Oleh: Imam Nawawi
BELAKANGAN ini Indonesia seperti menjadi ajang trial and error kelompok-kelompok tidak bertanggung jawab, utamanya dalam hal terorisme. Dari sisi target sang dalang dari trial and error tersebut, nampaknya cukup berhasil, yakni dengan terbelahnya opini antara pemerintah, aparat dan publik, sehingga kemungkinan berkembangnya saling curiga semakin kuat.
Ujung dari terciptanya silang pendapat dimana masing-masing pihak bertahan dengan frame berpikir dan argumentasi masing-masing, tentu saja keriuhan di media yang berakhir pada ketidakstabilan psikologi masyarakat. Sehingga, mau tidak mau hal itu berpengaruh secara signifikan terhadap stabilitas negara.
Menurut AM. Hendropriyono dalam bukunya “Terorisme, Fundamentalisme, Kristen, Yahudi, Islam” terorisme sangat mengancam ketahanan politik, pertahanan dan keamanan, serta terhadap kemanusiaan.
Dengan kata lain, membiarkan terorisme dan framing tentang terorisme berkembang tanpa kendali, dan cenderung bertubrukan di tengah-tengah masyarakat, akan menjadikan stabilitas negara kian menghadapi ancaman yang kompleks.
Dalam kondisi demikian, tentu pemerintah menjadi pihak yang paling bertanggung jawab untuk bagaimana segala macam ancaman terhadap stabilitas negara bisa diatasi dengan baik, utuh dan menyeluruh.
Jika hanya mengandalkan framing dari aparat keamanan, boleh jadi akan menimbulkan benturan keras dengan kelompok masyarakat yang sebenarnya juga punya hak dihormati dan dilindungi negara. Jika merujuk pada pengertian terorisme internasional, belum tentu itu menjamin penyelesaian yang efektif. Sementara mendengarkan pihak non pemerintah dengan menegasikan aparatnya sendiri adalah hal mustahil yang diambil.
Jika demikian, bagaimana langkah yang tepat untuk menjaga stabilitas negara? Segala upaya yang bersumber dari kekuatan nalar semata telah dilakukan, namun hasilnya masih belum membahagiakan. Lantas, bagaimaka jika kita menerima nasehat dari al-Qur’an soal ini?
6 Perkara Penting
Adalah benar Indonesia bukan negara agama, tetapi negara yang maju peradabannya adalah negara yang selalu siap menerima mutiara kebenaran.
Menciptakan stabilitas negara menurut al-Qur’an ternyata termaktub secara tersurat di dalam Surah Al-Hujurat (Kamar-kamar). Surah yang terdiri dari 18 ayat tersebut di antaranya mengulas tentang adab sopan santun berbicara dengan Rasulullah SAW.
Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar satu sama lain kenal-mengenal; setiap manusia sama pada sisi Allah, kelebihan hanya pada orang-orang yang bertakwa; sifat-sifat orang-orang yang sebenar-benarnya beriman.
Beruntung bangsa ini pernah memiliki sosok ulama yang amat mendalam perenungannya terhadap al-Qur’an, sehingga pemaknaannya terhadap Surah Al-Hujurat tepatnya pada ayat 11 dan 12 amat bermanfaat untuk membantu kita semua, terkhusus pemerintah dalam mewujudkan stabilitas negara.
Dalam bukunya Falsafah Hidup, Buya Hamka mencatat 6 perkara penting, dari kedua ayat tersebut, yang mesti diwujudkan guna mencegah terjadinya kerusakan masyarakat, yang juga berarti mencegah keruntuhan sebuah negara.
Pertama, dilarang suatu kaum mencela kaum yang lain.
Buya Hamka menulis, “Banyak sekali kedapatan suatu kelompok mencela kelompok lain, melupakan kebaikan-kebaikannya dan membangkit-bangkitkan kesalahannya. Pokok pangkalnya hanyalah dari kebencian dan hasad dengki belaka. Segala kebaikan yang ada pada musuh, kita lupakan, tetapi, kesalahannya kita besar-besarkan. Sehinga benci membutakan mata, menghilangkan keadilan. Seakan-akan orang yang dibenci atau dicela itu tidak mempunyai kebaikan sedikit juga.”
Ketika sebuah peristiwa terorisme terjadi (katakanlah seperti di Sarinah, Jakarta) mestinya semua pihak menahan diri untuk tidak membuat statement yang justru kontraproduktif. Termasuk tidak mengedepankan tuduhan-tuduhan negatif yang berpotensi mengundang polemik di masyarakat. Lebih baik polisi mengajak semua pihak mengatasi masalah ini secara lebih arif, bijaksana dan efektif, efisien.
Kedua, jangan kamu memfitnah dirimu.
Menurut Buya Hamka, jangan memfitnah dirimu merupakan bentuk rahasia kehalusan al-Qur’an yang sejatinya bermaksud bahwa diri orang lain adalah dirimu juga. Artinya, perbuatan buruk kepada orang lain sama dengan menerima perbuatan buruk untuk diri sendiri. Oleh karena itu, pemerintah, aparat keamanan dan publik tidak semestinya saling benci, saling dengki, apalagi saling menyalahkan, dan saling hina.
Ketiga, jangan memilih gelar-gelar yang buruk.
Siapapun mesti menghindari memberikan gelar-gelar buruk terhadap siapapun, terlebih terhadap pemerintah dan aparat keamanan. Demikian pula sebaliknya. Berbicaralah apa adanya jangan ada kedengkian.
Keempat, singkirkan prasangka buruk.
Prasangka buruk sangat berpotensi mengandung dosa. Menurut Buya Hamka, perkara ini sangat penting dalam pergaulan hidup. Prasangka buruk yang diliarkan akan memperhebat perselisihan. Semestinya, semua pihak bisa sama-sama insaf, bertemu, berembuk dan bermufakat, baru kerukunan dan kedamaian akan tercipta.
Kelima, prasangka dan kehadiran juru kabar bermuka dua.
“Jahat sangka bertambah hebat kalau disertai juru kabar yang mempunyai dua muka,” demikian tegas Buya Hamka. Sebab itu, dilarang saling mengintip-intip, mencari-cari kabar, hendak campur dalam urusan orang lain, urusan perusahaan orang, urusan rumah tangga orang.
Secara eksplisit Buya Hamka menulis, “Untuk penjelasan, biasanya pemerintah, menanam beberapa orang yang pekerjaannya mencari kabar tentang gerak-gerik yang terjadi di dalam negeri, supaya pemerintah dapat mengatur jalan pemerintahan dengan sebaik-baiknya.
Pekerjaan ini boleh menjadi suatu pekerjaan yang mulia, kalau maksud hendak menolong pemerintah dan menegakkan ketentraman umum, tetapi bisa pula menjadi pekerjaan yang sangat hina, kalau orang itu tidak tahu maksud pemerintah. Sehingga kepercayaan pemerintah kepadanya supaya dia menolong menjaga keamanan, bertukar menjadi merusak keamanan. Disampaikannya kepada pemerintah laporan palsu, dibuatnya kabar bohong, sehingga kecemburuan pemerintah bertambah besar kepada rakyat, dan rakyat sendiri pun menjadi hilang pula kepercayaannya kepada pemerintah.”
Keenam, jangan suka membicarakan aib dan cela saudaramu di belakangnya.
“Inilah penyakit masyarakat yang paling hebat. Tidak terlepas daripadanya, baik ahli agama atau ahli politik, laki-laki atau perempuan. Sengaja menggali-gali kecelaan lawan, seakan-akan yang mencela itu malaikat dan yang dicelanya manusia yang tidak boleh salah,” tegas Buya Hamka.
Lebih jauh Buya Hamka menulis, “Di zaman modern ini surat-surat kabar dapat menjadi pendidik rakyat, tetapi dapat pula jadi alat penyesat rakyat karena dipenuhi dengan berita fitnah dan gosip.”
Demikianlah al-Qur’an memaparkan operasional dari adab dan kesantunan, yang sangat dibutuhkan negara ini untuk mewujudkan stabilitas nasional yang kokoh. “Memang susah! Tetapi menempuh kesusahan itulah yang harus kita coba, untuk kemuliaan jiwa kita sendiri,” pesan Hamka.
Hal paling penting untuk kita jaga bersama adalah keutuhan NKRI. Jangan sampai aksi terorisme oleh kelompok tidak bertanggung jawab justru mengadu domba bangsa sendiri, terlebih antara pemerintah dnegan rakyat yang semestinya dilindungi. Mari bersatu, kedepankan adab dan sopan santun, insya Allah stabilitas negara akan kokoh dan tak tertandingi. Wallahu a’lam.*
Pimred Majalah Mulia