Oleh: Toriq
Sambungan dari artikel PERTAMA
Batasan dan Tujuan Seni
JIKA Islam membolehkan pemeluknya berkreativitas dan mengekspresikan apa yang ada di benak mereka, tentu Islam juga memandu agar kreativitas mereka bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan umat manusia, serta tidak dibiarkan ngloyor tanpa arah yang akhirnya saling tabrak, sehingga menyebabkan timbulnya madharat pada diri manusia sendiri.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya sebagian dari syair itu hikmah“. (HR. Muslim), jika sebagian dari syair adalah hikmah, maka mafhum-nya menyatakan bahwa ada dalam sya’ir hal-hal yang tidak mengandung hikmah atau bahkan berlawanan dengan hikmah itu sendiri, sebagaimana sya’ir-sya’ir yang memuji kebatilan, membanggakan kebohongan, menyeru kemungkaran, membakar syahwat, mengejek Allah Subhanahu Wata’ala. dan Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dll.
Hanya penyair seperti inilah yang dicela Al Qur’an dan Islam. “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidaklah kamu melihat bahwasannya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasannya mereka suka mengatakan apa yang mereka tidak kerjakan? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal shalih dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah kedzaliman…”(QS: Asy Syu’ara’:224-227).
Karena itu, dalam Islam, puisi dan sastra dalam artian khusus, serta seni dalam artian lebih luas, harus memiliki tujuan dan tugas.
Seni yang sahih adalah seni yang bisa mempertemukan secara sempurna antara keindahan dan al haq, karena keindahan adalah hakikat dari ciptaan ini, dan al haq adalah puncak dari segala keindahan ini. Oleh karena itu Islam membolehkan penganutnya menikmati keindahan, karena hal itu adalah wasilah untuk melunakkan hati dan perasaan.
Seni dalam Islam adalah penggerak nalar agar bisa menjangkau lebih jauh tentang apa yang berada di balik materi. Keindahan adalah salah satu sebab tumbuh dan kokohnya keimanan, sehingga keindahan itu menjadi sarana mencapai kebahagiaan dalam kehidupan. (Dalam Fannanul Muslim wal Ibda’, Dr. Barakat Muhammad Murad, Manarul Islam No.353, Vol 30)
Dan sebaliknya Islam melarang penganutnya menikmati dan mengekspresikan tindakan-tindakan yang telah dilarang oleh agama, karena hal itu malah mencampakan para pelakunya kepada hal-hal yang merugikan diri mereka sendiri.
Maka para pekerja seni tidak perlu khawatir kehilangan mata pencarian dan terpasungnya kreatifitas tanpa pornografi dan syahwat, krena masih banyak ladang selain wilayah “terlarang”. Selain itu, seni bukanlah sekedar pamer aurat, prektek ciuman di tempat umum, mendendangkan lirik-lirik jorok, eksibisi lukisan telanjang, juga bukan publikasi sajak-sajak porno.
Mengekpresikan keindahan tidak perlu dengan cara nenggak bir ketika membaca puisi. Kreativitas bukanlah sekedar memprodukis film-film tidak mendidik di sana masih banyak ladang yang belum tergarap, yaitu seni yang membuahkan maslahat bagi kita bersama, yang membuat bangsa ini bermartabat, dan lebih mendekatkan diri kita kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Dengan kata lain, kita menginginkan seni yang tidak hanya berkutat pada seni itu sendiri, melainkan seni yang bisa mengantarkan kita menuju ridho-Nya. Karena itu, jika sebagaian kalangan seniman tiba-tiba merasa ‘kebakaran’ dengan undang-undang yang melarang pornografi dan pornoaksi yang seharusnya melindungi martabat semua orang, kita perlu berprasangka buruk.
Jika masih ada seniman yang membela pornografi, ketelanjangan, ciuman, mengumbar aurat dengan dalih macam-macam, mereka pasti seniman yang sangat takut kehilangan ‘ladangnya’. Karena dengan karya-karya jorok dan ketelanjangan itulah ia sesungguhnya hidup dan makan. Wallahu’alm bishowab.*
Penulis sedang melanjutkan studi di Mesir