Oleh: Ilham Kadir
KISAH dari “Negeri Dongen”, diceritakan bahwa di ruang sidang pengadilan, seorang hakim, Marzuki namanya, duduk tercenung menyimak tuntutan jaksa Penuntut Umum (PU) terhadap seorag nenek yang dituduh mencuri singkong.
Nenek itu berdalih bahwa hidupnya miskin, anak lelakinya sakit, dan cucunya lapar. Namun manajer salah satu PT Raksasa di negeri itu tetap pada tuntutannya, agar menjadi contoh, pelajaran, dan pendidikan bagi warga lainnya.
Hakim Marzuki menghela nafas, dia memutus di luar tuntutan jaksa PU. ‘Maafkan saya’, katanya sambil memandang nenek itu, “Saya tak dapat membuat pengecualian hukum, hukum tetap hukum, jadi Anda harus dihukum. Saya mendenda Anda satu juta rupiah dan jika Anda tidak mampu bayar maka Anda harus masuk penjara 2,5 tahun, seperti tuntutan jaksa PU”.
Nenek itu tertunduk lesu, hatinya remuk redam, sementara hakim Marzuki mencopot topi toganya, membuka dompetnya kemudian mengambil lalu, memasukkan uang satu juta rupiah ke topi toganya serta berkata kepada hadirin, “Saya atas nama pengadilan, juga menjatuhkan denda kepada tiap orang yang hadir di ruang sidang ini sebesar lima puluh ribu rupiah, sebab kalian menetap di kota ini, dan membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri untuk memberi makan cucunya,” Saudara Panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam topi toga saya ini lalu berikan semua hasilnya pada terdakwa, pinta sang hakim.
Sampai palu diketuk dan hakim Marzuki meninggalkan ruang sidang, nenek itu pun pergi dengan mengantongi uang 3,5 juta rupiah, termasuk uang lima puluh ribu yang dibayarkan oleh manajer PT. Walau harus tersipu malu karena telah menuntutnya.
Kisahnya luput dari pemberiataan media, karena pemerintah Negeri Dongeng itu, malu sebab mereka hanya bisa menguras uang rakyat sambil menindas lalu menghakimi rakyat jelata. Hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Dan, Pemimpin Palsu di negeri itu adalah orang jahil yang dipilih rakyat karena terperdaya oleh penampilannya yang merakyat dibumbuhi janji-janji palsu dan manis ketika kampanye. Kini Pemimoin Palsu itu sering terlihat planga-plongo, ketika rakyatnya tertimpa masalah lalu diadukan padanya, ia lalu menjawab, Itu bukan urusan saya. Yang paling berbahaya karena orang-orang di sekelilingnya sangat opurtunis, dipenuhi para penjilat dan pelacur kekuasaan.
***
Keadilan dalam pandangan Islam atau islamic wordliew adalah berbeda dengan dunia sekuler. Keadilan, bukanlah sama rata sama rasa sebagaimana pandangan komunis, bukan pula berdasarkan pertimbangan logika secara mutlak.
Konsep keadilan menurut Islam harus merujuk pada dua poin penting.
Pertama, tidak bertentangan dengan agama. Misalnya, terkait dengan masalah harta warisan yang telah disebut dalam al-Qur’an bahwa liz-dzakari mitslu hadz-dzil untsayain, satu bagian lelaki sama dengan dua bagian untuk perempuan (QS. An-Nisa [5]: 11).
Artinya, jika harta warisannya ada satu juta rupiah, dan memiliki tiga anak, satu lelaki dan dua perempuan. Maka, untuk laki-laki lima ratus ribu, dan dua anak perempuan lainnya masing-masing mendapat dua ratus lima puluh ribu rupiah.
Tidak boleh melawan ketetapan Allah dengan menyamakan pembagian laki-laki dan perempuan sebab begitulah ketetapan Allah yang tidak bisa diotak-atik oleh manusia. Jika ada pertanyaan kenapa demikian? Apakah Allah tidak adil? Maka jawabannya, bahwa ini adalah hukum tauqify, dan ta’abbudy, ketetapan mutlak dari Allah atau ini ranah ibadah dan ketetapan Allah yang hanya memerlukan ketundukan, kepatuhan, dan ketaatan, sama saja dengan ketetapan jumlah shalat Subuh dua rakaat.
Jumlah itu ketentuan dari Allah dan tidak bisa diprotes atau diganggu gugat manusia. Walau bisa pula dijawab bahwa hikmah ketetapan itu menunjukkan bahhwa kaum lelaki adalah lebih tinggi tanggungjawabnya berbanding perempeuan, sebab ia berkewajiban menafkahi seluruh anggota keluarganya.
Kedua. Berlaku adil karena memang didasari dari dorongan fitrah bahwa manusia itu mencintai keadilan, serta dorongan bahwa berbuat adil adalah bagian dari syariat agama. Ini dapat dirujuk dalam firman Allah, antaranya, Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa, (QS. Al-Mai’idah [5]: 8).
Dalam kisah menyentuh hati dari Negeri Dongeng di atas, apa yang diputuskan oleh sang hakim pada nenek yang terdakwa sudah tepat. Selain dapat memberi pelajaran kepada terdakwa dan orang lain, juga memberi pelajaran pada siapa saja. Di sisi lain, keadilan adalah segala-galanya, dan tidak adil menghukum seorang nenek tua yang mencuri singkong karena ia miskin, anaknya sakit, dan cucunya kelaparan. Keputusan di atas sangat tidak bertentangan dengan hukum Allah serta sejalan dengan naluri dan perintah agama untuk menegakkan keadilan berdasarkan fitrah dan syariat.
Semoga dapat menjadi pelajaran untuk negeri ini yang sedang berulang tahun ke-70, agar para pemimpinnya peka terhadap rakyatnya, para penegeak hukum dapat berbuat adil, serta segenap rakyat taat hukum, terutama hukum Allah yang mutlak kebenarannya, karena hanya itu jalan satu-satunya untuk meraih baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Negara yang baik dan Tuhan Maha Pengampun. Jayalah Indonesiaku, Merdeka!
Penulis adalah peserta Kaderisasi Seribu Ulama (KSU) BAZNAS-DDII & Kandidat Doktor UIKA Bogor