Oleh: Evi Marlina
HASTAGH #SaveEgypt menggelombang, membanjiri dunia jejaring social. Salah satunya akun twitter. Sebuah pertanyaaan muncul pasca krisis Mesir. “Di mana hati nurani kita?” atas kasus pembantaian 200 jiwa syuhada Mesir yang tertuduh sebagai “teroris” oleh Jederal Abdul Fattah al-Sissi beserta militer pengkudeta presiden Mursy di malam ke 27 Ramadhan?
Di saat di seberang dunia yang berbeda milyaran umat Islam tengah merayakan sahur dengan menu istimewa atau di seberang dunia yang lain umat Islam tengah mengutuk hidangan berbuka puasa yang kurang garam atau kurang sedapnya lauk pauk. Mungkin kita menjadi bagian dari salah satu yang lalai untuk bersyukur atas menu sahur di malam pembantaian itu, na’udzubillah.
Adalah sebuah pernyataan tegas dan lantang dari Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan yang disampaikan saat iftar bersama serikat pengusaha Turki di Istanbul 28 Juli lalu. “Dunia Muslim, saudara-saudara Anda di bantai. Kapan Anda peduli?”
Pertanyaan Erdogan ini menjadi daftar menu deret kewajiban kita untuk wajib peduli. Cukuplah ini menjadi tamparan tajam untuk kesekian kalinya yang harus mampu membuat hati kita lebih peka. Dunia Muslim memanggil hati kita.
Mari sejenak kembali belajar dari muslim Palestina. Negeri al-Quds yang mahasiswanya menyebar dan menggurita. Mereka belajar dengan penuh kesungguhan meski terbata-bata. Sungguh, saya menyaksikan bagaimana salah seorang teman kelas bahasa Turki saya yang meninggalkan keluarga dan negerinya di tengah berkecamuknya perang Palestina dan memutuskan belajar di Turki.
Saya tahu betapa ia mengalami kesulitan dalam belajar bahasa. “Wa’allahi hocam”(Demi Allah hocam) Saya sudah belajar menulis 20 Essay menjelang ujian untuk mempersiapkan ujian essay bahasa Turki.”
Betapa kesungguhannya memutus “kesulitan belajar bahasa” yang ia sampaikan saat entah yang kebarapa kalinya Hoca [guru] bahasa Turki mengatakan bahwa ia bermasalah dalam mata pelajaran menulis essay bahasa Turki.
Mari bercermin dari semangat ruh belasan teman Palestina yang menggelar presentasi di depan mata teman-teman internasionalnya. Ia bersuara lantang di tengah kampus negera Kemalis, menyampaikan apa yang tengah terjadi di negerinya. Menyerukan kebenaran. Membuka dan memanggil kembali jiwa-jiwa yang lalai akan “definisi perduli.”
“Kami hanya memiliki batu dan jiwa yang berserah diri pada setiap sujud-sujud di penghujung malam-malam kami,” ungkap mereka pada akhir penutupan presentasi sembari menyebarkan majalah dan selebaran masjid al-Quds. Dunia muslim memanggil hati kita!
Jika kita salah satu yang melupakan secara sadar akan kasus pembantaian saudara seiman oleh aksi genosida terhadap Muslim Rohingya di Myanmar pada tahun 2012. Baru saja beberapa bulan berlalu. Maka Ramadhan ini adalah Ramadhan yang sesak bagi hati sejatinya, jika kita secara sadar menjadi penonton yang melihat tanpa suara dan tidak berdenyut nyeri hati sekali pun.
Berapakah korban kasus pembantaian saudara Muslim Rohingya? Adakah kita rasakan hati kita bergetar nyeri menyaksikan kabar berdarah pembantaian jiwa saudara muslim? Dunia Muslai memanggil kita!
Kitalah saudara seiman mereka. Masihkah kita menyimpan perih atas perang berdarah di Suriah? Hingga detik ini, jika kita lupa, mari sejenak membuka tirai berdarah merahnya di Ramadhan ke 21 ini.
2.014 jiwa yang meninggal dalam perang Suriah sejak di mulainya Ramadhan pada 10 Juli bulan ini. 105 di antaranya anak-anak dan 99 wanita. Masih adakah gelombang perih di hati kita dengan terbunuhnya jiwa-jiwa akibat perang yang saat detik ini pun masih berlangsung di Suriah?
Suriah tidak meminta kita berpura-pura seolah mendengar desing pesawat dan hujan tembakan pelurunya. Cukuplah sebuah tanya masih adakah ruang kepekaan di hati kita? Karena saudara terdekatnya adalah kita, seorang Muslim. Tidak ada yang lain.
Mari belajar dari seorang ibu yang usianya sekitar 43 tahun di suatu sore di Turki. Ketika itu, saya baru saja merampungkan shalat Maghrib di Masjid Sultan Mahmet atau dikenal Blue Mosque, Istanbul.
Di sana duduk dua adik tingkat saya dan seorang ibu berpakaian dan berjilbab hitam. Khas pakaian Arab, Ditemani beberapa tangkai butir anggur dan biscuit. Tidak ada percakapan yang panjang di antara mereka, setelah akhirnya saya ketahui bahwa ibu itu berbahasa Arab.
“Saya seorang Suriah. Ramadhan ini hijrah ke Turki karena perang masih berkecamuk di Suriah. Kedua orangtua saya meninggal karena pembunuhan perang, demikian pula dengan suami saya,” lalu diam cukup lama.
“Insya Allah mereka syahid di Jalan-Nya,” lanjutnya.
“Saya memiliki empat orang anak, 2 laki-laki dan 2 perempuan,” lalu ia diam lagi.
Cukup lama saya dan kedua adik tingkat saya menjadi pendengar. Malu rasanya hanya menjadi pendengar.
“Ambillah ini untuk kalian,” tangannya menyodorkan dua bungkus tisu basah. Saya tahu tisu itu adalah yang biasa di jual ibu-ibu lanjut usia Turki.
“Apakah ibu menjual tisu ini untuk kamim,” tanya saya ketika ia memaksa saya menerima tisu itu. Saya berfikir sang ibu sangat membutuhkan uang.
“Tidak nak, ambillah tisu ini. Kalian seperti anak-anak saya. Ambillah tisu ini,” katanya sekali lagi sembari memelukku.
Hati saya makin berdenyut ketika ia mengajak berbuka bersama. “Makanlah nak, silahkan berbuka. Saya sudah makan,” jawabnya sekali lagi.
Kami memutuskan pamit sebelum akhirnya ia memberikan belasan permen manis untuk bekal kami di jalan ketika saya menjelaskan bahwa malam itu saya akan pulang ke Ankara.
“Ambillah ini untuk bekal di jalan,” katanya. Saya tidak tahan berdiri di depan ibu itu. Hati dan mata saya terus berdenyut.
Mari kita cermati. Ibu ini adalah korban perang Suriah yang kehilangan anak, suami dan keluarganya. Ia tidak hanya kehilangan rumah dan tanah airnya, tapi semua jiwa-jiwa terdekatnya. Jiwa macam apakah yang masih mampu memberi, peduli dan berbagi dengan tulus dan tanpa pamrih?
Sudah tidak ada lagi yang ia miliki selain kesetiaan pada keyakinan akan pertolongan Allah Subhanahu Wata’ala yang jauh lebih dekat dengan urat nadinya.
Ternyata memberi dan peduli bukan perkara sederhana. Banyak negara memiliki alat-alat pertahanan canggih; tank, senjata-senjata modern yang siap menyalak melawan musuh sewaktu-waktu. Tapi mereka tak mampu dan tak memiliki kepedulian terhadap sesama, sekali pun yang berteriak merintih adalah jiwa seiman yang dibantai pada malam suci Ramadhan.
Belajar dari ibu asal Suriah yang hingga kini belum sempat aku tanyakan namanya itu, sesunggunya “peduli” itu sesuatu yang mahal harganya.
Kenyataannya, meski banyak di antara kita sudah pernah berhutang budi (termasuk Negeri kita Indonesia yang banyak berhutang budi pada Negara-negara Timur Tengah selama masa-masa kemerdekaan) belum juga cukup menjadi gelombang penggerak “hati dan fikiran” untuk memberi dan menjadi peduli terhada sesama saudara kita sendiri.*/Ankara, 21 Ramadhan 1434 H
Penulis adalah Master Student Education Psychology Ankara Universitesi, Turkey