Idealisme menjaga ruh perjuangan tetap teguh, pragmatisme menghalalkan segala cara dan bisa membuka pintu penyimpangan
Oleh: Ali Mustofa Akbar
Hidayatullah.com | DALAM perjalanan hidup manusia, realitas kerap kali tampil dengan wajah yang beragam, kadang menggoda, kadang menyesakkan, dan tak jarang membingungkan. Ada saatnya juga dalam perjalanan sejarah, realitas itu sesuai dengan nilai-nilai Islam, ada kalanya sebaliknya.
Namun, bagi seorang Muslim, tentu realitas bukanlah kompas penentu arah. Ia bukan pula cermin kebenaran yang wajib dituruti.
Dalam pandangan Islam, realitas adalah lanskap kehidupan yang mesti ditatap dengan jernih, dianalisis dengan akal sehat, dan yang terpenting, ditimbang dengan syariah.
Sebab, realitas sejatinya adalah objek pemikiran fakta yang hadir dalam kehidupan, yang harus direspons dan ditakar dengan neraca syariat.
Bila realitas tersebut sejalan dengan Islam, maka ia mestinya dipelihara dan diperkuat. Namun, jika ia berseberangan dengan nilai-nilai Islam, maka umat Islam dipanggil untuk melakukan perubahan.
Bukan Islam yang harus tunduk pada realitas, tetapi realitaslah yang harus dibentuk sesuai dengan prinsip Islam.
Dalam sejarah, yang dinamakan perubahan adalah apabila terjadi pergantian antara realitas yang satu dengan realitas yang lain.
Kita tahu, syariat adalah sumber hukum tertinggi yang menilai seluruh kondisi, bukan sekadar alternatif dalam keragaman sistem hidup.
Islam tidak mengizinkan ajarannya dikooptasi oleh tren zaman atau dibatasi oleh perubahan sosial. Justru Islam hadir untuk menjadi penuntun dalam menghadapi perubahan, bukan korban dari perubahan itu sendiri.
Jika realita zaman sedang gelap, maka Islam hadir merubah untuk meneranginya.
Namun dalam dunia modern yang sarat relativisme dan gemerlap kebebasan berpikir, tidak sedikit yang tergelincir pada pemahaman yang relativisme.
Dimana menjadikan fakta yang terjadi secara masif sebagai legitimasi kewajaran. Jika fenomena yang berulang dan diterima secara luas maka bisa dianggap otomatis layak dibenarkan, diakomodasi, bahkan diformalisasi dalam hukum dan kebijakan.
Padahal, Islam mengajarkan bahwa kebenaran tidak ditentukan oleh realitas, melainkan oleh keteguhannya pada wahyu.
Syahdan, realitas bukanlah sesuatu yang harus dijadikan dalih untuk membenarkan penyimpangan. Sebaliknya, ia adalah ladang ujian yang mesti ditaklukkan dengan iman, pemikiran mendalam, dan perjuangan yang istiqamah.
Ketika realitas bertentangan dengan ajaran Islam, maka tugas umat bukan menyesuaikan diri dengan realitas, melainkan mengubahnya. Islam tidak mengajak umatnya lari dari kenyataan, tetapi menghadapinya untuk mengubah kenyataan menuju kondisi yang diridhai Allah.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat dalam menghadapi realitas jahiliyah di masa itu.
Pun, jika ada sebagian masyarakat mengangkat suara menyerukan perubahan sistem, itu bukanlah bentuk pelarian dari realita, tetapi refleksi dari kesadaran mendalam akan kerusakan yang sistematis.
Mereka menyadari bahwa problematika umat bukanlah semata-mata bersumber dari perilaku individu, melainkan dari sistem kehidupan yang mengatur mereka. Ketika sistem yang berlaku memberi ruang bagi kemaksiatan, maka sejatinya ia turut memperparah keburukan itu.
Islam menjawab persoalan ini bukan hanya dengan hukum haram semata, tetapi dengan sistem menyeluruh yang menutup semua celah keburukan, dari hulu hingga hilir, dari individu hingga negara.
Ketegasan ini bukan karena Islam keras, melainkan karena Islam menyayangi umat manusia dan ingin menyelamatkan mereka dari kehancuran yang sistematis.
Demikian pula dengan realitas konsep sekularisme yang sekarang berlaku, yakni sistem yang memisahkan agama dari kehidupan publik.
Dalam pandangan syariat, ide ini tidak bisa dibenarkan karena secara fundamental bertentangan dengan Islam yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
Sekularisme membatasi peran wahyu hanya pada ruang pribadi, sementara Islam justru diutus untuk menerangi seluruh penjuru kehidupan: dari mulai bangun tidur, membangun rumah tangga hingga membangun negara.
Dalam “Maqashid Asy-Syari‘ah Al-Islamiyah”nya Syaikh Ibnu Atsur digarisbawahi pentingnya pemahaman yang jernih terhadap realitas sebelum melakukan perubahan.
Tanpa pemahaman yang dalam dan menyeluruh terhadap kondisi yang ingin diubah, perubahan itu akan kehilangan arah dan substansi.
Syaikh Muhammad Thahir Ibnu ‘Ashur menjelaskan bahwa syariat memiliki dua pendekatan dalam menyikapi realitas. Pertama, maqam “taghyirul ahwal al-fasidah” yakni upaya mengubah kondisi-kondisi yang rusak dan menyatakan kebatilannya. Allah berfirman dalam:
اَللّٰهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.” (QS. Al-Baqarah: 257).
Dan firman Allah Ta’ala:
وَيُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ بِاِ ذْنِهٖ وَيَهْدِيْهِمْ اِلٰى صِرَا طٍ مُّسْتَقِيْمٍ
“Dia (Allah) mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya dengan izin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Ma’idah: 16).
Kedua, maqam “itsbatul ahwal as-shalihah”, yaitu menetapkan dan mengukuhkan kebaikan-kebaikan yang telah diikuti manusia. Inilah yang disebut dengan “al-ma’ruf”.
اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُ مِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰٮةِ وَا لْاِ نْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِا لْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰٮهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰٓئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَا لْاَ غْلٰلَ الَّتِيْ كَا نَتْ عَلَيْهِمْ ۗ فَا لَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَ اتَّبَـعُوا النُّوْرَ الَّذِيْۤ اُنْزِلَ مَعَهٗۤ ۙ اُولٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang beruntung.” (QS. Al-A’raf 7: 157).
Bahaya Pragmatisme
Di sinilah peran penting idealisme dalam perjuangan. Idealisme bukan mimpi kosong atau gagasan utopis yang terlepas dari kenyataan.
Ia adalah prinsip kokoh yang menjadi kompas penuntun, agar langkah perjuangan tetap lurus, tidak menyimpang, dan tidak tergoda oleh rayuan dunia.
Idealisme menjaga ruh perjuangan tetap teguh meski diterpa badai. Inilah teladan yang dicontohkan para pendahulu kita yang konsisten memegang kebenaran meski realitas tidak mendukung.
Sebaliknya, pragmatisme seringkali hadir sebagai jebakan yang tampak cerdas. Ia menawarkan jalan pintas, kompromi strategis, dan retorika maslahat, namun di balik itu semua, ia menyimpan potensi pembelokan dari nilai-nilai luhur.
Ketika tujuan yang benar dicapai dengan cara yang menyimpang, maka yang tercoreng bukan hanya metode, tapi juga nilai perjuangan itu sendiri.
Syaikh Muhammad Ismail, menyebutkan dalam kitabnya “Al-Fikru Al-Islami, ide relativisme dalam perjuangan ini baru muncul di abad 19 yang kemudian menjadi makanan empuk para penjajah untuk semakin menjajah umat Islam.
Karenanya, pragmatisme yang menghalalkan segala cara bisa menggerogoti idealisme dan membuka pintu penyimpangan. Karenanya, prinsip dan keteguhan pada nilai-nilai Islam harus menjadi pondasi utama perjuangan.
Akhirnya, idealisme Islam adalah cahaya yang menuntun di tengah gelapnya zaman. Ia menguatkan hati para pejuang, menjaga keikhlasan, dan memastikan bahwa langkah mereka selalu berada di jalan yang benar.
Dengan visi yang jernih, prinsip yang kuat, dan keberanian menyuarakan kebenaran, umat ini akan mampu mengubah realitas menuju kemuliaan. Wallahu A‘lam bish-Shawab.*
Penulis adalah guru agama