mendung” dan meminta maaf kepada umat Islam. Apabila tuntutannya tidak dikabulkan,maka mereka mengultimatum tidak akan bertanggung jawab manakala terjadi tindakan fisik di kantor majalah Sastra dan kepada pemimpin-pemimpinnya. Tindakan fisik itu, kata mereka, akan datang dari pemuda-pemuda Ansor, Muhammadiyah, PMII, dan HSBI.
Tapi Darsjaf Rachman menolak tuntutan mereka. Sebab, katanya, peristiwa itu bukanlah sekadar soal antara majalah Sastra dan mereka. Ia juga menolak memberitahu nama dan alamat pengarang Kipandjikusmin ketika seseorang menanyakan hal itu. “Hal itu sepenuhnja termasuk rahasia redaksi dan saja berkewadjiban untuk tidak menjiarkannja.” [HARIAN KAMI, Kamis 24 Oktober 1968, Madj. “Sastra” Diantjam oleh Segerombolan Pemuda Darsjaf Rachman&HB Jassin Menolak Tuntutan Mereka, hlm. 1]
Senin malam pukul 18.30, rumah HB. Jassin didatangi enam pemuda muslim. Mereka berdebat dengan HB Jassin tentang kebebasan mencipta. Pada kesempatan itu, HB. Jassin juga menolak tuntutan mereka untuk mencabut kembali Cerpen “Langit Makin Mendung”.
Kamis pagi, sekitar lima puluh pemuda mendatangi dan mencoret-coret kantor majalah Sastra yang terletek di Jalan Kramat Sentiong No.43. Sebelum melakukan aksinya itu, sekelompok pemuda itu terlebih dahulu menanyakan keberadaan pemimpin redaksi dan penanggung jawab Majalah Sastra kepada penjaga kantor. Dan penjaga kantor menjawab tidak ada.
Setelah mendengar jawaban itu, sekelompok pemuda tersebut menempelkan pamflet dan mencoret-coret dinding kantor Majalah Sastra. Di pamflet dan dinding itu tertulis, “Orde Baru takkan sukses selama masih ada madjalah SASTRA”, “Ini Kantor LEKRA”, “Madjalah Sastra Komersil dari Lekra dan PKI”, “H.B. Jassin kunjuk”, “Madjalah Sastra anti Islam”, “H.B.Jassin Islam-phobi”, “Madjalah Sastra hina ummat Islam”, H.B. Jassin adalah tangan2 kotor G30S/PKI“ dan lain sebagainya. Di semua pamflet yang ditempel, terdapat stempel “Gerakan Pemuda Ansor Tjabang Senen”.Sebelum meninggalkan tempat, mereka juga sempat menurunkan dan mencoret-coret papan nama majalah Sastra. [HARIAN KAMI, Jum’at 25 Oktober 1968, Pemuda2 Lantjarkan Aksi Liar terhadap Kantor “Sastra” Pemuda Ansor tjbg Senen Ikut? hlm. 1]
Aksi protes juga datang dari Pemuda Mahasiswa dan Peladjar Islam (PMPI). Kamis pagi, Koordinator pusat PMPI, mengadukan Pemimpin Redaksi/Penanggung jawab majalah Sastra kepada Kejaksaan Agung. Menurut pimpinan PMPI, pengaduan itu disertai fakta-fakta tentang bentuk penghinaan terhadap umat Islam, diantaranya tentang penggambaran Tuhan yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. [HARIAN KAMI, Jum’at 25 Oktober 1968, Statement Pimpinan “Sastra” Keutuhan Ummat Islam Hrs. Didjaga, hlm.3]
Para sastrawan pun bereaksi. Situasi makin memanas. Sastrawan-satrawan yang kontra terhadap Cerpen “Langit Makin Mendung” diantaranya: Jusuf Abdullah Puar, Buya Hamka, Wiratmo Soekito, Moh. Zabidin Jacub SH, Ajib Rosidi, dan Abdul Muis , dan Taufiq Ismail. Buya Hamka menegaskan bahwa dalam ajaran Islam, tidak boleh menggambarkan sosok Tuhan. Hal senada juga ditegaskan oleh Ajib Rosidi dan Taufiq Ismail.
Menurut Ajib, kebebasan mencipta dengan menggunakan imajinasi mempunyai batasan-batasan dan tidak sepenuhnya bebas. Dan menurut Taufiq, kebebasan menampilkan Tuhan, Rasul, dan para Nabi ada batasannya. Batasannya, lanjut Taufiq, adalah adab dan logika yang telah digariskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. “Men-zat-kan Tuhan dalam karya sastra, mengenakan padanya jasmani duiawi, sudah merupakan usaha2 literer yang melampaui batas kebebasan bagi seorang muslim yang mengerti aqidah. Demikian Agungnya Dia, sehingga tidaklah dapat Dia dirupakan dengan sesuatu. Kalau pun Dia dirupakan dgn sesuatu, maka bukannlah dia itu Tuhan. Salah satu sifat Allah adalah “mukhalafatuhulil hawaditsi”, jakni “tidak menjerupai sesuatu.”
Mengarungi gelombang protes, Darsjaf Rahman selaku Pemimpin Umum majalah Sastra, akhirnya meminta maaf kepada umat Islam.
“Sebagai suatu imaginasi dalampengungkapan jang bersifat fiktif dalam sedjarah kesusastraan Islam, terutama dalam dialog antara machluk dgn chalikNja bukan suatu hal jang baru.
Tetapi djika ada persoalan2 di dalam pengungkapan mengenai Tuhan dan RasulNja jang menurut tanggapan seseorang atau golongan berdasarkan DZOUQ masing2 tidak dapat diterima jang berhubungan dengan soal2 jang bersifat Agung, dlm hal inidjika madjalah Sastra terlalai dan tersalahkan, maka madjalah Sastra mohon maaf sebesar2nja.
Kepada Allah Azza wa Djalla kiranja berkenan memberikan maghfiroh-Nja.” [HARIAN KAMI, Jum’at 25 Oktober 1968]*.
Penulis pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) …(bersambung) musibah Cerpen HJ YassinTeledor Tablid Monitor