Pemikiran yang menyimpang dari agama dan berlebih-lebihan bernama ghuluw, bukan radikalisme, yang banyak digunakan orang saat ini. Itulah pandangan Ahlus Sunnah
Oleh: Kholili Hasib
Hidayatullah.com | SALAH satu ciri pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) adalah tidak berlebih-lebihan. Imam al-Ghazali mengenalkan pemikiran demikian dengan iqtishad. Dikenal juga oleh sebagian sarjana dengan istilah wasatiyah.
Sementara pemikiran yang berlebih-lebihan disebut ghuluw. Pemikiran yang ghuluw tidak sama dengan istilah yang popular sekarang disebut radikalisme.
Istilah radikalisme awalnya digunakan tidak untuk menisbatkan kepada pemikiran agama. Tetapi istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi pergerakan yang mendukung reformasi parlemen oleh Charles James Fox pada tahun 1797. Istilah ini berhubungan dengan gerakan liberalisasi politik, yang lahir dari pemikiran liberalisasi agama di beberapa Negara Eropa pada abad ke-18, khususnya di Inggris.
Gerakan ini awalnya menyatakan dirinya sebagai partai kiri jauh yang menentang partai kanan jauh. Kesimpulannya, radikalisme itu lahir dari gerakan liberalisasi pemikiran. Bukan dari pergerakan keagamaan. Justru lahir dari gerakan minus agama.
Baca: Uang, Pemicu Liberalisme di Indonesia
Pemikiran berlebih-lebihan dalam agama, tepatnya disebut ghuluw. Bukan radikal. Istilah ghuluw dapat dilacak dari al-Qur’an, hadis, dan karya-karya ulama dahulu.
Sebelum Nabi Muhammad ﷺ, umat-umat Nabi Nuh, Nabi Musa dan Isa dikecam al-Qur’an karena telah melebih-lebihkan aturan yang telah diberikan. Allah berfirman:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ۖ ذَٰلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ ۖ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۚ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
“Orang-orang Yahudi berkata: Uzair itu putera Allah dan orang-orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?.” [QS: At-Taubah/9: 30 – 31].
Seorang yang awam memiliki kewajiban mengikuti para ulama imam madzhab dalam beragama. Kedudukan awam berbeda dengan kedudukan Imam Syafi’i.
Jika awam menafsir sendiri secara bebas teks wahyu, ia sama saja menyamakan kedudukannya dengan Imam Syafi’i, maka ia bersikap ghuluw. Karena kapasitas keilmuannya berbeda.
Dalam berdakwah, Nabi ﷺ memberi rambu-rambu: “Khaatibunnasa ‘ala qadri ‘uqulihim” (Bicaralah kepada manusia sesuai kemampuan akalnya).
Baca: Dr. Nirwan: Semua Gerakan Liberal di Indonesia Impor dari Luar
Manusia memiliki kedudukan berbeda-beda. Satu manusia dengan manusia yang lain mungkin tidak sama kemampuan akalnya. Maka, bahasa tidak bisa disamakan untuk disampaikan kepada semua jenis manusia.
Dalam ilmu pun ada kadar dan kedudukannya. Ilmu fardhu ‘ain keduduknnya lebih tinggi daripada ilmu fardhu kifayah. Tetapi, tidak membuang ilmu fardhu kifayah.
Imam al-Ghazali berkata: “Ketahuilah sesungguhnya dalam masalah ini ilmu dibagi tiga macam. Pertama, tercela. Baik banyak kadar nya atau sedikit kadarnya. Kedua, terpuji. Baik kadarnya banyak atau sedikit. Semakin banyak kadarnya, maka semakin baik dan semakin utama. Ketiga, terpuji jika kadarnya cukup dana tercela jika melebihi batas cukup (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin,jilid I, hlm. 51). Melebihi kadar namanya ghuluw.
Dalam agama ada perkara ushul (pokok) ada perkara furu’ (cabang). Perkara ushul jelas harus ditempatkan pada posisi paling utama, paling penting dan nomor satu. Maka, berlarut-larut dalam isu furu’ tidak baik. Tidak iqtishad. Tapi ghuluw.
Inilah keseimbangan, tidak membuang semua, atau salah satu. Tapi menggabungkan dengan cara meletakkan unsur-unsurnya pada posisinya yang wajar dan benar.
Imam al Ghazali menulis kitab Al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Jika diterjemahkan “Kesederhanaan dalam berkeyakinan”. Iqtishad di situ sesungguhnya wasatiyah. Dasar (al-ashl) yang digunakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab tersebut adalah keseimbangan antara akal dan naql, yang merupakan rumusan akidah Imam Asy’ari.
Dalam muqadimah kitab dijelaskan prinsip pemikiran iqtishadi itu. Bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) menggabungkan antara tuntutan syariat dan keniscayaan-keniscayaan akal.
Ahlus Sunnah tidak meninggalkan syariat karena memenuhi keniscayaan akal. Juga tidak menolak keniscayaan akal semata untuk memenuhi dalil teks syara’.
Maka — dalam kitab itu — Imam al-Ghazali menolak kelompok Hasywiyah dan Falasifah serta Mu’tazilah yang ghuluw. Keduanya menampilkan pemikiran yang tidak seimbang, yaitu ghuluw.
Hasyawiyyah merupakan kelompok ghuluw dalam memperlakukan nash (teks wahyu), sehingga sampai mengakui hukum-hukum akal. Sedangkan golongan Falasifah dan ghuluw Mu`tazilah sebagai merupakan kelompok yang ghuluw dalam menggunakan akal, sehingga sampai melawan dalil-dalil qath’i syariat (Imam al-Ghazali, Muqaddimah Iqtishad fi al-I’tiqad,hlm. 11).
Merujuk pada itu, Ahlus Sunnah itu bukan literalis dan bukan pula liberalis. Bukan kelompok yang terlalu berpaku pada dzahir nash, juga bukan golongan yang membuang nash wahyu.
Kedua-duanya (literalis dan liberalis) adalah kelompok ghuluw. Tidak adil mendudukan antara wahyu dan akal. Sedangkangkan dalam pandangan Ahlus Sunnah, wahyu ada kedudukannya, dan akal juga memiliki kedudukan. Ahlus Sunnah “menengahi” dua pemikiran ghuluw tersebut.
Menyeimbangkan antara wahyu dan akal, dengan mendudukkan wahyu sebagai terdepannya. Kaidahnya adalah “taqdiimul naqal ‘ala al-’aqal” (medahulukan teks wahyu daripada akal).
Bila sesuatu tidak berada (tidak ditempatkan) pada tempatnya yang benar maka terjadi ketidakadilan. Artinya tidak iqtishadi, dan tidak wasatiyah, dan terjadi bentuk ghuluw.
Dalam ilmu falsafah Imam al-Ghazali dinilai adil. Beliay tidak menolak mutlak ilmu Yunani. Tetapi diterima dengan saringan. Perkara yang menyebabkan kekufuran dan bid’ah beliau haramkan. Sedangkan yang tidak bertentangan dengan syara’ diperbolehkan, bahkan jika di perlukan menjadi utama.
Oleh sebab itu, pemikiran yang menyimpang dari agama itu bernama ghuluw, bukan radikalisme, yang banyak digunakan sekarang. Penyimpangan bisa berupa membuang teks utama agama. Bisa pula terlalu bertumpu pada teks, mengurangi peranan akal. Keduanya adalah al-ghuluw fi ad-din.*
Penulis adalah dosen IAI Dalwa Bangil