Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Bambang Galih Setiawan
PADA jenjang pendidikan tertingginya, HAMKA menjelaskan, kaum pribumi yang telah dikondisikan dan menaruh kepercayaan kuat terhadap Barat. Dengan mudah mengikuti apa yang didiktekan kepada mereka, termasuk dalam materi agama mereka pribadi. Mereka menerima begitu saja, apa yang dinyatakan oleh para professor atau sarjana Barat tentang agama mereka. Mengatakan bahwa agama Islam kolot, fanatik, dan tidak menghargai modernitas.
Akhirnya mereka pun ikut-ikutan latah dalam mencibir orang-orang yang taat dalam agamanya sendiri sebagai “fanatik”, serta merasa risih mendengar permasalahan agama yang banyak dibicarakan dalam lingkungan Islamnya. Hal ini secara tidak sadar, telah merubah pemikiran dan sikap mereka menjadi sama dengan kaum kolonial dalam memandang agama mereka dan berbagai perihal.
Bahkan dengan bangga, kaum pribumi yang telah terdidik dalam sistem pendidikan kolonial ini, secara lebih bersemangat mencoba menjadi seperti Barat dan lebih dari Barat. Sehingga dikatakan HAMKA, mereka itu adalah orang Belanda yang lebih dari Belanda, orang Prancis yang lebih dari Prancis, dan orang Inggris yang lebih dari Inggris, namun mereka tetap tidak bisa menyembunyikan kulit hitam atau rasnya, yang merupakan keturunan asli dari kaum pribumi, yang merupakan kaum jajahannya.
Kaum pribumi yang tumbuh dalam sistem pendidikan umum kolonial ini, akhirnya mulai terpisah dengan pendidikan Islam dan masyarakatnya. Mereka tidak tahu lagi cara melakukan sholat, puasa, zakat dan rukun-rukun Islam lainnya. Hidup mereka lebih tertutup dan khusus untuk memenuhi kepentingan diri sendiri, sebab telah merasa jemu melihat lingkungan hidupnya yang taat beragama, yang dipandang sebagai orang-orang yang kolot dan tertinggal dari modernitas.
Mereka merasa jijik jika harus sholat jumat dan berdekatan dengan bang Ali tukang becak dan pak Amat tukang sate. Hanya saat upacara kematian saja mereka memanggil orang-orang “fanatik” yang tinggal disekeliling tempat tinggalnya, meminta tolong mengurus mayit itu. Supaya ditolong bagaimana cara memandikan, mengkafani, menyembahyangkan dan menguburkan. Karena mereka sudah tidak tahu lagi.
HAMKA kemudian melanjutkan. Meskipun kaum pribumi ini secara terang tidak memperlihatkan dan menunjukkan identitas agamanya. Namun jika ditanya tentang keyakinannya, terkadang mereka juga masih mengaku “orang Islam”. Sebab ayah bunda mereka adalah orang Islam, nama mereka pun adalah nama Islam. Mirisnya babi tetap di makan juga, minum tuak, khamar dan brendy sudah menjadi kebiasan yang tidak dapat dilepaskan. Apa yang dinamai oleh masyarakat Islam selama ini dengan “zina” dan sangat dibenci atau ditakuti, bagi mereka bukanlah soal. Itu adalah urusan “pribadi”. Apalah lagi kalau “suka sama suka”, siapa yang berhak menghalanginya? Terang HAMKA dengan panjang lebar. HAMKA juga menambahkan bagaimana tabiat atau kebiasaan mereka, serta alasan rapuh pandangannya:
Dengan tangkas dicela caci orang yang beristri lebih dari satu (poligami). Poligami adalah alamat kemunduran dan menyakiti hati kaum wanita. Karena memang banyak wanita yang sakit hatinya kalau suaminya beristri seorang lagi, tetapi tidak sakit hatinya kalau suaminya ngeluyur mencari kepuasan ke luar rumah! Dengan “poligami” yang tidak ada batasnya! (HAMKA, 1982: 9)
Sampai di Jawa Tengah, orang-orang tidak segan memakai istilah yang dibuat oleh penjajah, “mutihan” dan “ngaputih” yang digunakan untuk menunjuk kiai-kiai dan santri yang teguh mengerjakan perintah agama. “Ngabangan” ialah orang yang mengakui diri bahwa mereka masih Islam, tapi tidak mengerjakan perintah-perintah agama. Didikan“netral” khususnya dalam agama, menurut HAMKA kalau diperhatikan dengan seksama, hanya terhadap putera-putera orang Islam kaum pribumi saja. Orang Kristen dengan Misi dan Zendingnya bergiat terus mendirikan sekolah-sekolah berdasar agama dan mereka pun bekerjasama dengan pemerintah kolonial dalam misi melemahkan dan memisahkan pribumi dari agama Islam.
Dilema bagi orang yang terdidik dalam pendidikan Barat, yang bertentangan dengan akidah dan lingkungannya. Memaksa mereka untuk mencintai apa yang bukan miliknya, dan meninggalkan apa yang seharusnya menjadi ibunya. Jiwa dan kepribadiannya akhirnya terbelah, tidak mudah diterima oleh lingkungan diri dan lingkungan orang lain.
Pada lingkungannya ia merasa jauh dan terpisah oleh sebuah jurang antara dirinya dan kepada orang-orang yang teguh dalam beragama. Kepada lingkungan Barat ia belum tentu didengar dan diperhatikan oleh mereka, sebab ia bukanlah orang asli dari kalangan Barat sendiri.
HAMKA menarasikan, bagaimana ironi seorang Muslim yang meninggalkan agamanya dan bangga kepada pendidikan dan kehidupan Barat. Sedangkan orang Barat yang mendidiknya sendiri, belum tentu terlalu bangga dan meninggalkan agamanya:
“Sebab itu kalau kita berjumpa pergaulanyang rapat diantara orang Kristen terpelajar dengan keturunan Islam terpelajar, sama-sama minum tuak, sama-sama berdansa dan lain-lain; nanti kalau datang waktu makan, si terpelajar Kristen menyusun tangannya terlebih dahulu, sembahyang menurut agamanya sebelum sendok dan garpu tercecah ke pinggan makan. Sedang si Islam terpelajar tadi tidaklah tahu apa yang akan dibacanya. “Bismillah” saja, merekapun tidak tahu. Bahkan kalau didengarnya orang membaca “Bismillah”, diapun tertawa penuh ejekan. Dan hari Minggu si Kristen kawannya tadi pergi ke gereja. Sehingga kalau si terpelajar Islam tadi datang ke rumah kawannya itu hari minggu, tidaklah akan berjumpa, sebab dia ke gereja. Sedang si terpelajar orang Islam tadi, meskipun kantornya ditutup lekas pada hari Jum`at, tidaklah dia ke mesjid!” (HAMKA, 1982: 10).*
Penulis mahasantri Ma`had `Aly Imam al Ghazally, Karanganyar, Solo