Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Ainul Yaqin
Sebagai contoh, produk turunan daging seperti produk bakso, sosis, nugget dan lain sebagainya, mungkin secara analisis laboratorium dapat ditentuan sumber dagingnya dari jenis hewan tertentu misalnya sapi atau ayam, namun apakan hewan tersebut telah disembelih secara syariat Islam atau tidak, tidak mungkin dianalisis menggunakan laboratorium.
Kesulitan lain yang dihadapi oleh LPPOM MUI dalam proses sertifikasi halal adalah memastikan konsistensi kehalalan suatu produk. Untuk menjaga dan memastikan agar produk yang telah memperoleh sertifikat halal dapat dipertanggungjawabkan kehalalannya secara konsisten merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah. Jangan sampai terjadi kasus suatu produk yang telah dinyatakan halal ternyata dalam perjalalannya diubah oleh produsen tanpa sepengetahuan dari LPPOM MUI sebagai lembaga pemeriksanya. Kondisi ini kemudian disikapi oleh LPPOM MUI dengan menerbitkan kebijakan Sistem Jaminan Halal, sehingga perusahaan yang bersertifikat halal wajib menerapkan sistem jaminan halal ini.
Sistem jaminan halal adalah sistim yang dibuat to maintain sustainability of halal production process in order to assure its halalness according to the rule of LPPOM –MUI (untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sehingga produk yang dihasilkan dapat dijamin kehalalannya sesuai dengan aturan yang digariskan oleh LPPOM MUI). [ Anonim. 2008. General Guidelines of Halal Assurance System. Jakarta: The Assessment Institute For Foods, Drugs, and Cormatics Indonesian Council of Ulama. Page 1]
Dengan adanya sistem ini setiap perubahan yang dilakukan oleh perusahaan berkaitan dengan produknya seperti perubahan bahan, perubahan suplier, perubahan komposisi dapat terkendali sehingga tidak menyebabkan status kehalalannya berubah.
Pemerintah kendatipun tidak secara khusus menetapkan kebijakan berkaitan dengan jaminan produk halal, bersamaan dengan berdirinya LPPOM MUI akhirnya juga mengeluarkan kebijakan yang searah dengan peran dan tugas yang dikerjakan oleh LPPOM MUI. Adanya proses sinkronisasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tidak lepas dari peran Majelis Ulama Indonesia. MUI yang secara konsisten menggulirkan pentingnya jaminan produk halal melalui sertifikasi halal. Hal ini bisa dicermati bahwa ketika terjadi isu halal haram yang mengancam stabilitas perekonomian, pemerintah tidak serta merta mengambil langkah cepat menyikapi hal ini, justru MUI yang kemudian mengambil inisiatif dan akhirnya melahirkan LPPOM MUI.
Sinkronisasi kebijakan yang dilakukan pemerintah diawali dari adanya penandatanganan piagam kerjasaman antara Departemen Kesehatan, Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 21 Juni 1996. Setelah penandatanganan piagam tersebut Departemen Kesehatan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 924/MENKES/SK/VIII/1996 yang disahkan tanggal 30 Agustus 1996 sebagai perubahan atas Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 82/MENKES/SK/I/1996.
Pada SK Menkes No. 82/MENKES/SK/I/1996, pemerintah telah mengatur label halal untuk produk yang akan dijual di toko-toko pengecer, namun ijin label diberikan atas dasar keterangan sefihak dari perusahaan terkait dengan ingredien bahan-bahan yang digunakan, sehingga kebijakan label halal seperti ini tidak bisa efektif memberikan jaminan halal pada masyarakat.
Ketentuan pada No. 82/MENKES/SK/I/1996 ini merupakan kelanjutan dari keputusan bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama RI No. 427/Men.Kes /SKB/VIII/1985 – No.68 Tahun 1985 Tentang Pencantuman Tulisan Halal Pada Label Makanan. Ketentuan inilah yang kemudian diubah dengan SK Menkes No. 924/MENKES/ SK/VIII/1996. Dalam SK Menkes No. 924/MENKES/SK/VIII/1996 ini secara lengkap dinyatakan bahwa persetujuan pencantuman tulisan “halal” diberikan oleh Dirjen POM berdasarkan fatwa dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia”.
SK Menkes No. 924/MENKES/SK/VIII/1996 ini merupakan peraturan pertama yang mengatur pencantuman label halal berdasarkan sertifikat halal dari MUI. Kebijakan ini berlanjut sampai dengan saat ini. Bersamaan dengan dihilangkannya Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) keberadaannya diganti dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden sesuai dengan Kepres Nomor 166 Tahun 2000, tugas Ditjen POM terkait dengan labelisasi halal secara otomatis digantikan oleh BPOM.
Jadi, sampai saat ini sertifikat halal yang mengeluarkan adalah MUI, sedangakan label halal yang memberi ijin adalah Badan POM milik pemerintah.*
Penulis Sekretaris Umum MUI Jawa Timur