Membiarkan oposisi Suriah seperti Hay’at Tahrir Syam (HTS) berkuasa di Suriah berpotensi menciptakan ancaman baru Iran, Amerika Serikat dan Zionis ‘Israel’ di masa depan
Oleh: Reza Ageung
Hidayatullah.com | REVOLUSI besar telah mengguncang Timur Tengah. Rezim Bashar al-Assad yang bertahan lebih dari satu dekade kini tumbang setelah serangan besar-besaran dari Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), kelompok oposisi yang kini menguasai sebagian besar Suriah.
Kejadian ini tidak hanya mengubah peta geopolitik kawasan, tetapi juga menciptakan dilema besar bagi Amerika Serikat (AS) dan ‘Israel’.
Revolusi ini tidak lepas dari situasi geopolitik mutakhir yang telah menciptakan celah besar bagi oposisi untuk bergerak. Di satu sisi, kekuatan Iran dan Hezbollah yang selama ini memberikan support penuh kepada Assad mengalami tekanan hebat akibat serangan bertubi-tubi dari ‘Israel’.
Iran yang menghadapi tantangan ekonomi dan Hezbollah yang tertekan di front Lebanon semakin melemahkan kemampuan mereka menopang Assad.
Di sisi lain, Rusia, sekutu utama Assad, sibuk mengalihkan sumber daya militernya ke Ukraina, meninggalkan celah strategis di Suriah. Hal ini memberi HTS ruang untuk melakukan ofensif besar-besaran.
Negara-negara di kawasan juga memainkan peran penting. Turki, Arab Saudi, dan negara-negara asing lainnya dikabarkan tengah membicarakan kemungkinan pembagian wilayah Suriah.
Namun, niat Turki untuk normalisasi dengan Assad menjadi pertimbangan serius bagi oposisi. Oposisi harus mencipakan tindakan yang akhirnya akan mengundang dukungan Erdogan pada mereka, alih-alih CLBK dengan Assad.
Semua faktor geopolitis di atas menciptakan momentum yang tepat bagi kelompok-kelompok oposisi yang dipimpin HTS untuk bergerak cepat menyerang rezim Assad. Bagi mereka, momentum ini mungkin tidak akan berulang, sehingga harus dimanfaatkan saat ini juga, atau mereka akan kehilangan momentum selamanya. Now or never!
Dilema AS dan ‘Israel’ di Suriah
Kemenangan gerakan oposisi yang dipimpin oleh HTS telah menempatkan AS dan ‘Israel’dalam posisi sulit. Di satu sisi, mempertahankan Assad berarti mempertahankan jalur dukungan ke Hizbollah dan Iran, yang terus menjadi ancaman bagi keamanan ‘Israel’.
Namun, membiarkan oposisi Islam seperti HTS berkuasa di Suriah berpotensi menciptakan ancaman baru di masa depan.
Meski demikian, AS dan ‘Israel’ tampaknya memilih opsi kedua. Dalam jangka pendek, tumbangnya Assad akan mengurangi ancaman langsung dari Iran dan Hizbollah.
Keputusan ini sejalan dengan perubahan taktik HTS yang semakin menjauh dari ideologi ‘ekstremis’ seperti ISIS dan Al-Qaeda, serta mulai merangkul kelompok-kelompok nasionalis.
Nampaknya bagi AS dan ‘Israel’, membiarkan kemenangan HTS merupakan akhafu dharurain (keburukan yang paling ringan di antara dua pilihan keburukan).
Hal ini juga sekaligus menunjukkan fakta bahwa di tengah deklanasi AS yang kian malas mengurusi politik LN dan fokus ke urusan domestik dan babak belurnya ‘Israel’akibat perang di Gaza yang tidak kunjung usai, mereka tidak punya pilihan lain selain berhadapan dengan bangkitnya elemen-elemen umat Islam ke tampuk kepemimpinan rakyat.
Sikap ini tercermin dari reaksi media AS dan ‘Israel’ yang menyambut kemenangan HTS dengan nada optimis. Namun, ini bukan tanpa risiko. Oposisi yang dipimpin kelompok Islam tetap membawa potensi untuk memukul AS dan ‘Israel’ di kemudian hari.
Adapun bagi HTS, tumbangnya Assad adalah hasil dari kalkulasi geopolitik yang matang. Kelompok ini untuk sementara waktu menghindari konfrontasi langsung dengan AS dan ‘Israel’, fokus pada penghapusan pengaruh Rusia, Iran, dan Assad. Ini juga akhafu dharurain. Namun, apakah HTS akan tetap pada posisi ini atau nantinya akan mengarahkan pandangan ke Palestina juga, masih menjadi pertanyaan besar.
Harapan pada Islam
Dukungan rakyat Suriah yang besar terhadap HTS mencerminkan kerinduan terhadap nilai-nilai Islam dalam tata kelola negara. Euforia di jalan-jalan Suriah menunjukkan bahwa rakyat menolak kezaliman dan mencari alternatif dari kepemimpinan sekuler.
Karena itu, kemenangan ini adalah awal yang berisiko tinggi. Kalau boleh menyampaikan aspirasi, HTS sebaiknya konsisten pada nilai-nilai Islam dan tidak menghapus atau menolak visi untuk Islam dan membebaskan Al-Aqsha.
Karena jika tidak, mereka akan kehilangan dukungan rakyat yang akan semakin cerdas secara ideologis sebagai buah dari dakwah Islam yang akan terus digemakan.
Harapan di masa depan
Bagi AS dan ‘Israel’, kemenangan HTS mungkin tampak sebagai kelegaan sementara. Namun, kedua penjahat perang tersebut sebaiknya waspada, karena semangat rakyat Suriah untuk kebangkitan Islam bisa menjadi ancaman di masa depan bagi AS dan ‘Israel’.
Seiring waktu, gelombang perubahan ini dapat terus meluas, dan bukan mustahil rakyat Suriah dalam waktu yang tidak lama akan menuntut rezimnya untuk membebaskan Palestina.
Semoga Allah senantiasa memberikan keberkahan untuk rakyat Suriah dan para pejuangnya.*
Penulis minat dalam perkembangan Timur Tengah