Oleh: Toriq
KASUS kartun Charlie Hebdo yang melecehkan kemuliaan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam mengingatkan kita pada kasus novel Satanic Verses (Ayat-ayat Setan) karya Salman Rusdie (1988), film Buruan Cium Gue (2004), dan penerbitan majalah Playboy versi Indonesia yang akhirnya digagalkan FPI.
Kasus ini sama halnya dengan kasus artis Anjasmara berfoto ‘telanjang’, penolakan terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang dilakukan LSM-LSM feminis dan mereka yang mengatakan diri sebagai pekerja seni.
Puluhan kasus serupa telah menimbulkan keresahan masyarakat-hingga menyebabkan terjadinya demonstrasi dalam skala internasional, terjadi bisa dikarenakan akibat dari merebaknya ideologi kebebasan berekspresi, yakni paham liberal. Di mana paham ini, adalah sebuah ideologi “mentah” yang dipaksakan oleh negara-negara besar terhadap dunia ketiga.
Penulis mengatakan mentah karena ideologi ini dibiarkan cair tanpa batasan-batasan yang jelas, tidak heran jika di Barat ada konvoi wanita telanjang di jalan-jalan umum, ada pesta kaum nudis ada party sex, semuanya, berdalih ‘kebebasan ekspresi dan seni’.
Mentah, juga karena tidak mungkin diterapkan secara fair karena jika hendak diterapkan secara fair maka mau tidak mau Barat juga harus bisa menerima “kebebasan ekspresi balasan”. Walhasil ideologi kebebasan berekspresi versi Barat hanyalah teori di awang-awang, yang tidak bisa diterapkan kecuali dengan senjata dan standar ganda.
Kerusakan moral adalah penyakit serius yang sedang menjangkiti Barat akibat penerapan ideologi mentah ini, maka ketika mereka tidak bisa lagi mengatasi problem. Mau tidak mau, untuk menutupi semua borok, mereka memoles ideologi ini dengan jargon-jargon indah, serta mulai melakukan pemaksaan terhadap negara-negara Muslim untuk mengikutinya. Bahkan ada pihak-pihak yang berani memutar balikkan ayat serta maqasid syari’ah supaya umat Islam ramai-ramai menyambut hiruk-pikuk ideologi ini.
Tentu ideologi produk Barat berbeda dengan Islam. Islam adalah agama “realita”, Islam bukanlah agama yang menyuruh umatnya untuk tinggal di kuil-kuil dan terus-menerus melakukan ritual meninggalkan kehidupan dunia, juga bukan ideologi yang mencampakkan penganutnya ke dalam lautan syahwat yang tidak bertepi, yang tidak mengenal halal-haram, tidak mengenal akhlak, serta menyebarkan kerusakan di mana-mana dengan dalih seni.
Islam dan Seni
Islam berinteraksi dengan manusia secara total, jiwa dan raganya, akal dan nuraninya. Jika nutrisi menghidupi badan, pengetahuan menghidupi akalnya, maka seni (al fann) yang menghidupi nuraninya.
Syeikh Yusuf Qardhawi dalam Al Islam wal Fann, hal 11-25, telah menjelaskan sikap Islam terhadap seni. Jika ruh seni adalah perasaan terhadap keindahan maka Al Qur’an sendiri telah menyebutkan “Yang membuat segala sesuatu, yang Dia ciptakan sebaik-baiknya…” (QS: As Sajdah:7)
Surat lain menyebutkan, “Sesungguhnya kami telah menciptkan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS: At Tiin :4), dan bahkan, seorang mukmin dituntut agar selalu memiliki rasa yang dalam dan peka terhadap keindahan akan ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala, firman Allah, “Apakah mereka tidak melihat langit di atas mereka, bagaimana kami telah meninggikan dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun.” (QS: Qaaf :6).
Dengan ini maka setiap mukmin menyukai keindahan dikarenakan efek dari keindahan Allah Subhanahu Wata’ala, yang juga menyukai keindahan, karena Al Jamiil (Yang Maha Indah) adalah salah satu dari nama-nama Allah Subhanahu Wata’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam juga telah menjelaskan kepada beberapa sahabat yang mengira bahwa kecintaan terhadap keindahan bisa menafikan iman, dan menjadikan pelakunya terperosok dalam kesombongan, sebagiamana diceritakan sebuah hadist. Rasulullah bersabda,”Tidak akan masuk sorga siapa yang di hatinya ada rasa sombog, walau sebesar biji sawi.” Maka berkatalah seorang lelaki, “Sesungguhnya ada seorang lelaki menyukai agar baju dan sandalnya menjadi bagus.” Maka bersabda Rasulullah, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai keindahan.” (HR. Muslim).
Di samping mukjizat aqliyah Al Qur’an sendiri adalah sebuah mukjizat jamaliyah. Sehingga bangsa Arab tunduk, serta tidak bisa menandingi keindahaan bahasanya, sampai sebagian mereka menyebutnya “sihir”. Rasulullah sendiri telah bersabda, “Hiasilah Al Qur’an dengan suara kalian.” (HR. Muslim).
Jika Islam menyeru umatnya untuk bisa merasakan, menikmati dan mentadaburi keindahan, maka tidak dilarang bagi umatnya untuk mengekspresikan keindahan yang ada dalam benak mereka.
Di masa lalu, para sahabat ra. manfsirkan Al Qur’an dengan syair-syair. Sebagaimana banyak dari para imam, disamping fuqaha’ mereka juga mahir dalam bersya’ir, seperti Ibnu Mubarak dan bahkan Imam Syafi’i.
Maka, jika kaum perempuan, para seniman menuduh mengatakan, dengan Islam seni tak berkembang, boleh dikatakan, mereka hanyalah kumpulan orang-orang jahil yang tak benar-benar mengerti tentang Islam.*/bersambung Batasan dan Tujuan Seni
Penulis sedang melanjutkan studi di Mesir