Oleh: Mahmud Budi Setiawan
SUNGGUH ironis! Di zaman ketika umat Islam berjumlah lebih dari satu milyar; di saat kebanyakan negara dunia memegang ideologi demokrasi, yang menghargai dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Tapi di bumi Rohingnya, masih ada pembantaian manusia.
Hanya karena motif agama yang berbeda, mereka dibantai sedimikian rupa, bahkan dicampakkan, diusir dari tanah kelahirannya.
Baru-baru ini mereka sampai mengungsi di Aceh. Warga Aceh pun gotong royong membantu mereka(baca: bbc.indonesia 20/05/2015 “Gotong Royong Warga Aceh bantu Rohingnya”). Anehnya, Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar di dunia -melalui Panglima TNI Jendral Moeldoko sempat menolak kehadirannya. (baca: kompas.com, Panglima TNI Tolak Kapal Pengungsi Rohingnya Masuk RI, tapi bersedia Beri Bantuan), dan enggan mengijinkan pengungsi Rohingnnya masuk wilayah Indonesia dengan alasan “Urus masyarakat Indonesia sendiri saja tidak mudah, jangan lagi dibebani persoalan ini”. Lain halnya dengan negara Turki. (baca: Turki Kirim Angkatan Lautnya Bantu Cari Muslim Rohingnya).
Meskipun ia bukan negara yang berpenduduk Muslim terbesar melalui Ahmet Davutoglu dan istri Recep Tayyip Erdogan beserta beberapa pejabatdan tentaranya dengan sigap dan cepat pergi ke Aceh untuk membantu mereka. Baik bantuan materil maupun moril.
Apa yang dialami oleh Muslim Rohingnya yang dibantai oleh yang ditopang agamawan mereka, mengingatkan kita kembali pada sejarah Islam yang terjadi lebih dari empat belas abad yang lalu.
Peristiwa itu seakan terulang kembali hari ini. Ketika Nabi Muhammad kehilangan dua orang tercintanya, sebagai pendukung dan pembelanya (Khadijah, Abu Thalib), kaum kafir Qurays semakin berani menyakiti, mencela, bahkan menyiksa sebagian kaum Muslimin. Pergerakan dakwah semakin sempit. Peluang untuk menyemai dakwah semakin dihimpit.
Dalam kondisi seperti itu, ada inisiatif nabi untuk mencari tempat yang layak untuk dijadikan lahan dakwah baru yang lebih akomodatif terhadap dakwah Islam. Harapan pun sirna, ketika di Thaif nya diusir bahkan dilempari batu. Rasul pun yang ketika itu ditemani Zaid bin Haritsa kembali ke Makkah dengan tangan kosong.
Pada puncaknya, Rasulullah dihibur Allah dengan peristiwa isra` dan mi`raj yang merubah secara drastis merubah cara pandang Rasulullah terhadap segala peristiwa yang ia alami di Makkah.
Nabi pun bertambah optimis. Tahun keduabelas dan ketigabelas, dengan sangat intens berdakwah akhirnya mereka menemukan mitra dakwah yang loyal dan militan.
Ada peristiwa yang diabadikan sejarah dengan istilah, ‘bai`ah al-`Aqabah al-`ūla(janji setia yang pertama di bukit `Aqabah)’ dan ‘bai`ah al-`aqabah al-tsāniyah(janji setia yang kedua di bukit `Aqabah)’. Kedua baiat ini seakan menjadi oase di tengah padang sahara yang meliputi dakwah Islam di bumi Makkah. Pada akhir tahun ketigabelas, datanglah perintah hijrah ke Madinah.
Umat Islam pun berbondong-bondong melaksanakan perintah ini. Sejenak anda bisa membayangkan! Bagaimana perasaan mereka meninggalkan tempat kelahiran mereka. Mereka harus meninggalkan tempat tinggal, sanak famili, perniagaan, kenangan manis yang telah diukir selama hidup di Makkah. Mereka berada dalam bayang-bayang rasa cemas terhadap negeri baru yang akan mereka singgahi, Madinah.
Meski demikian, dengan hati mantap dan yakin mereka pegang betul firman Allah: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”(Qs. Al-Ahzab: 36).* (bersambung)
Penulis alumni PKU UNIDA Gontor, peminat masalah Shirah