Oleh: AM Waskito
SALAH satu Pekerjaan Rumah (PR) besar yang menjadi sumber pertikaian aktivis-aktivis Islam di zaman kita ini ialah mendudukkan posisi demokrasi dalam peta perjuangan. Apakah Umat ini membutuhkan demokrasi, atau harus membuangnya sama sekali? Ada pro dan kontra; ada yang berpendapat lunak, moderat, sampai sangat keras.
Risalah sederhana ini disusun bukan untuk memperpanjang perselisihan, tapi sebuah upaya mencari titik-titik kesamaan pandangan; karena pada hakikatnya, baik pihak yang pro maupun kontra demokrasi, mereka sama-sama sedang berjuang memuliakan agama dan umatnya. Hanya berbeda cara, strategi, dan tindakan lapangan.
Secara dasar, kami memandang bahwa demokrasi hanyalah alat politik. Ia bukan tujuan, bukan akidah, bukan manhaj kehidupan. Kita membela Umat sesuai dengan kesempatan politik yang ada. Di negara yang tidak menerapkan demokrasi, seperti berlakunya sistem kerajaan, sistem komunis, tirani, kekaisaran, oligarki; tetap saja jalan politik harus ditempuh, demi membela Islam dan kepentingan Umat. Itu pun tidak menafikan cara-cara lain dalam perjuangan.
Sedangkan bagi mereka yang telah menjadikan demokrasi sebagai agama, sebagai jalan hidup, sebagai kewajiban hakiki, dan menganggap jalan demokrasi lebih baik daripada Syariat Islam; ya orang semacam itu jelas telah keluar dari pagar keimanan. Bukan konteks seperti itu yang kita inginkan saat berbicara tentang wasilah demokrasi dalam perjuangan politik.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah datang ke Tel Aviv Israel. Setelah tiba di Tanah Air, dia mengajak bangsa Indonesia belajar berdemokrasi kepada Tel Aviv. Faktanya, komunitas Yahudi baik di Israel maupun Amerika; mereka melaksanakan demokrasi. Bahkan di Amerika, demokrasi ala Yahudi diperkuat dengan lembaga-lembaga lobi, untuk memastikan setiap pemimpin Amerika harus pro Israel.
Berikut ini adalah pandangan-pandangan seputar perjuangan Islam yang layak direnungkan:
Pertama, Islam adalah agama yang sempurna, lengkap, dan diridhai Allah (Surat Al Maa’idah: 3). Islam juga agama satu-satunya yang diterima di sisi Allah (Surat Ali Imran: 85). Bahkan Islam adalah agama yang paling tinggi derajatnya (Ali Imran: 139). Dalam riwayat dikatakan, “Islam itu tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.” Konsekuensi dari semua ini, kaum Muslimin dilarang mengambil orang kufar sebagai pemimpin, dalam segala hal (Surat An Nisaa’: 139).
Kedua, Selain dilarang mengambil orang kufar sebagai pemimpin, kaum Muslimin juga diperintahkan untuk menegakkan agama ini (Surat Asy Syura: 13). Cara menegakkan agama dilaksanakan secara kaffah, tidak setengah-setengah (Surat Al Baqarah: 208). Ajaran Islam wajib dilaksanakan secara individu, dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Dalilnya adalah: “Wahai orang-orang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kepada Rasul-Nya, dan kepada Ulil Amri di antara kalian.” (An Nisaa’: 59). Ayat ini merupakan penegasan tentang kewajiban mengikuti ajaran Allah dan Rasul-Nya di segala lini kehidupan. Amanat ketaatan itu dimulai dari level kepemimpinan (Ulil Amri). Jika pemimpin harus tunduk kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka level di bawahnya otomatis harus tunduk kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya. Lebih jelas lagi, dalam lanjutan ayat disebutkan, jika sewaktu-waktu terjadi perselisihan, silakan kembalikan urusan kepada hukum Allah dan Rasul-Nya.
Ketiga, Bagaimana cara kita menegakkan ajaran Islam dalam kehidupan ini? Jawabnya sangat jelas, yaitu mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam (Surat Al Ahzab: 21). Nabi menegakkan Islam dengan cara dakwah, tarbiyah (membina kader), bersabar atas penderitaan, hijrah, jihad, serta membangun peradaban. Dalam pengorbanan, kesungguhan, dan kesabaran, akhirnya Allah menurunkan pertolongan-Nya; nashrun minallahi wa fathun qariib. Ini adalah panduan etik dan strategi perjuangan yang dituntunkan Nabi .
Keempat, bisakah kita menerapkan metode Nabi dalam perjuangan di zaman modern? Tentu saja bisa, karena Syariat Nabi bersifat abadi (Surat Al Hijr: 9). Hanya saja, kita perlu adaptasi dalam strategi, karena tantangan zaman di era modern berbeda dengan di era Nabi. Di zaman Nabi , orang-orang kufar belum bersatu padu; mereka belum membangun kekuatan global; mereka belum menguasai sumber-sumber keuangan, energi, dan teknologi; mereka belum meneliti titik-titik kelemahan Umat; mereka belum mengerahkan persenjataan modern; mereka belum membuat konspirasi-konspirasi rumit, dan sebagainya. Lagi pula, usia sejarah Islam di zaman Nabi baru puluhan tahun, sedangkan usia Umat saat ini sudah ribuan tahun. Dalam rentang masa ribuan tahun itu pastilah kaum kufar sudah belajar banyak tentang agama ini dan karakter Umatnya. Fakta banyak berbicara, di zaman modern ini, kaum kufar terus “membekap” Umat serapat-rapatnya, sehingga kita sekedar untuk “bernafas” saja susah. Setiap muncul benih-benih kebangkitan Islam, mereka segera datang untuk membabat habis benih-benih kebangkitan itu. Bukankah ini fakta?
Kelima, jalan apa yang bisa ditempuh untuk merealisasikan perjuangan di era modern? Untuk menegakkan kehidupan Islam secara kaffah caranya hanya dua: cara damai atau cara perang. Cara damai ialah dengan strategi siayasah (politik), cara perang adalah dengan konflik senjata. Kedua pilihan ini mengandung risiko masing-masing. Bagi yang menempuh cara politik (misalnya ikut pemilu demokrasi) mereka terhindar dari risiko perang, pertempuran, bunuh-bunuhan; tetapi secara perilaku mereka bisa perlahan-lahan larut dalam sistem jahiliyah yang ingin diperbaiki.
Cara siayasah demokrasi sudah ditempuh kaum Muslimin di negeri ini sejak era Masyumi sampai sekarang, dan hasilnya sudah sama-sama kita ketahui. Bagi yang menempuh cara perang, mereka harus menyediakan dana besar, senjata, amunisi, keahlian tempur, kesabaran berlipat-ganda, tenaga mujahid yang banyak, serta siap menghadapi segala risikonya.
Risiko perang bukan hanya menimpa individu, tapi juga orang-orang di sekitarnya; bukan hanya dalam satu waktu tetapi bisa lintas generasi. Di Indonesia cara perang pernah ditempuh di era DI/TII dan PRRI/Permesta. Di Afghanistan juga ditempuh, di Irak, Palestina, Chechnya, Libanon, Alajazair, Suriah (tengah berjalan), hingga di Ambon-Ternate-Poso. Ya hasilnya juga sudah sama-sama kita ketahui.
Keenam, apakah ada suatu cara perjuangan Islam yang bebas risiko? Jawabnya tidak. Pertolongan Allah yang kita harapkan, akan diperoleh setelah kita melewati aneka cobaan dan guncangan (Surat Al Baqarah: 214). Apapun jalan perjuangan yang kita tempuh, pasti akan dimusuhi kaum kufar. Dalilnya: “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian, sampai mereka bisa memurtadkan kalian dari agama kalian, kalau mereka sanggup melakukannya.” (Surat Al Baqarah: 217).
Para mujahidin diperangi dimana-mana, atas nama perang melawan terorisme. Emirat Islam dibubarkan, seperti yang dialami pemerintah Thaliban di Afghanistan, emirat Islam di Kunar dan lembah Swat.
Begitu juga kemenangan partai Islam dalam pemilu demokrasi, juga direbut secara zhalim dan kejam. Ketika muncul tokoh pemimpin saleh seperti Presiden Ziaul Haq di Pakistan atau Raja Faishal di Saudi, keduanya dibunuh secara licik.
Bahkan para aktivis yang tidak berjihad, tidak mendirikan emirat, dan tidak berdemokrasi seperti Hizbut Tahrir; ternyata juga dimusuhi, ditangkapi, ditekan disana-sini. Permusuhan atas keimanan ini begitu massif, menimpa semua golongan yang menerapkan strategi apapun. Jangankan perjuangan, sekedar pelajaran lagu nasyid untuk anak-anak TK Islam pun dicurigai. Begitu juga kegiatan Rohis di SMA-SMA juga dicurigai dan difitnah oleh media. Kaum kufar menerapkan strategi “babat habis”. Dimana saja mereka melihat ada benih-benih kebangkitan Islam, seketika akan ditumpas. Bahkan sekedar menjadi orang Muslim saja, tanpa berjuang apa-apa, itu sudah menjadi bahan bakar kebencian bagi kaum kufar. Lihatlah keadaan Muslim di Rohingnya, Bosnia-Herzegovina, Xinjiang, atau Ambon-Ternate. Mereka diperangi semata-mata karena identitas keislamannya, bukan perjuangannya.*/bersambung… pilih jalan damai atau kekerasan?..
AM Waskito, penulis buku “Air Mata Presiden Mursy” dan “Bersikap Adil terhadap Wahabi