Oleh: Max Blumenthal
Sambungan artikel PERTAMA
Kekuatan Hirsi Ali untuk meyakinkan terletak pada cerita pribadinya yang dramatis dan pesona publik yang telah dibentuknya. Dia telah memasarkan dirinya sebagai informan native, yang telah keluar dari lembah hitam Islam radikal dan menuju terangnya masyarakat Barat. Ceritanya dianggap menggugah serta menyentuh, karena menyediakan cerita yang ingin didengar orang Barat tentang diri mereka serta musuh mereka. Dengan sikap anti-Islam sedang memuncak di seluruh Eropa dan Amerika, kritik Hirisi Ali terhadap Islam sebagai kepercayaan penuh kekerasan adalah sebuah cap pengakuan yang besar. Satu-satinya masalah adalah, seperti tulisannya terhadap Islam, apa yang diberitahukan kepada orang lain tentang dirinya patut dipertanyakan.
Pada Mei 2006, program televisi Belanda Zembla secara seksama membongkar cerita dramatis yang didongengkan Hirsi Ali untuk mengangkat karirnya. Zembla menyimpulkan Hirisi Ali telah menjual ‘cerita penuh kerancuan.’
Terlahir dengan nama Ayaan Hirsi Magam, dia berimigrasi ke Belanda pada 1992, mengganti namanya menjadi Hirsi Ali, dan berbohong pada autoritan Belanda tentang masa lalunya. Tidak seperti ceritanya pada pemerintah, dia tidak datang dari Somalia yang porak poranda karena perang, tapi dari Kenya, dimana dia tinggal di lingkungan yang aman dan berada di naungan perlindungan PBB.
PBB juga membiayai sekolahnya di sebuah sekolah putri Muslim yang bagus. Meskipun dia mengatakan bahwa dirinya kabur dari perang sipil di Somalia, sebenarnya dia pergi sebelum perang tersebut pecah. Seumur hidup Hirsi Ali tidak pernah hidup di tengah perang dimanapun. Berkat kebohongannya, Hirsi Ali mendapatkan suaka politik hanya dalam waktu lima minggu.
Hirsi Ali memberi tahu penonton yang terpana pada sebuah talk show di TV Belanda bahwa keluarganya, yang katanya taat, telah memaksanya menikahi seorang pria Muslim yang kejam. Dimana dia tidak boleh menghadiri upacara pernikahannya sendiri, dan keluarganya mengancam untuk membunuhnya karena telah melecehkan kehormatan agama mereka. Tetapi, Zembla membeberkan cerita yang sebaliknya. Saudara laki-laki, bibi serta mantan suami Hirsi Ali masing-masing bersaksi bahwa dia hadir di upacara pernikahannya. Ibu HIrsi Ali diungkapkan telah mengirim anak laki-lakinya ke sebuah sekolah Kristen, menunjukkan bahwa keluarganya bukan fanatis Islam.
“Yeah, memang aku mengarang semuanya,” aku Hirsi Ali pada reporter Zembla yang mengkonfirmasi kebohongannya. “Aku mengaku namaku Ayaan Hirsi Ali dan bukannya Ayaan Hirsi Magan. Aku juga mengaku lahir di tahun 1967 padahal aslinya aku lahir tahun 1969.”
Klaim Hirsi Ali mengenai ancaman pembunuhan juga dusta belaka. Dia tetap berhubungan dengan ayah dan bibinya setelah meninggalkan suaminya. Bahkan sebenarnya, suaminya mengunjunginya ke pusat pengungsian di Belanda, dimana dia tinggal setelah pergi dari suaminya. Pria tersebut bahkan membiayai perjalanan Ali ke Eropa dengan perjanjian mereka akan bertemu lagi di Kanada, namun akhirnya dia mengabulkan permintaan cerai istrinya.
Dusta yang Menggulingkan Pemerintahan
Pada 2003, hanya satu dekade setelah mendapatkan suaka politik di Belanda, Hirsi Ali memenangkan pemilu untuk duduk di parlemen lewat Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi. Pimpinan VVD tahu bahwa kisah yang diceritakan Hirsi Ali pada formulir imigrasinya adalah sebuah kebohongan kelas kakap, karena Hirsi Ali telah mengakui pada partainya. Tapi mereka menutupi penipuan publik tersebut dan bahkan membantunya meningkatkan karirnya.
“Dia menyaksikan lima perang sipil di masa kecilnya, dan telah kabur bersama keluarganya berulang kali. Dia terbuat dari besi dan baja,” kata Neelie-Smit Kroes dari VVD saat itu, menguatkan klaim bahwa partai Hirsi Ali tahu dia berbohong.
Setahun setelah bergabung dengan parlemen Belanda, dimana dia mencoba untuk melarang sekolah Islam di Belanda, Hirsi Ali berkolaborasi dengan sutradara Belanda Theo van Gogh untuk memproduksi sebuah film documenter berjudul Submission. Film tersebut menggambarkan kekerasan terhadap wanita dalam komunitas Muslim sebagai hasil dari pemikiran Islam, menampilkan aktris yang berperan sebagai wanita yang teraniaya dan menayangkan wanita yang menggunakan niqab dan setengah telanjang dengan kalimat-kalimat dalam huruf hijaiyah tertulis di seluruh tubuhnya.
Van Gogh, seorang filmmaker dan kolumnis yang menyebut Muslim sebagai ‘penyetubuh kambing’, ditembak dan ditusuk hingga tewas oleh seorang Muslim radikal Belanda segera setelah film tersebut dirilis. Sebelum kabur dari TKP, pembunuh tersebut meninggalkan pesan di mayat van Gogh, mengancam akan membunuh Hirsi Ali juga. Sikap Hirsi Ali yang konsisten terhadap kejadian tersebut membuatnya dijuluki pahlawan di dunia Barat, terutama di Amerika pasca kejadian 9/11, dimana majalah Time memasukkannya dalam daftar 100 Orang Paling Berpengaruh di tahun 2005.* (bersambung)
Wartawan dan penulis buku, “Goliath: Life and Loathing in Greater Israel”. Tulisan dimuat di www.alternet.org