Akibat benturan pemikiran, anak-anak NU yang kuliah di universitas lebih akrab filsafat Hasan Hanafi atau Mohammad Arkoun, daripada filsafat Imam Al-Ghazali dan Ar-Razi yang jauh lebih canggih
Oleh: Dr. Kholili Hasib, M.Ud
Hidayatullah.com | PADA tahun 1983, setahun menjelang muktamar NU di Situbondo, Jurnal “Pesantren” menghebohkan kalangan kiai NU, pesantren dan kaum santri tradisional. Masdar F. Mas’udi, menyelenggarakan Forum Mubahatsah Kitab, mengangkat topic kontekstualisasi dan mengkritisi kitab kuning.
KH. Dr. As’ad Said Ali (ASA) merekam tabrakan gagasan “aneh” itu dalam bukunya “Pergolakan di Jantung Tradisi NU yang Saya Amati”. Menurut catatan ASA, gagasan itu bermula dari keinginan Gus Dur untuk mendiskusikan kitab kuning.
Pada tahun-tahun itu, sudah muncul “sayap” anak muda NU. Mereka kebanyakan alumni perguruan tinggi Islam di tanah air.
Sebagian juga alumni universitas luar negeri. Jumlahnya pada awal tahun 80-an belum banyak.
Lahirnya gagasan mengkontekstualisasi kitab kuning dari sayap anak muda NU waktu itu bukanlah berasal dari godokan dalam pondok pesantren. Bukan pula hasil forum Bahsul Masail yang rutin dilaksanakan dari cabang sampai pusat (Pengurus Besar).
Pemikiran baru itu hasil dari pengembaraan akademik anak-anak muda NU selepas dari pesantren. Mereka berinteraksi dengan kalangan intelektual perkotaan di perguruan tinggi, berkenalan dengan aktivis mahasiswa, bahkan aktif di LSM-LSM bidang sosial, politik dan budaya.
Mereka membaca pemikiran tokoh-tokoh modernis dan postmodernis. Gagasan-gagasan yang mereka dapatkan dari hasil pengembaraan intelektual itu kemudian mereka benturkan dengan pemikiran tradisional NU.
Menurut catatan ASA, panggung politik dan persaingan ideologis turut menyumbang pemikiran-pemikiran baru di dalam tubuh anak muda NU. “Sayap” anak muda NU menginginkan pertumbuhan pemikiran di lingkungan NU, tapi dengan cara menggungat fatwa-fatwa fiqih klasik.
Masdar F. Mas’udi berhasil membuka gerbong bagi anak-anak muda NU tahun 80-an. Pemikiran kritisisme Masdar seakan “menyihir” pikiran anak-anak muda NU. Gaya Masdar menyampaikan mengajak untuk memperbaharui tradisionalisme.
Kritik terhadap tradisionalisme justru “offside”. Membuka gerbong modernisme. Secara tidak sadar tergiring ke dalam arus modernisme yang bukan salafi-wahabi.
Tentu saja, kiai-kia sepuh tidak diam. KH. Radhi Soleh, Wakil Rais Am PBNU waktu itu, mengirim surat teguran yang mengancam forum Mubahatsah Kitab. Tidak lama kemudian Forum Mubahastsah Kitab dihentikan.
Karena forum dianggap tidak menghormati etika pesantren. Juga dianggap merusak tradisi-tradisi di pondok yang sudah berabad-abad mengakar.
Pasca Muktamar NU di Situbondo tahun 1984, gerakan anak muda itu tidak berhenti. Sebagian tokoh-tokoh mudanya bahkan menduduki jabatan-jabatan penting.
Mereka mendapatkan jabatan-jabatan strategis karena di samping rekomendasi salah satu kiai, atau perintah Gus Dur, juga memang mereka anak-anak pintar dalam berorganisasi.
Ada semacam dua sayap kiai muda. Pertama, kiai muda yang murni pesantren, dia tidak kuliah. Mereka ini memegang teguh tradisi pesantren dan fatwa-fatwa kiai NU dan tidak mengikuti arus perubahan pemikiran.
Kedua, kiai muda alumni pesantren dan alumni perguruan tinggi, baik dalam negeri maupun luar negeri. Tidak semua kiai muda yang murni pesantren, yang tidak kuliah, itu minim pengalaman berorganisasi. Banyak di antara mereka piawai berorganisasi tetapi sayap anak muda NU modernis cukup mendominasi.
Banyak sekali akhirnya isu-isu yang menjadi pro-kontra. Mulai Pancasila, SDSB, hukum bunga bank, dan pada tahun 90-an muncul tentang isu Syiah.
Namun forum Bahsul Masail Muktamar NU sampai tahun 90-an masih terjaga dari “gempuran” pemikiran-pemikiran baru yang aneh. Sampai tahun-tahun ini, forum Bahsul Masail masih menjadi rujukan-rujukan dan kalangan pesantren cukup kuat pengaruhnya dalam menjaga fatwa-fatwa ini.
Muktamar NU di Solo tahun 2004 barangkali menjadi ajang benturan yang cukup keras. Isu yang paling menarik adalah hukum Tafsir Hermeneutika. Akhirnya forum Bahsul Masail PBNU mengharamkan hermeneutika menjadi tafsir.
Benturan itu sangat teras sekali. Sebab, tokoh-tokoh muda NU tahun 80-an di tahun 2004 itu telah menjadi senior. Mereka menduduki jabatan-jabatan penting.
Tapi, pondok pesantren tampaknya tetap menjadi benteng yang kuat bagi warga NU. Tentu saja, jumlah kader-kader muda NU modernis itu kini jumlahnya makin banyak sekali.
Maka, benturan demi benturan dalam pemikiran kian terasa. Oleh sebab itu, peranan pesantren harus diperkuat lagi. Sebab di sinilah, satu-satunya benteng yang kokoh bagi NU.
Umumnya anak muda mungin menginginkan kemajuan. Sayangnya, mereka sering keliru dalam epistemologi. Oleh sebab itu, persoalan epistemologi ini sangat serius.
Padahal mestinya epistemologi yang bisa digunakan untuk kemajuan itu sudah ada dalam teks-teks klasik. Imam Haramain, Imam al-Ghazali, Al-Baghdadi, Fakhruddin Ar-Razi, dan lain-lain masih lebih banyak lagi.
Ada juga filosof lebih klasik; Ibn Sina, Ibnu Kullab, Imam al-Asy’ari, dll. Terlalu banyak untuk disebut satu-satu.
Anak-anak NU yang kuliah di universitas harusnya lebih akrab filsafat Imam Al-Ghazali dan Ar-Razi daripada filsafat Hasan Hanafi atau Mohammad Arkoun.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pemikiran Imam al-Ghazali dan Ar-Razi adalah pemikiran masa depan. Selalu relevan di zaman kapapnpun. Isu-isu sains, teknologi, ekonomi, sosial, metodologi ilmiah, politik, dan lain-lain sangat bisa ditimbang dengan canggih melalui pemikiran Imam al-Ghazali dan Ar-Razi.
Kedua epistemologi ulama ini bukan sekedar tinggi, tapi canggih. Jika terlalu klasik pemikiran dua ulama tersebut, maka pemikiran dasarnya digunakan untuk membaca pemikiran kontemporer.
Pembacaan pemikiran ulama Aswaja klasik ini bisa di-breakdown ke dalam konteks kontemporer. Jika kita baca pemikiran Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, maka pemikiran beliau ini-lah salah satu yang mem-breakdown pemikiran Imam al-Ghazali, dalam konteks kontemporer.
Dengan cara mem-breakdown ini, maka pemikiran klasik tetap terlihat canggih, tinggi, mewah dan keren, tanpa keluar dari tradisionalisme. Maka forum-forum ilmiah NU perlu diperkaya lagi, dari fiqih kemudian kalam, hingga metafisika.
Sehingga isu yang dijawab tidak hanya fiqih, tapi isu-isu akidah, filsafat, bahkan isu metafisika pun terjawab. Canggih dan mewah meski tetap menjaga tradisional-me.
Anak-anak muda NU tahun 80-an dan 90-an mungkin ingin canggih dan mewah. Tetapi mereka banyak yang salah “pergaulan intelektual”.
Maka, yang didapatkanya bukan tradisionalisme tapi justru menjadi modernisme. Maka, NU perlu berani menjamah pemikiran-pemikiran seperti Prof. Al-Attas, agar pemikiran anak-anak muda NU itu terakomodasi dan terkelola dengan baik.
Hal ini agar mereka tetap murni Aswaja dan tidak liberal. Mereka tetap tradisonal bukan postmodernis, ewah dan canggih meski tetap dengan tradisi sarungan.*
Penulis warga NU, dosen Fakultas Adab IAI Darullughah Wadda’wah Bangil