Urgensi pengetahuan tentang Maqasid Syariah dalam Kitab Muwafaqat adalah untuk memahami maksud kandungan di balik perintah pada teks Al-Quran dan sunnah, sehingga dapat mengambil hukum dengan tepat
Hidayatullah.com | SALAH satu bagian dari khazanah yang dimiliki umat Islam adalah dengan terciptanya ratusan buku dari para ulama-ulama terdahulu. Kemudian dari ciptaan inilah kita bisa memahami pola pikir sekaligus ilmu yang ingin disampaikan oleh sang empunya.
Salah satu dari karya besar ulama pada abad ke 7 adalah kitab Muwafaqat yang merupakan salah satu magnum opus dari Imam Syatibi ( w. 790 H) yang berdiam di daerah Granada, Andalusia. Imam Syatibi lahir pada abad yang didalamnya terdapat kemajuan dalam segi ilmu pengetahuan.
Kitab Muwafaqat sendiri ditulis pada setengah abad sebelum runtuhnya Granada sebagai kota terakhir Muslimin di Andalusia. Tujuan dari ditulisnya kitab ini adalah untuk mengajak kembali umat Muslim dalam memahami kembali hakikat dari Maqasid Syariah, sehingga apa-apa yang diperintahkan Allah tidak hanya dijalankan sebagai suatu kewajiban yang tidak bisa dielakkan, tetapi dengan memahaminya maka pada saat pengaplikasianya bisa diterima dengan sepenuhnya.
Lahirnya kitab ini juga didasari atas kegelisahan Imam Syatibi dengan keadaan saat itu yang mana terjadi banyak penyimpangan dalam hal beribadah, melencengnya tasawuf yang ada, juga dengan ketegangan dalam bermadzhab.
Kitab yang kembali diangkat oleh Muhammad Abduh sepulangnya dari Tunisia pada tahun 1884 M ini mengkaji lebih dalam tentang Maqasid Syariah. Juga menjadi buku pegangan wajib dibebearpa Universitas di Belanda, Kanada dan Amerika bagi mahasiswa yang mengambil jusuran Islamic Studies.
Dari Usul Fiqh ke Maqasid Syariah
Pembahasan usul fiqh yang telah berkembang beberapa masa itu secara langsung membawa kemajuan khususnya dalam pemahaman sekaligus pengambilan hukum dari kandungan nash yang ada. Kemudian Imam Syatibi kembali menyempurnkanya dengan menggunakan metode observasi-induktif yang secara langsung mengkaji bebarapa dalil ¬juz`i-partikular untuk dapat sampai pada hukum kulli-universal, juga dengan mengkaji secara detail tentang Maqasid Syariah yang sangat urgen untuk dipahami oleh umat Muslim khususnya yang berkenaan dengan pemahaman maksud dibalik turunnya semua perintah Allah.
Tetapi, Imam Syatibi bukanlah orang pertama yang membahas tentang keberadaan Maqasid Syariah, karena pada awal abad ketiga Tirmidzi Hakim telah menyinggung tentang ta`lil dari hukum syariat dengan mencari maksud dan rahasia di baliknya.
Kemudian dilanjutkan dengan Abu Mansur al-Maturidi (w.333 H); Abu Bakar al-Qifal al-Syasi (w. 365 H); Abu Bakar al-Abhari (w. 375 H); al-Baqilani (w. 403 H); dilanjutkan dengan datangnya Imam Haramain (w. 478 H) dalam kitab Al-Burhan. Kitab ini menyinggung tentang penetapan prinsip-prinsip hukum, yang dibagi kedalam darûriyyat (kebutuhan sangat mendesak), hajiyyat (kebutuhan standar), dan tahsiniyyat (kebutuhan penyempurna), yang menjadi pondasi utama dalam pembahasan Al-Maqasid.
Juga disinggung di dalamnya tentang Kuliyyah al-Khams (menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta), dilanjutkan dengan Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) dalam kitab Mustasfa. Selanjutnya ada Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) dalam kitab Mahsul; Saifuddin al-Amidi (w. 631 H); Ibn Hajib (w. 646 H); Baidhowi (w. 680 H); Asnawi (w. 772 H); Ibn al-Subki (w. 771 H) yang menambah satu darûriyyat tambahan yaitu Hifdu Al-`Ird (kemuliaan) tetapi gagasannya ditolak oleh Ahmad Raisuni, karena batasan dari hifdu al-`ird tidak terlalu jelas; Azzauddin ibn Abdu As-Salam (w.660 H) dengan bukunya Qawaidu Al Ahkam fi masalih Al-An`am; Ibn Taimiyah (w. 728 H); Abu Abdullah Al-Muqri (w. 758 H) dalam bukunya Al-Qawaid ikut mengembangkan metode Maqasid Syariah.
Karena ide-ide awal tentang Maqasid telah bergulir dari pemikiran para mutakalimmin, maka pada fase berikutnya munculah Imam Syatibi (w 790 H) datang untuk menyempurnakannya. Intensitas pergumulan Syathibi dalam bidang maqâshid menempatkan Imam Syatibi sebagai pioner Maqasid.
Pemaparan Maqasid Syariah dalam kitab Muwafaqat
Pada kitab Muwafaqat jilid dua Imam Syatibi membuat satu bahasan yang diberi tema dengan Kitab al-Maqasid. Dijelaskan bahwa urgensi pengetahuan tentang Maqasid Syariah adalah untuk memahami maksud kandungan di balik perintah yang terdapat pada teks Al-Qur`an dan sunnah, sehingga dari sini akan didapatkan pengambilan hukum yang tepat.
Imam Syatibi mengemukakan bahwa maksud dari penerapan syariat adalah untuk mencapai kemaslahatan dan menjaganya serta menghindarkan dari kemudharatannnya. Dalam bukunya Syatibi membagi Maqasid Syariah menjadi dua bagian.
- Ketetapan-ketetapan Tuhan yang kembali pada maksud Tuhan (qashd al-syâri’), yakni ketetapan syariat yang dimaksudkan untuk mendapatkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
- Ketetapan Tuhan yang kembali pada maksud manusia (qashd al-mukallaf).
Bagian pertama dari dua ini dibagi kembali menjadi empat bagian, yaitu : Maksud Tuhan di balik ketetapan-ketetapan-Nya; Maksud Tuhan menurunkan ketetapan-ketetapan-Nya untuk dapat dipahami; Maksud Tuhan menurunkan ketetapan-ketetapan-Nya untuk dijalankan menurut kemampuan manusia; Maksud Tuhan menurunkan ketetapan-ketetapan-Nya dan kaitan manusia dalam menjalankannya.
Kemudian dijelaskan bahwa maksud Tuhan dari dibalik ketetapan-ketetapannya adalah untuk mencapai kemaslahatan, jadi Syari’ah dibuat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Ini dibagi pada tiga point utama, yaitu :
Pertama, daruriyyat, atau kebutuhan elementer yang merupakan perkara-perkara yang sangat dibutuhkan demi berlangsungnya urusan agama dan keduniaan manusia secara baik. Pengabaian terhadap prinsip tersebut akan berakibat pada kekacauan dan kerusakan di dunia siksaan di akhirat.
Daruriyyat ini mencakup lima prinsip: menjaga agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Ini semua diwujudkan dalam dua hal, yaitu dengan menjaga kelangsungannya, dan dilain pihak harus dijaga dari segala yang mengancam keberadaannya.
Sebagai contoh demi mempertahankan agama terdapat kewajiban-kewajiban untuk melangsungkan ibadah, seperti sholat, puasa, zakat, sedangkan untuk menjaganya maka disyariatkan untuk dakwah dan berjihad melawan musuh.
Kedua, hajiyyat, atau kebutuhan komplementer yang merupakan aspek-aspek hukum yang dibutuhkan guna meringankan beban, sehingga hukum dilaksanakan tanpa rasa tertekan. Karena dengan tidak adanya hajiyyat, akan terjadi kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan manusia. Contoh dari kebutuhan ini ialah segala macam dispensasi (rukhsah) dalam Islam.
Ketiga, tahsiniyyat, atau kebutuhan suplementer yang merujuk pada aspek-aspek hukum seperti bersedekah, menutup aurat, memerdekakan budak dan sebagainya. Hal-hal tersebut bukan kebutuhan mendesak. Sehingga, jika tidak dilaksanakan tidaklah merugikan daruriyyat atau tabsiniyyat, namun bila dilakukan akan berarti memberikan nilai plus bagi karakter syari’ah secara umum.
Akhirnya, syari’ah dibuat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, (al-syarî’at wudi’at li-mashâlih al-‘ibâd), dan kitab Muwafaqat merupakan salah satu dari sekian buku yang membahas tentang Maqasid Syariah disamping beberapa buku lainnya baik buku-buku klasik maupun kontemporer. Mengkaji apa yang tertulis dalam lembaran-lembaran kertas hasil karya ulama merupakan kegiatan menarik yang menambah suplemen keilmuan kita.*/ ppmimesir (2015)