Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Pak Jusuf Kalla (JK) memang tiada mati-matinya. Ia tetap hidup meski tidak lagi ada dalam pemerintahan. Panggung untuk JK terlalu luas, bahkan ia bisa membuat panggungnya sendiri bermain monoplay sesukanya.
JK selalu muncul pada saat yang tepat. Seolah ia punya penciuman melebihi diatas rata-rata. Tentu bukan penciuman dalam makna leksikal. JK tahu kapan mesti berbicara, itu saat “penciumannya” mengendus sesuatu lalu memaksanya berbicara.
Tidak banyak yang mampu tampil sepertinya. Menjadi Wakil Presiden 2 kali dan dengan Presiden berbeda. Periode pertama pada Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY): Kabinet Indonesia Maju (2004-2009), lalu menjadi Wakil Presiden pada periode pertama Kabinet Presiden Jokowi: Kabinet Kerja (2014-2019).
Ia sepertinya pembuka jalan, baik bagi Presiden SBY maupun Presiden Jokowi. JK menjadi pendulang suara, setidaknya suara Indonesia bagian Timur, khususnya Sulawesi.
Bisa dikatakan, JK menjadi salah satu faktor kemenangan, baik SBY maupun Jokowi menjadi presiden. Jika saja Prabowo mau menggandengnya, bisa jadi nasib menjadi presiden bisa kesampaian.
Baca: Jokowi Minta Dikritik, Amnesty: Bebaskan Dulu Aktivis yang Dipidana Karena Sampaikan Kritik
JK itu boleh disebut sebagai “kepala suku” dari Timur, menjadi representasi pemimpin dari Indonesia belahan Timur. Meski tak bermahkota, JK tetap bertaji.
Meski usia tidak mudah lagi, JK masih tetap gesit, bahkan pikiran-pikirannya tetap segar dan solutif. JK bisa bicara apa saja, dan yang disampaikan itu semuanya daging.
JK juga dikenal sebagai perunding damai yang piawai, saat konflik berlangsung. Konflik Poso dan Ambon, dan bahkan perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), itu semua hasil lobi yang digagasnya. Tidak berlebihan, jika gelaran tokoh pemersatu bangsa, pantas disematkan padanya.
JK memegang dua jabatan di luar pemerintahan, yaitu sebagai Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI), dan Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI). Ditangannya dua organisasi itu menjadi bergengsi dan kuat.
JK itu bahkan bisa berselancar di dua Ormas besar Islam, NU dan Muhammadiyah, dengan sama baiknya. Itu karena JK memposisikan diri ada di dua-duanya secara seimbang. Secara ubudiyah JK memang lebih pada nahdliyin, tapi tidak pada siyasah politiknya.
Kegelisahan JK
Dalam sebuah acara Mimbar Demokrasi Kebangsaan, yang digagas PKS (12/2/2021), tiba-tiba JK melempar message, akan perasaan gundahnya. Apa yang disampaikan, itu sebenarnya perasaan yang sama dirasakan publik.
Itulah kelebihan JK, bisa mengendus sesuatu lalu menyampaikan mewakili perasaan yang lebih luas, dan mencoba mencarikan solusinya. Begini pernyataannya:
“Beberpa hari lalu Bapak Presiden (Jokowi) mengemukakan, silakan kritik pemerintah. Tentu banyak yang ingin melihatnya, bagaimana cara mengkritik pemerintah tanpa di panggil polisi?”
Apa yang disampaikan JK itu seolah sekenanya, tapi itu pernyataan nada bertanya yang mengulik, yang membuka secara terang-terangan, bahwa ada yang tidak beres dalam demokrasi kita.
Tentu JK amat faham, bagaimana laporan pada polisi dari para buzzer itu, berbuntut pemanggilan dan mentersangkakan pihak yang kritis pada pemerintah. Tapi tidak pada yang sebaliknya.
Soal ini JK punya pengalaman, bagaimana ia diolok-olok dengan fitnah, lalu anak perempuannya, Muswira JK, membuat laporan pada Bareskrim Polri, tapi tidak ada tindak lanjut atas laporannya, (2/12/2020).
Laporan atas unggahan tulisan Ferdinand Hutahaean dan Rudi S. Kamri, di media sosial, yang dengan nada mengolok, menghina dan fitnah. Begini bunyi unggahannya:
“Hebat juga si Caplin, bawa duit sekoper ke Arab, bayar ini itu beres semua. Agenda politik 2022 menuju 2024 sdh dipanasi lebih awal.
Tampaknya Presiden akan sangat disibukkan oleh kegaduhan rekayasa caplin demi anak emasnya si asu pemilik bus edan.”
Chaplin diidentikkan dengan JK, meski kumis keduanya tidak sama persis. Itu saat JK melakukan umroh, ia bawa duit untuk suap pejabat di Saudi Arabia untuk bebaskan Habib Rizieq Shihab (HRS) agar bisa balik ke Indonesia.
Sedang “si asu pemilik bus edan”, itu nyasar pada Anies Baswedan, yang memang “dekat” dengan JK. Seolah HRS disiapkan untuk membantu Anies pada 2022, dan bahkan 2024.
Tapi ya itu tadi, keduanya sampai sekarang aman-aman saja. Tidak diproses. Pribadi sekelas JK, dua kali menjadi Wakil Presiden dan pribadi dengan seabrek prestasi, itu pun tidak “dilihat”, artinya laporan penghinaan atasnya diabaikan. Dikalahkan dua influencer yang “seolah” bekerja untuk Presiden Jokowi.
Baca: Mengolok Buzzer, Tertampar Ganjar, Anies Pun Seolah Diperhadapkan
Pada kasus-kasus lainnya yang melibatkan influencer/buzzer, jika dilaporkan pada pihak kepolisian, maka itu cuma sekadar laporan tanpa proses lanjutan. Bagaimana Permadi Arya alias Abu Janda, dilaporkan berulang-ulang, terakhir ujaran rasisme dan penghinaan pada agama; Islam agama arogan. Tapi sampai sekarang masih aman.
Tapi itu tidak berlaku pada pribadi-pribadi yang kritis pada pemerintah. Begitu mengkritik, dan kritikan itu ada delik yang meski masih debatable , dilaporkan buzzer, maka langsung diproses dan jadi tersangka, penjara jadi rumahnya.
Bandul keadilan tampak condong ke satu arah, tentu Pak JK melihat itu semua. Bahkan mengalaminya sendiri. Dan lalu muncul pernyataannya yang menggelegar itu, “… bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi?”
Pernyataan JK itu sebenarnya biasa-biasa saja bahkan tidak bermakna, jika keadilan dan demokrasi berjalan sebagaimana mestinya, atau dalam kondisi normal.
Tapi pernyataan JK itu menjadi berkelas, karena pernyataan itu disampaikan tepat waktu, dan mewakili apa yang dirasakan publik. Lewat mulutnya, pertanyaan yang sekaligus protesnya, itu benar-benar mengulik kesadaran, bahwa demokrasi sedang menukik tajam ke bawah, dan ini soal serius, bahkan sudah ambang kritis… Wallahu a’lam. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya