Menjadi partai Islam sejatinya bukan sekedar memiliki basis massa muslim untuk meraih suara, namun juga harus berkomitmen tegaknya Islam sebagai konsekuensi keimanan
Oleh: Ali Mustofa Akbar
Hidayatullah.com | MENJELANG pesta politik lima tahunan tampaknya parpol Islam masih menjadi makmum. Terdapat sebuah ungkapan yang cukup populer di kalangan aktivis Islam terkait konstelasi politik di negeri ini: “Umat cuma diajak mendorong mobil mogok, setelah mobilnya jalan kemudian ditinggalkan”.
Ungkapan cukup relevan, karena aspirasi politik utama umat Islam justru makin tenggelam, yakni upaya penerapan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Sebagaimana hal itu pula yang menjadi agenda 2024 para tokoh dan ulama Islam founder bangsa apabila kita menilik sejarah.
Partai Islam dipancing untuk tetap bermain di luar ring. Nyaris tak terlihat lagi nuansa ideologi Islam dalam aktivitas politiknya.
Walhasil hal ini membuat masyarakat makin sulit membedakan antara parpol Islam dengan parpol nasionalis dikarenakan miripnya aktivitas maupun tujuan politik parpol.
Kenapa hal ini terjadi? Setidaknya jika kita cermati lebih mendalam tersirat ada beberapa faktor penyebab makin tenggelamnya aspirasi politik umat. Di antaranya:
Pertama, lemahnya ketokohan.
Jika kemarin cukup menawan nama-nama seperti Dr Amin Rais, Dr Hidayat Nur Wahid, Tifatul Sembiring hingga Prof Dr Yusril Ihza Mahendra. Kini belum muncul lagi pengganti yang elektabilitasnya melampaui atau minimal menyamai mereka yang bisa membuat daya tawar ataupun elektabilitas politisi Islam kian melemah.
Kedua, koalisi zig-zag.
Sulitnya menyatukan parpol Islam untuk duduk bersama menjadi alasan utama terjadinya koalisi zig-zag. Yakni koalisi parpol Islam dengan parpol nasionalis.
Meski sudah ada beberapa upaya seperti wacana poros tengah namun tidak menemukan titik terang. Kepentingan masing-masing parpol tampak menjadi batu ganjalan besar untuk mereka bersama.
Sebagaimana disampaikan Mardani Ali Sera (PKS): “Pertama, peluang koalisi di 2024 terbuka karena semua partai ingin menang. Kedua, PKS akan membangun koalisi dengan partai Islam dan juga partai nasionalis”. (Skornews, 21/04/21)
Padahal ini masalah nyata, sebab konsekuensi dalam berkoalisi adalah mengakomodir semua keinginan-keinginan politik dari seluruh parpol. Tentu saja, parpol nasionalis tidak ada agenda politik formalisasi sistem Islam.
Ketiga, belum memiliki kesadaran politik Islam yang sepenuhnya serta ikatan antara anggotanya masih bias. Tampak dari penjaringan caleg yang asal punya potensi meraup suara, mengambil dari calon non muslim, hingga meminang publik figur seperti artis.
Kesadaran politik Islam yang belum jernih, hanya seruan pinggiran. Sebagaimana yang pernah disampaikan Zulkifli Hasan (PAN), “Bahwa gagasan PAN tentang Islam menurutnya adalah Islam substansial, Islam tengah (“wasathiyah”), ajaran Islam yang diterjemahkan ke dalam berbagai dimensi kehidupan.” (Antaranews.com, 24/04/21)
Empat, tidak memiliki basis massa pemilih loyal sebagian besar merupakan massa politik mengambang.
Selama ini partai Islam tidak mengikat pemilih atau pendukung dengan ikatan berdasar ideologi. Hal ini menyebabkan para pemilih mudah sekali untuk menjadi pemilih kutu loncat.
Senjata-senjata peraup suara yang sering digunakan seperti memberi imbalan kemanfaatan sementara, itupun juga dilakukan oleh partai nasionalis. Ketika Parpol Islam menjauhi sikap politik Islam. Hal ini mengakibatkan ikatan umat dan parpol tidaklah kuat.
Lima, hambatan dari eksternal.
Ada pihak-pihak yang tersirat tidak suka menguatnya ideologi Islam pada parpol Islam. Semisal pesan-pesan politik bahwa dikatakan syariah Islam tidak laku lagi, stigma politik identitas dst.
Belum lagi ditambah akselerasi parpol nasionalis untuk merebut kantong-kantong suara dari para pemilih parpol Islam mengakomodir mereka dengan mengangkat beberapa tokoh elemen Islam di jajaran kepengurusan partai. Semua itu dapat mengakibatkan sulitnya parpol Islam meroket.
Membenahi Parpol Islam
Andrew Knapp, menyebutkan bahwa fungsi partai politik antara lain: mobilisasi dan integrasi, sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih, sarana rekruitmen, dan Sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan, (Assidiqui, Pengantar Ilmu Hukum Tatat Negara, Jilid II).
Ketika fungsi partai politik tidak berjalan maksimal, maka implikasinya adalah menurunnya elektabilitas parpol.
Menjadi partai Islam sejatinya bukan sekedar memiliki basis massa muslim, atau sekedar mengatasnamakan partai Islam dalam perijinan pembentukan partai, namun landasan dan sikap politik partai tersebut juga harus mengambil jalan politik Islam.
Beberapa ulama menyebutkan bahwa hakikat berdirinya partai Islam ialah dilandasi dengan perintah Allah Swt:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan (Al-khair), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS: Ali Imran : 104).
Solusi pertama: Giat melakuka opini maupun edukasi politik Islam. Opini yang lebih berbobot lagi yakni timbulnya kesadaran politik Islam di tengah umat.
Partai Islam harus menyeru kepada Al-Khair sebagaimana dalam ayat Al-Quran diatas. Membina seluruh lapisan umat, baik itu sipil, tokoh, hingga militer agar rindu tegaknya sistem Islam sebagai konsekuensi keimanan.
Imam Ibnu katsir menafsirkan kata Al-Khair pada ayat tersebut ialah mengikuti (ittiba’) Al-Quran dan As-Sunnah. Dari kedua wahyu itu, Islam telah memberikan peraturan hidup sempurna yang terpancar dari akidah Islam. Baik menyangkut pribadi, masyarakat, maupun negara. Itulah ideologi Islam.
Selain berupa kewajiban, menyerukan Ideologi Islam secara massif juga dapat menciptakan kesadaran politik di tengah-tengah umat. Sehingga terbentuk basis massa pemilih loyal.
Partai dan masyarakat akan diikat oleh pemikiran dan perasaan yang sama untuk berjuang menerapkan ideologi Islam sebagai tuntutan keimanan dan kemaslahatan.
Kedua: Benar-benar menjadi representasi umat. Partai Islam harus selalu membela hak-hak umat, hadir ditengah-tengah umat untuk memberikan solusi-solusi permasalahan umat.
Dengan begitu, masyarakat tidak mudah lagi diiming-imingi untuk menjadi pemilih kutu loncat melaui berbagai modusnya jika itu bertentangan dengan Ideologi partai yaitu ideologi Islam.
Ketiga: Meningkatkan fungsi koreksi atau muhasabah lil hukam. Partai Islam harus lebih masif lagi melakukan aktivitas menyuruh yang maruf dan mencegah yang munkar.
Selain wajib, hal ini juga dapat membantu bargaining partai ditengah-tengah umat guna meraih simpati umat. Parpol Islam harus lebih berani menolak segala kebijakan yang bertentangan dengan Islam dan cenderung merugikan rakyat.
Keempat: Fungsi rekrutmen harus optimal karena ini sebuah keniscayaan bagi sebuah parpol untuk meningkatkan kinerja mesin politik. Jika pembinaan berjalan bagus, mereka akan berlomba untuk memaksimalkan potensinya untuk menegakkan agama-Nya.
Kelima: Partai Islam harus lebih Ikhlas. Sejatinya berjamaah alias perpartai politik bukanlah sebatas sebagai ladang pekerjaan mencari nafkah di dalamnya serta untuk mementingkan kepentingan duniawi semata. Tapi sebagai kendaraan untuk mencari ridho-Nya. Serta keniscayaan dalam iqomatud dien dengan berjamaah.
Sikap ikhlas akan mendorong partai agar lebih berani menampakkan ideologi Islam, mudah untuk menerima kebenaran yang datang, dan akan takut bila menganggap idealisme berdampak partai menjadi tidak laku.
Sikap Ikhlas partai menjadikan partai tidak kuatir lagi atas kemungkinan potensi berkurangnya jatah kursi. Jika ini dilakukan maka parpol akan sulit untuk tidak ikhlas.
Melalui perencanaan (strategis, tehnis, operasional), konsolidasi solid, dan gerak terencana yang ditopang jumlah kader yang signifikan, InsyaAllah partai Islam bisa semakin berkembang.
Masyarakat pun niscaya berbondong-bondong mendukung partai Islam untuk menegakkan ideologi Islam. Namun tidak mesti dukungan itu harus berbentuk dukungan dalam hajatan Pemilu sebagaimana anggapan banyak kalangan.
Jika partai Islam sudah bekerja cerdas, bekerja keras, dan bekerja Ikhlas. Maka akhirnya semua bergantung pada-Nya. Dan Allah menolong hamba-Nya selama hamba menolong agama-Nya. Fastabiqul khairat. Wallahu A’lam.*
Direktur Mabda Politik Indonesia (MPI)