Oleh: Arya Sandhiyudha
DI tiap Hari Pahlawan, kita selalu ingat dengan Bung Tomo dengan takbir dan pekik “merdeka”-nya yang selalu beriringan. Islam dan Indonesia memang selalu memiliki relasinya dalam perjuangan dan pembangunan kebangsaan. Perlu selalu menjadi refleksi, di tiap Hari Pahlawan, jangan sampai relasi Islam dan negara mengalami “krisis” atau bahkan ada pada di titik nadir.
Relasi Islam dan negara, dalam perjalanan berbangsa-bernegara pernah mengalami beberapa pola dinamika. Beberapa yang pernah mengurainya dalam kategori ialah: Abdul Aziz Thaba (1999), Rusli Karim (2005), dan Din Syamsudin (2001).
Meski kategorisasi fase terbatas Orde Baru, saya akan mengelaborasinya agar dapat kita ambil pelajaran sebagai bahan bercermin, berdiskusi dan merefleksi situasi sekarang. Saya merasa beberapa ciri dalam fase-fase tersebut berulang.
Fase pertama, dapat dikatakan sebagai fase “masa kelam” relasi Islam dan negara yakni sekitar 1960an hingga 1980an. Oleh karena pada tahun 1966 hingga 1972, terjadi beberapa ciri negara yang disebut Abdul Aziz Thaba berposisi “antagonistik” terhadap Islam, beberapa diantaranya:
(1) Tidak diizinkannya pendirian Partai Demokrasi Islam;
(2) Gagalnya rehabilitasi Masyumi dan gagal berdirinya Parmusi (Partai Muslimin Indonesia);
(3) Kehebohan RUU Perkawinan 1973;
(4) Aktivitas perjudian yang marak, diantara 1960-1670-an.
Menghadapi pendekatan antagonistik negara pada saat itu, Rusli Karim menyebut, pada periode tersebut internal umat Islam dihadapkan pada tantangan membangun “eksistensi diri”, dicirikan dari:
(1) Umat Muslim saat itu berupaya menemukan respon terbaik dalam menyambut hadirnya rezim baru yakni Orde Baru;
(2) Mayoritas politisi Islam waktu itu merupakan aktivis Masyumi atau mantan Masyumi, tengah mencari eksistensi representasi umat Muslim setelah Masyumi digembosi dan Parmusi gagal didirikan;
(3) Tumbuh generasi aktivis Muslim di kalangan pemuda, pelajar dan mahasiswa dalam situasi yang demikian.
Fase kedua, relasi “setengah hati” relasi Islam dan negara. Itu terjadi sekitar 1985 hingga 1990. {ada fase ini, Thaba menyebutnya dengan istilah relasi ”kritis-resiprokal (timbal-balik)”, karena tahun 1982-1985 negara melakukan uji coba penerapan doktrin “Pancasila” yang berbasis pendekatan rezim-represif.
Dalam memahami situasi pada saat itu, Karim menyebut periode 1973-1985 memiliki beberapa ciri penting:
(1) Lembaga formal bagi aspirasi politik umat Muslim dipagari, yaitu hanyalah PPP.
(2) Wadah “persatuan basa-basi” yang disediakan untuk aspirasi politik umat Muslim ini gagal mempertahankan kohesivitas internalnya karena tersulut sektarianisme internal Muslim anggota-anggotanya.
(3) Umat Muslim pada saat itu dipaksa menerima “Pancasila” dengan pendekatan represif, diantaranya dalam bentuk pemaksaan asas tunggal untuk semua ormas dan parpol.
(4) Perpecahan di dalam tubuh umat Muslim mencapai klimaks karena perdebatan “Pancasila” dalam pola represif tersebut. Disamping juga ada gerakan yang dibuat untuk menciptakan disintegrasi di tubuh umat Muslim.
(5) Muslim juga mudah diprovokasi untuk melawan pemerintah dan menyalahkan satu sama lain.
Apa yang Thaba dan Karim lihat sebagai dua periode terpisah, Bagi Din Syamsudin keduanya punya kesamaan ciri, yakni suasana kompetisi, dimana Orde Baru “mengalahkan” gelombang aspirasi politik umat Muslim dengan melakukan depolitisasi Islam.
Fase ketiga, relasi Islam dan negara memasuki “bulan madu”. Ini terjadi di era 1990an-1998. Thaba melihat fase ini dicirikan dari rezim negara yang lebih “akomodatif terhadap aspirasi politik umat Muslim, sementara umat Muslim mulai melihat kebijakan pemerintah tidak lagi menerapkan “sekularisme” (asertif/agresif). Karim melihat di era 1986-1990 memasuki tahap “rekonsiliasi dan transisi” yang lebih menyejukkan dalam relasi Islam dan negara. Thaba juga melihat setelah 1990 hingga menjelang reformasi, terdapat upaya “akomodasi” yang sangat baik dari negara terhadap aspirasi politik umat Muslim.
Empat ciri utama yang mereka uraikan adalah:
(1) Kesadaran tumbuh bahwa ada pendekatan yang kurang tepat, yakni dalam interpretasi represif terkait doktrin “Pancasila” sehingga muncul dorongan transisi melakukan reinterpretasi.
(2) Kesadaran untuk mengakhiri marginalisasi terhadap aspirasi politik umat Muslim yang berlangsung sejak 1970an.
(3) Terdapat akomodasi kalangan intelektual Islam dan pemerintah tidak lagi mengeluarkan pernyataan dan kebijakan yang menyinggung rasa keadilan atau menyulut konflik.
(4) Pembangunan yang selaras dengan aspirasi politik umat Muslim juga spektakular.
Dari uraian ini, kita pernah mengalami “masa kelam” dalam relasi Islam dan negara, masa pelibatan negara yang “setengah hati” terhadap Islam, kemudian masa “bulan madu” dalam relasi Islam dan negara. Uraian ini dapat menjadi refleksi untuk situasi sekarang. Temasuk refleksi terhadap Aksi damai menuntut keadilan terhadap “penistaan agama” pada 411 kemarin yang menurut Pak Amien Rais 3 kali lebih besar dari aksi reformasi, sekitar 2 juta lebih masyarakat turut berjalan. Apakah ini akan menjadi tanda “titik nadir” relasi Islam dan negara dalam sejarah Indonesia? Atau dengan cepat direspon –belajar dari sejarah- agar kita segera melakukan “rekonsiliasi” kemudian negara memilih pendekatan “akomodasi” terhadap aspirasi politik umat Muslim.
Sebagaimana Aksi Damai Bela Quran atau Aksi Damai 411 kemarin yang sangat bottom-up,dimulai dari bawah, tepat rasanya bagi saya mengakhiri tulisan ini, agar obrolan mengenai ”fase manakah yang akan berulang dalam situasi ke depan?” diantara kawan-kawan bisa dimulai. Selamat berdiskusi, saling menyadarkan, saling menyabarkan.
Selamat Hari Pahlawan. Allahu Akbar! Merdeka!*
Penulis Direktur Eksekutif Madani Center for Development and International Studies (MaCDIS)