“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (QS. Al Lail (92) : 5-10)
Siapa yang tidak mengenal Khadijah, sosok wanita seleberitis yang kaya raya. Dialah wanita beruntung yang pertama kali diberi kepercayaan oleh Allah untuk mendampingi calon pemimpin dunia, Muhammad Al Amin. Lima belas tahun sebelum Muhammad dilantik menjadi Rasulullah, ia merintis jalan kerasulan itu. Sekalipun terpaut umur 20 tahun tidak menghalangi keduanya untuk merangkai keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Keluarga yang mengajarkan kepada kita cara cerdas meraih kebahagiaan hidup. Muhammad berusia 25 tahun, dengan pikiran yang masih segar membutuhkan sosok pendamping yang lebih matang dan dewasa. Ia memulai kehidupan dengan isteri pertamanya yang telah dua kali menjanda berumur 40 tahun itu.
Sejak awal Khadijah telah menyatakan kesanggupannya untuk menjadi pendamping setia pemuda itu. Bukan tertarik karena faktor-faktor biologis, tetapi lebih terdorong oleh adanya kemantapan keyakinan bahwa pemuda dari suku Quraisy, keturunan orang mulia dan menjadi penghulu kabilah Quraisy ( nenek moyangnya memberi minum orang yang pergi haji ke Makah : siqoyatul hajj) itu, dikenal kebersihan integritas dirinya. Ia steril dari polusi jahiliyah, tidak sebagaimana layaknya pemuda kebanyakan. Ia tidak pernah makan daging sembelihan kaum jahiliyah. Ia tidak pernah mendengarkan musik yang membangkitkan nafsu. Ia juga tidak pernah bergelimang dengan kehidupan hedonis, karena dari keluarga pas-pasan. Hal ini dibuktikan dengan gelar yang diberikan oleh kaumnya, Al Amin (terpercaya).
Khadijah yakin dengan pilihannya itu. Kehidupan jahiliyah yang tidak kenal nilai-nilai kemanusiaan, egaliter, menerapkan hukum rimba, memiliki akhlak yang rendah, penindasan terhadap kaum wanita, senang memakan barang riba, tidak akan bisa diperbaiki kecuali berdampingan dengan seorang pemimpin yang memiliki komitmen, integritas, moral, berkepribadian utuh, memiliki visi dan missi jauh ke depan. Dan kriteria itu lengkap pada diri Muhammad. Keyakinannya semakin mantap, ketika mendengar langsung syiir (sastra) yang digubah maisarah (pembantu laki-lakinya) yang berisi pujian kepada kepribadian Muhammad, ketika menyertainya pergi ka Syam menjalankan bisnis Khadijah. Betapa rindunya ia untuk segera mewujudkan perasaan cinta suci kepada keponakan tokoh Quraisy Abdul Muthalib, yang selama ini dipendam.
Atas perkenan Allah Swt, akhirnya kerinduan Khadijah untuk duduk bersanding dengan manusia sejati terobati, ketika berhasil mewujudkan keluarga yang mengedepankan nilai-nilai moralitas bersama Muhammad. Dari rahim pertama ini Rasulullah bisa terantar untuk menjadi manusia pilihan, utusan Allah (Ar Rasul al-Musthofa). Dan berkat perkawinannya dengan Muhammad, Allah memberikan beberapa anak. Rasulullah Saw bersabda, menceritakan pengalaman rohani bersama keluarga : qod ruziqtu hubbahaa (aku telah dianugerahi cinta kepadanya), (HR. Muslim).
Pada usia 55 tahun, sudah mencapai lima belas tahun dari usia perkawinannya, Khadijah mendampingi suami tercintanya menjadi Rasul. Ia sadar bahwa perjalanan kerasulan yang akan ditapaki oleh kekasihnya, sekaligus ustadznya itu berliku-liku, mendaki, penuh onak dan duri. Maka ketika pulang dari kontemplasi (tafakkur dan mujahadah) yang ia lakukan selama tiga tahun dengan sponsor utama isterinya di Gua Hira, akhirnya menerima wahyu sebagai bekal untuk mengadakan reformasi total kondisi kehidupan kaumnya, ia merasa berat secara fisik dan rohani.
“Wahai isteriku, zammiluuni….zammiluuni” (selimutilah aku….selimutilah aku !). Ketika itu kita bisa mengetahui siapa sesungguhnya sosok Khadijah. Ia hadir pada saat yang sangat dibutuhkan oleh seorang Rasulullah saw. Ia mampu membesarkan hati Rasulullah dan pertama kali bersyahadat, menyatakan masuk islam.
Khadijah membuktikan kematangan dan kedewasaan berfikirnya, ketika menghadapi suami yang memiliki gelora jiwa pemuda. Ia meyakinkan bahwa perjuangan kita berhasil dengan gemilang, suamiku. Kemenangan Islam sebagai penyempurna dari agama-agama (al Milal) yang di bawa oleh para Nabi terdahulu sudah terbayang di pelupuk mata.
“Tidak, tidak akan gagal ! Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu. Sesungguhnya engkau suka menjalin silaturrahim, senang menolong kaum lemah dan sebatangkara, berusaha memberikan uluran tangan kepada yang sengsara, suka menghormati tamu, menolong orang yang haknya dirampas. Demi Allah yang menguasai jiwa raga Khadijah, sesungguhnya aku berharap sekali engkau (suamiku) menjadi Nabi bagi ummat ini.”
Khadijah meyakinkan suaminya kedua kalinya dengan membawanya kepada pamannya yang ahli dalam kitab Taurat dan Injil (belum dimodifikasi). Setelah ia menjelaskan peristiwa yang dialami oleh suaminya, Waraqoh bin Naufal meyakinkan kepada keponaknnya yang akan menjadi manusia besar itu. Sesungguhnya yang datang kepadamu adalah An Namusul Akbar (Malaikat Jibril) yang pernah datang menemui Nabi Musa.
Ia mengatakan: “Laitani kuntu jadza’an.” (alangkah bahagianya seandainya aku menjadi pemuda kembali), akan menjadi pendukung setia untuk berjihad menyampaikan risalah. Waroqoh menyadari beratnya gangguan, rintangan, tantangan dari kaumnya yang akan dihadapi keponakannya.
Peranan Khadijah terhadap perjuangan Islam pada kondisi yang genting. Ketika islam masih kedengaran asing di telinga mayoritas masyarakat Makkah. Ketika musuh-musuh Islam merintanginya secara bertubi-tubi. Layak, jika Rasulullah merasa berhutang budi kepada Khadijah. Ia pernah menyatakan untuk tidak menoleh kepada wanita lain selama Khadijah berada disampingnya. Sekalipun isteri pertamanya itu belum merasakan hasil perjuangannya selama ini ketika hijrah ke Madinah, karena telah mendahului wafat tiga tahun sebelum hijrah.
Disamping muslimah pertama itu dijamin masuk surga untuk menghargai jerih payahnya selama mendampingi Rasulullah Saw, Allah Swt lewat malaikat-Nya mengirimkan salam kepada Khadijah dan menginformasikan bahwa dia telah disediakan gedung khusus di surga (Mukhtarul Ahadits).
Ketika isteri termudanya, Aisyah merasa cemburu karena kedapatan sering menyebut-nyebut Khadijah yang telah lama meninggal. Mengapa engkau seringkali menyebut-nyebut wanita tua, sementara Allah telah menggantikan untukmu yang lebih muda !. Apalagi Rasulullah Saw sering menyembelih kambing yang daging-dagingnya dibagikan kepada teman-teman Khadijah. Aisyah berkata lagi : maa ghirtu min’imro-atin, maa ghirtu min khadijah (Aku tidak pernah merasa cemburu terhadap seorang perempuan sebagaimana aku cemburu terhadap Khadijah). Rasulullah Saw. sempat tersinggung dan menjawab :
“Dia beriman kepadaku ketika orang lain kufur kepadaku. Dia membenarkanku di waktu orang lain mendustakanku. Dia membantu dengan hartanya, ketika orang lain menahan hartanya untuk membantu perjuanganku. Dan Allah menganugerahiku anak yang dilahirkannya, sedang istri yang lain tidak melahirkan anak untukku.” (HR. Ahmad).
Pengiriman daging kepada teman-teman Khadijah, Rasulullah Saw berkomentar : Memelihara kehormatan sahabat dan kawan bergaul di masa mereka hidup dan mati, dan menghormati kenalan kawan tersebut.
Khadijah telah berpisah dengan dunia ini tetapi secara fisik, tetapi secara maknawi masih hidup di tengah-tengah kita. Namanya senantiasa dalam kenangan kita, ketika membicarakan wanita mulia, istri teladan (zaujatun mitsaliyah).
Rasulullah Saw. sendiri masih terkenang dengan lekat. Seorang istri yang piawai, berbudi luhur, pemberani, serta memahami psikologi laki-laki muda, dia mengerti bagaimana memberi dorongan dan menguasai metodologi yang paling efektif dalam membesarkan jiwa suaminya. Sosok wanita perpengalaman, dewasa dalam berfikir dan bertindak. Dia memahami dan hadir tepat pada waktunya ketika Rasulullah SAW membutuhkan dirinya.
Khadijah adalah sosok wanita mujahidah (pejuang), daiyah (penyeru) , murabbiyah (pendidik), zaujah (isteri), yang telah melaksanakan fungsi kewanitaannya secara utuh. Secara internal rumah tangga, ia berhasil mendidik anaknya, merawat suaminya, menciptakan rumah menjadi tempat berteduh dari kekejaman zaman, bernaung dari kepenatan hiruk pikuk kehidupan di luar. Secara eksternal Khadijah telah menunjukkan pengorbanannya tanpa pamrih dalam membangun pondasi islam di Makah hingga landing di bumi Madinah, sekalipun ia belum menikmati hasil perjuangannya itu.
Biarlah ia sebagai peletak batu bata pertama/tumbal dalam proyek raksasa bangunan islam, sebelum sempat menikmatinya. Pada akhirnya sejarah yang menilainya secara arif dan bijaksana akan peranan strategis yang ia mainkan. Ia mengatakan : Hasil perjuangan itu tidak harus dinikmati sekarang. Setiap investasi akan menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda.
Ketika Rasulullah SAW diboikot secara ekonomi oleh kaum Quraisy selama tiga tahun, badan Khadijah semakin kurus dimakan usia. Beliau mendekatinya sembari berkata, “Wahai istriku : Apakah engkau menyesal mengorbankan seluruh harta, jiwa dan ragamu tanpa disisakan untuk perjuangan yang saya pikul, sehingga badanmu tinggal tulang-belulang. Tidak, wahai suamiku. Justru saya sedih, ketika Islam memerlukan peran saya tetapi saya sudah jatuh miskin. Sekiranya tulang belulang saya masih diperlukan, silahkan untuk dipotong.”
Rasulullah SAW menangis tersedu-sedu dihadapannya. Selang beberapa lama, Khadijah kembali di hadapan-Nya, belum sempat menikmati hasil perjuangannya. Demikanlah pelajaran penting yang diberikan oleh wanita muslimah pertama bahwa perjuangan itu memerlukan proses yang panjang. Dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, dan dari generasi ke generasi. Dan yang terpenting. Pejuang itu tidak harus menikmati hasil. Tetapi terus memberi dan berkorban. Bukan mengorbankan orang lain. Tetapi hasil perjuangan itu akan kembali kepada kita sendiri. Siapa yang menanam pasti memanen. Siapa yang banyak memberi, niscaya banyak memperoleh. Siapa yang banyak mengukir prestasi, niscaya akan menikmati hasil. Amal shalih yang mengangkat citra dirinya, mengurangi dosanya dan sebagi mediator untuk mengurai kerumitan kehidupan yang dihadapinya.Yang tidak memiliki sesuatu tidak akan memberikan sesuatu apapun (faaqidusy sya’i laa yu’thihi). Dan Allah SWT tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal.
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.” (QS. Ali Imran (3) : 195)
“Dan barang siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maka Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Al Ankabut (29) : 6). [Kudus, Nopember 2010/hidayatullah.com]
*)Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah