Oleh: Henri Shalahuddin
Hidayatullah.com | Rencana Direktur Kurikulum Sarana Prasarana Kesiswaan dan Kelembagaan (KSKK) Madrasah Kementerian Agama (Kemenag) menghapus materi perang (jihad al-qital) dalam materi pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam untuk tujuan mendidik siswa menjadi lebih toleran kepada penganut agama lain cenderung salah sasaran.
Sebab kecenderungan sikap intoleran hingga tindakan bom bunuh diri 0061di gereja yang dilakukan oleh oknum Muslim tidak bisa dikaitkan karena pelakunya memahami ajaran Islam dengan baik, khususnya tentang peperangan yg terjadi dalam sejarah Islam.
Ini merupakan kebijakan menyimpang dan nyeleneh yang dihantui oleh pemikiran fobia Islam, meskipun pembuat kebijakan itu seorang Muslim.
Seakan-akan diyakini bahwa jika setiap murid memahami peperangan yang pernah dijalankan oleh Rasulullah ﷺ pasti akan anarkhis, intoleran dan bertindak brutal kepada penganut agama lain. Orang yang berpikir seperti ini dikuatirkan sedang mengalami gangguan delusi. Orang yang mengalami delusi seringkali meyakini hal-hal yang tidak nyata atau tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Baca: Bantah Hapus Materi Perang, Kemenag Akan Perkaya Fakta di Pelajaran Sejarah
Jihad fi sabilillah yang meliputi segala bentuk jihad termasuk perang, adalah puncak tertinggi dari ajaran Islam (dzirwatu sanamihi) sebagaimana disebutkan dalam hadits Mu’adz bin Jabal.
Perang adalah bagian dari keniscayaan yang selalu berulang di sepanjang sejarah, di setiap zaman dan tempat.
Oleh sebab itu Islam mengatur bagaimana berihsan dalam perang, sekiranya peperangan itu harus dilakukan. Paling tidak, sebelum melakukan jihad qital (perang), ada dua tahapan yang harus dilalui, yakni jihad tarbawi dan jihad tanzimi.
Jihad tarbawi adalah menyiapkan pengetahuan yang utuh tentang bab keluasan bab jihad, syarat dan rukunnya. Sementara jihad tanzimi adalah menanamkan bahwa perang itu bukan kegiatan liar dan harus diorganisir oleh pengambil keputusan badan eksekutif tertinggi (negara). Perang bukan kewajiban yang diputuskan oleh individu atau kelompok-kelompok masyarakat (milisi).
Seorang Muslim harus mengenal pondasi ajaran jihad, termasuk yg paling mendasar bahwa perang dalam Islam itu sifat dasarnya defensif, bi annahum zulimu (karena dizalimi dan dianiaya. QS. al-Hajj: 39).
Maka dalam kondisi perang, setiap Muslim diajarkan perbuatan apa saja yang harus dihindari ketika berperang. Misalnya larangan merusak tempat ibadah, merusak lingkungan, membunuhi binatang ternak, menebangi tanaman, membunuh musuh yang menyerah, menganiaya,dan segala bentuk yang tidak beradab lainnya.
Dikatakan sebagai puncak tertinggi ajaran Islam, karena beberapa sebab, di antaranya karena Islam menekankan moralitas tentara di saat-saat yang paling genting, dimana emosi dan hawa nafsu banyak berperan, yakni dalam kondisi membunuh atau dibunuh.
Ungkapan klasik dalam bahasa Latin, “Si vis pacem, para bellum (Jika kamu ingin damai, maka bersiaplah untuk berperang) ini seolah-olah menggambarkan bahwa peperangan adalah sebuah “keniscayaan” yang akan seralu berulang.
Namun demikian, perlu juga ditelaah ulang materi peperangan dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Sebab tidak sedikit terjadi penyimpangan dalam materi ajar tentang sejarah Islam yang hanya merujuk pada penulis orientalis yang tidak beriktikad baik terhadap penggambaran sejarah Islam. Sehingga mengesankan bahwa sejarah perkembangan Islam dipenuhi dengan perang dan aksi-aksi brutalisme.
Tetapi biar tujuan kebijakan Kemenag ini bisa mendapatkan hasil maksimal, akan lebih baik jika hal ini diusulkan kepada Amerika Serikat dan negara-negara yang mempunyai anggaran perang dan kegiatan militer yang tertinggi di dunia. Misalnya; Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, Arab Saudi, Prancis, dan Britania Raya.*
Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), alumni S3 Universitas Malaya, Malaysia