Hidayatullah.com | Belakangan ini masyarakat Indonesia, secara khusus, sedang akrab dilanda dengan musibah dan bencana. Selain bencana alam, kita juga dihadapkan dengan bencana akidah.
Bencana moral berupa degradasi adab sudah menimpa anak-anak dan para pelajar. Dari berbagai media, dikabarkan tak sedikit di antara murid-murid usia Sekolah Dasar (SD) yang sudah terjebak dalam pergaulan layaknya kelakuan orang dewasa. Hal itu terjadi di komunitas keluarga, sekolah, hingga lingkungan tempat mereka sehari-hari bermain. Belum lagi pengaruh media sosial dan tayangan televisi yang kian memperburuk keadaan.
Perkara yang sama juga terjadi pada musibah kerusakan alam. Ragam bencana terus mengusik sebagian wilayah di Indonesia. Paparan asap, tanah yang kerontang, hingga keterpurukan ekonomi bangsa, adalah deretan bencana yang tak henti terus mendera. Di sana, terselip sejumput asa kiranya kondisi demikian di atas ditanggapi segera oleh pemerintah Indonesia sebagai bencana atau darurat nasional.
Allah berfirman dalam Al-Quran:
ظهر الفساد في البر والبحر بما كسبت أيدي الناس ليذيقهم بعض الذي عملوا لعلهم يرجعون
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Surah ar-Rum [30]: 41)
Makna Ayat
Dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Ibn Katsir mengungkap, berbagai bencana bukan semata sebagai kejadian alam yang terjadi begitu saja. Ia bukan pula sebuah peristiwa kebetulan yang dinamai fenomena alam biasa. Sebab semua itu memiliki kaitan yang saling mengikat.
Kebaikan dan ketaatan mendatangkan ketenangan serta keberkahan. Sedang keburukan dan kemaksiatan hanya berujung kepada kegelisahan dan kesengsaraan semata. Sesungguhnya kekurangan tanaman pangan dan buah-buahan itu disebabkan oleh aneka kemaksiatan. Demikian tegas Ibn Katsir.
Lebih jauh Ibn Katsir mengutip Abu al-‘Aliyah yang berkata, “Barangsiapa yang durhaka kepada Allah di muka bumi, berarti dia berbuat kerusakan di bumi. Hal itu karena kedamaian di bumi dan di langit adalah dengan ketaatan.” Dari Ibn Abbas, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لحد يقام في الأرض أحب إلى أهلها من أن يمطروا أربعين يوما
“Suatu hukuman yang ditegakkan di muka bumi adalah lebih disukai oleh penghuninya daripada diturunkan hujan selama empat puluh pagi.” (Riwayat Abu Daud, hadits marfu’ ini disahihkan oleh al-Albani).
Menurut Ibn Katsir, jika agama bisa ditegakkan di tengah masyarakat, niscaya kemaksiatan akan berkurang dengan sendirinya. Sebab manusia akan mendapat pencerahan tidak hanya dengan dakwah yang disampaikan secara kultural. Tapi juga dengan simbol dakwah secara struktural, yaitu penegakan hukum oleh pihak yang diberi amanah untuk melakukan hal tersebut. Sekiranya ajaran dan hukum agama terus dijalankan dengan baik, tentunya Allah SWT tak segan mengeluarkan berkah -sebagaimana janji-Nya- dari langit dan bumi sekaligus.
Abu Qatadah ibn Rib’i al-Anshari menceritakan, suatu ketika ada jenazah lewat di hadapan Rasulullah SAW. Nabi lalu bersabda, “Ada orang yang beristirahat dan ada yang orang lain beristirahat darinya.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Nabi, siapakah orang yang beristirahat dan siapa orang lain yang beristirahat darinya.” Nabi menjawab, “Orang Mukmin, ketika meninggal, ia akan istirahat dari penatnya kesengsaraan dunia. Jika orang jahat mati, membuat manusia, segenap penjuru negeri, pohon-pohon, dan seluruh binatang akan terbebas (beristirahat) dari kejahatannya.” (Riwayat Muslim).
Ketika Ilmu Tak Sejalan Perbuatan
Sebagai ajaran yang mengusung peradaban yang bersifat konstruktif (membangun), Islam senantiasa membekali ilmu yang mesti dipelajari dengan adab sebagai pengawal dari capaian ilmu pengetahuan tersebut. Semakin tinggi ilmu dan teknologi manusia seharusnya mengantar hamba tersebut kian menyungkur sujud mengakui kekuasaan Allah SWT. Ini berbeda dengan peradaban yang dibangun oleh Barat yang berpaham materialisme sekularistik. Keberuntungan hidup mereka hanya diukur dengan materi dan kebendaan semata. Tak peduli dengan adab dan akhlak terhadap manusia dan alam lingkungan, apalagi dengan urusan ibadah kepada Allah Sang Pencipta.
Buya Hamka mengingatkan, hendaknya manusia tidak terpesona dengan adanya bangunan-bangunan raksasa, jembatan-jembatan panjang, hingga gedung-gedung pencakar langit yang menjulang ke angkasa. Sebab hal tersebut bukanlah ukuran pembangunan atau kemajuan peradaban manusia.
Menurut Hamka, ukuran kemajuan masyarakat tetap diukur dengan kondisi jiwa manusia serta hubungannya dengan Allah SWT dan lingkungan sekitarnya. Sebab jiwa yang jauh dari Allah SWT hanya menyisakan kesengsaraan dan kegelisahan bagi diri dan orang lain. Perang selalu mengancam. Perikemanusiaan tinggal dalam sebutan lidah, namun niat jahat bertambah subur hendak menghancurkan orang lain. Demikian papar Hamka dalam karya monumentalnya, Tafsir al-Azhar.
Hal itu terjadi, masih menurut Hamka, karena hati manusia yang kadung rusak dan niat yang telanjur jahat. Akibatnya, kerusakan terjadi di mana-mana. Sebab hati adalah cermin atas akhlak dan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Ilmu yang mereka punya hanya sebatas pengetahuan yang dibanggakan di hadapan manusia. Mereka seolah lupa terhadap agama dan orang lain, hanya dipakai untuk mengeruk keuntungan pribadi saja.
Ahli Tafsir Musthafa al-Maraghi menguatkan, sebab-sebab kerusakan itu bermula dari rusaknya hati yang berbuah kepada keserakahan manusia. Akibatnya adalah kezaliman yang merajalela. Manusia tak lagi peduli dengan kehormatan agama, akal seolah tak berfungsi akibat dominasi nafsu yang menguasai. Hal itu diperparah dengan pudarnya cahaya adab dan akhlak. Ajakan kepada kebaikan hanya jadi mainan. Ia bahkan bisa ditawar sesuai dengan harga yang diinginkan.
Penutup
Dalam kamus orang beriman, pantang baginya berputus asa dan kehilangan semangat menjalani kehidupan. Kehidupan adalah rangkaian ujian yang harus dijalani dengan sepasang kepak sekaligus. Ia disabari dan juga disyukuri selalu. Satu kepak bernama sayap sabar dan satu lagi disebut kepak syukur.
Mufassir Abdurrahman Nashir as-Sa’di mengajak segenap kaum muslimin untuk bertahmid sebanyak-banyaknya kepada Allah SWT yang telah memberi nikmat dengan cobaanNya dan memberi karunia dengan hukumanNya. Sebab sekiranya Allah SWT berkenan, tentunya Dia tidak menyisakan satu binatang melata pun (manusia) di muka bumi. Satu persatu manusia akan punah akibat balasan perbuatan yang mereka lakukan selama ini.
Sebagai penutup, as-Sa’di menjelaskan, semua yang terjadi adalah ketetapan Allah SWT terhadap makhlukNya. Dengannya manusia mengetahui bahwa Allah SWT memberikan balasan atas setiap amal yang dikerjakan. Setidaknya manusia menyadari, ada balasan nyata yang disegerakan atas perbuatan mereka di dunia. Pun demikian berikutnya, ada ganjaran yang lebih dahsyat di hari Pembalasan kelak. Semoga setiap Muslim yang berakal segera menyadari kesalahannya dan bertaubat kepada Allah dari perbuatan maksiat. “… Dan Kami menguji mereka dengan aneka kebaikan dan keburukan agar mereka kembali.” (Surah al-A’raf [7]: 168).*/Masykur