TAWAKAL merupakan perkara yang diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada setiap orang yang beriman kepada-Nya, dan mengakui keesaan-Nya, baik dari kalangan para nabi dan pengikutnya sepanjang waktu dan zaman.
Allah berfirman kepada Rasul-Nya,
“…Maka apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah…” (Ali ‘Imran: 159)
Allah juga berfirman,
“…Maka berpalinglah kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah, cukuplah Allah menjadi Pelindung.” (An-Nisa’: 81)
Firman Allah yang lain,
“Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya...” (Al-Furqan: 58)
Allah juga berfirman:
“Dan bertawakallah kepada (Allah) yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.” (Asy-Syu’ara’: 217)
Allah juga mengajak bicara Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam melalui akhir surat yang membuat Rasulullah beruban –yaitu surat Hud–, setelah menyebutkan kisah saudara-saudara beliau dari para nabi ketika Allah menolong dan memuliakan mereka, meskipun tipu daya selalu dilancarkan oleh musuh-musuh mereka.
Allah mengajak bicara Rasulullah untuk menanamkan hakikat yang sangat besar ini di dalam jiwa beliau, dan jiwa-jiwa para pengikutnya hingga hari kiamat.
Allah berfirman,
“Dan kepunyaan Allah-lah apa segala yang ghaib di langit dan di bumi serta kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka beribadah dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabb-mu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (Hud: 123)
Allah juga mengajak bicara Rasulullah setelah menyebutkan tentang jihad dalam surat At-Taubah, dengan berfirman,
“Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagi-Ku; tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan dia adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung’.” (At-Taubah: 129)
Allah telah memberikan perintah ini kepada setiap orang yang beriman. Terkadang, Allah memberikan khitab (perintah) dengan kalimat tawakal, sebagaimana firman-Nya:
“…Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (Ali ‘Imran: 122)
Terkadang juga dengan lafazh Al-I’tisham (berpegang teguh), sebagaimana firman-Nya,
“…Dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dia-lah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” (Al-Hajj:78)
Rasulullah juga memerintahkan kepada umatnya untuk memohon pertolongan hanya kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits beliau yang masyhur:
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah, pada setiap mereka ada kebaikan. Berusahalah untuk selalu melakukan hal yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan merasa lemah (putus asa). Apabila kamu ditimpa sesuatu, maka janganlah berkata, ‘Seandainya aku melakukan begini, niscaya akan begini’. Tetapi katakanlah, ‘Allah telah mentakdirkan semuanya. Apa yang Dia kehendaki, pasti akan diperbuat-Nya’. Sesungguhnya perkataan law (seandainya) akan membuka peluang bagi setan.’” (HR Muslim dan Ahmad).
Selain menjadi sesuatu yang diwajibkan kepada setiap mukmin, tawakal juga menjadi salah satu syarat sempurnanya iman. Bahkan, Allah memberikan kenikmatan kepada siapa saja yang bisa merealisasikannya, sebagai kemuliaan dan karunia dari-Nya.
Mari kita bersama-sama melihat kepada besarnya pahala orang-orang yang bertawakal. Allah telah menjanjikan kebahagiaan di dunia dan kenikmatan di akhirat kepada mereka. Di dunia, Allah menjamin empat hal kepada orang-orang yang bertawakal, yaitu hidayah, kecukupan, penjagaan, dan keselamatan dari penyimpangan.
Pemberian hidayah dapat kita lihat pada firman Allah,
“...Dan barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Ali-‘Imran: 101)
Adakah kenikmatan yang lebih besar daripada seorang yang diberi hidayah ke jalan yang lurus? Dia berjalan di atas jalan hidayah tersebut tanpa merasa takut tersesat atau celaka. Dia menempuhnya dengan penuh keyakinan akan penghujung jalan yang penuh cahaya. Dia berjalan sambil merasakan bahwa dia berada dalam cahaya, sementara yang lain hidup dalam kegelapan.
Apakah setelah balasan ini, seorang memerlukan balasan yang lain?
Karunia Allah memang tidak ada habisnya. Sebagaimana Dia memberikan petunjuk kepada orang-orang yang bertawakal, Allah juga memberikan kecukupan kepadanya, sebagaimana firman-Nya,
“…Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya…” (Ath-Thalaq: 3)
Maksudnya Allah akan mencukupi keperluannya dan memudahkan kebaikan baginya, sehingga dia tidak perlu bersusah payah. Adapun Al-Wiqayah (penjagaan) yang dijanjikan oleh Allah, tampak sekali pada kisah salah seorang anggota keluarga Fir’aun yang beriman, ketika dia bertawakal kepada Allah dan menyerahkan semua permasalahan yang ia hadapi kepada Allah.
Dia berfirman ketika menyebutkan kisahnya,
“…Dan aku menyerahkan permasalahanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.”(Al-Mu’min: 44)
Adapun balasan yang didapatkan adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah,
“Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka...” (Al-Mu’min: 45)
Bagaimana mungkin seorang mukmin akan takut terhadap tipu daya musuh-musuhnya, sementara dia sendiri bersama sebaik-baik pembuat makar (Allah), yang akan menjaganya dari semua keburukan dan mencegahnya dari segala kejahatan?
Sementara itu tindakan Allah dalam menyelamatkan manusia dari penyesatan setan dapat kita temukan dalam firman Allah,
“Hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sesungguhnya, setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Rabb mereka.” (An-Nahl: 98-99).*/Dr. Hani Kisyik, terangkum dalam bukunya Kunci Sukses Hidup Bahagia. [Tulisan selanjutnya]